Dari luar, rumah itu begitu gelap. Tidak ada yang menyalakan lampu sama sekali. Bahkan sesudah ia memasukinya, ruangan itu lebih gelap lagi karena semua tirai jendela yang tertutup. Walau Aim tidak kesulitan melihat Ilithya yang duduk menatapnya tajam, ia tidak mengira akan separah ini. Seharusnya Athan tidak membiarkan rumah ini gelap atau para tetangga merepotkan itu akan langsung berasumsi yang aneh-aneh.
Ia tidak perlu menanyakan lokasi Achlys dan Athan pada Ilithya, jadi ia langsung menuju lantai dua dan memasuki kamar Athan yang berbau busuk dan darah memualkan. Di sana, Athan membiarkan jendelanya terbuka, cahaya bulan yang redup sedikit menimpa Athan di atas kursinya, menatap keluar ruangan tanpa mempedulikan Aim. Ini tidak biasa.
"Apa ini Ina?" tanya Aim begitu memasuki kamarnya, berdiri di belakang Athan.
Athan hanya menganggukkan jawabannya.
"Apa yang terjadi?"
"Aku tidak tahu. Begitu aku masuk, Achlys memberikannya padaku."
"Kenapa kau tidak membersihkannya dengan benar?"
"Nanti…" Athan menggumam lirih.
Ia penasaran sekali dengan apa yang terjadi saat ia tidak ada karena perasaan tertekan itu masih dirasakannya hingga saat ini. Tapi ada hal yang lebih mendesak yang ingin dipastikannya. "Kau menggunakan nama Xander."
Kepala Athan sedikit tertoleh padanya sebelum ditundukkan dalam di atas dadanya. Ia mengangguk kecil. Aim menghela nafas panjang. Jika Athan sudah mengakuinya, yang ia tahu Athan tidak berbohong, sudah jelas alasan kenapa Athan melakukannya tanpa ijinnya. "Kau masih terikat kontraknya rupanya. Sudah kubilang lepas saja, kau yang memiliki ijinnya. Manusia itu tidak akan pernah tahu."
Athan menggeleng tanpa mengeluarkan suara.
"Kenapa kau begitu peduli dengannya? Dia tidak berarti apa-apa bagimu selain seonggok daging yang akan kau makan juga nantinya."
"Tidak," jawaban tegas Athan yang tiba-tiba membuat Aim mengerjap kaget. "Aku sudah berjanji. Aku hanya tidak ingin melanggarnya."
"Tapi kau sudah melanggarnya, apa bedanya?"
Lagi-lagi, Athan hanya menggeleng dengan mulut yang kembali dikatupkanya rapat-rapat. Aim berdecak kesal. Ia tidak mengerti. Setelah ia memberikan Athan kemampuan untuk merasakan emosi dan bicara, makhluk itu semakin tidak ia mengerti. "Terserah. Bersihkan yang benar. Nyalakan lampunya sebelum orang lain bertanya-tanya."
Aim meletakkan telapak tangannya di atas kepala Athan, menekannya dengan keras untuk memberikan kejelasan peringatannya. "Sekali lagi kau mengacau, kau tahu apa akibatnya."
Kemudian ia keluar tanpa menunggu jawaban Athan. Gadis itu sudah memberikannya pekerjaan lagi untuk dituntaskannya.
###
Ponselnya bergetar di atas kasurnya, di samping dirinya yang tengah berbaring. Dengan malas ia menggapainya, melihat nomor telepon yang tidak dikenalnya. Achlys tidak ingin diganggu oleh orang aneh yang menelpon hanya untuk mengajaknya berkenalan karena tidak sengaja menemukan nomor acak yang mereka coba. Jadi ia menutup teleponnya dan kembali memejamkan matanya, namun ponselnya terus bergetar mengganggu istirahatnya. Nomor yang sama tertera di layarnya. Dengan kesal Achlys menjawab teleponnya, namun suara diujung sana mendahuluinya.
"Achlys?"
Achlys mengernyitkan dahinya tak mengenali suara yang memanggil namanya di telepon. "Ya? Siapa ini?"
"Ini aku, Gale. Maaf, aku tidak bisa menghubungi orangtuamu jadi aku menghubungimu." Suara itu terdengar lega mendengar jawabannya. Latar belakang suara di seberang sana terdengar sangat berisik, membuat kernyitannya semakin dalam dan menjauhkan ponselnya sedikit dari telinganya, namun ia masih bisa mendengar suara orang yang menelponnya.
"Dari mana kau mengetahui nomorku?" tanya Achlys tajam. Ia tidak ingin nomornya diketahui oleh Gale yang bahkan tidak dikenalinya selain namanya.
"Tentu saja dari orangtuamu," jawabnya cepat. Achlys dapat mendengar nafas Gale yang sedikit terengah-engah, membuatnya penasaran apa yang dilakukannya hingga terdengar seperti itu. "Begini, aku tidak ingin mengganggumu, tapi orangtuaku terus-menerus mempertanyakan kejelasan perjodohan ini."
Achlys menjawabnya seketika begitu mendengar perjodohannya tanpa berpikir ulang. Tentu saja. "Orangtuaku membatalkannya."
"Benarkah?" Suara Gale terdengar mendesah lega sebelum melanjutkan. "Baiklah, akan aku sampaikan. Sampai jumpa."
Panggilan langsung ditutup oleh Achlys sebelum Gale menutupnya lebih dulu di seberang sana. Ia benar-benar melupakan perihal orangtuanya dan perjodohannya. Bagaimana Aim akan membuat orangtuanya pergi keluar negeri lebih lama lagi dari ini? Itu urusannya. Tapi Achlys gelisah bukan hanya karena telepon Gale yang mengingatkannya, lagi-lagi kabar kasus Xander yang Aim kerjakan belum ada kejelasannya juga dari Aim. Ia ingin sekali menanyakannya langsung setelah ia membunuh Ina, namun Iblis itu tidak bisa ia temukan di rumah. Ia tidak tahu dimana Aim berada saat ini. Hanya gadis malaikat itu yang selalu menatapnya setiap ia bertemu dengannya di dalam rumah kecil itu. Athan sudah menjelaskan tentang Ilithya sebelumnya, jadi Achlys tahu begitu ia bertemu Ilithya pertama kali, melihat mata merah di tengah dahinya membuatnya jijik. Namun mata hijau Ilithya sangat indah menurutnya. Terkadang ia bertanya-tanya apa semua malaikat seperti itu.
"Seharusnya kau tidak membunuh gadis itu." Demikian Ilithya pernah mengatakannya padanya, membuat Achlys muak. Ia tahu itu. Seharusnya ia tidak membunuhnya dan ia tahu betul jika ia membuat kesalahan hanya karena hal sepele yang mengganggunya, padahal Ina tidak bermaksud jahat padanya.
Dan sekarang ia berharap Aim telah menutupi kematian Ina yang ia takutkan akan disangkutpautkan lagi dengan Achlys karena di rumahnya lah Ina terakhir kali terlihat oleh orang-orang. Juga ia tahu Ina mengabari beberapa temannya yang sempat mendatangi apartemennya jika ia berada di rumah Achlys saat ini. Bukan hal yang aneh jika kematian Ina akan membuat polisi lagi-lagi mencurigainya. Dan ia takut kali ini ia tidak bisa menghindarinya.
Ketukan di pintu kamarnya membuatnya tersentak kaget, ia bahkan tidak sadar tengah melamun menatap layar ponsel karena yang pertama terlihat matanya adalah layar ponselnya yang menampilkan durasi teleponnya dengan Gale. Achlys tak perlu membuka pintu untuk mengetahui siapa di balik sana. Athan membuka pintunya sedikit, menatapnya menunggu ijinnya untuk masuk yang dianggukkan oleh Achlys.
"Mau keluar sebentar?" tanya Athan menduduki sisi kasur di sebelahnya.
"Kenapa? Apa aku terlihat terlalu menyedihkan mengurung diri di kamar seharian?"
Athan mengedikkan bahu. "Kau sendiri yang mengatakannya, bukan aku." Athan melirik ponselnya mengikuti arah pandangan Achlys di atas pangkuannya. "Seseorang menelponmu?" Achlys hanya mengangguk tanpa memberitahu apa pun, tapi sepertinya Athan bisa menebaknya dengan benar. "Gale?"
"Bagaimana kau bisa tahu? Apa ponselku ada penyadapnya?" Achlys menyipitkan matanya curiga.
Athan tertawa kecil mendengar pertanyaan konyol Achlys. "Tidak, aku hanya menebak. Selama ini aku bertanya-tanya kapan masalah yang berhubungan dengan orangtuamu akan bermunculan."
"Tapi kau seharusnya tidak mengetahui soal Gale." Achlys bersikeras.
"Dan kau tidak ingat bagaimana aku bisa menemukanmu, juga bagaimana Aim menyelesaikan setiap masalahmu," kata Athan sambil terkekeh geli. "Untuk apa repot-repot memasang penyadap pada ponselmu."
Nama Aim membuat Achlys was-was memalingkan tatapannya pada Athan. "Apa yang Aim lakukan saat ini?"
"Membereskan Ina."
Bahunya sedikit merileks mendengarnya, ia menundukkan kepalanya lagi mengusap layar ponselnya. Setidaknya Aim masih melakukannya sesuai kesepakatan mereka. Achlys tidak tahu apakah Athan juga mengetahui hal lainnya tapi ia membisikkannya. "Xander?"
Athan terdiam cukup lama sebelum menjawabnya, membuatnya gelisah. Berkali-kali ia mengusap layar ponselnya sebelum akhirnya Athan menjawabnya dengan suara lirih yang hampir tidak terdengar olehnya. "Sudah selesai. Tidak ada Xander."
Achlys mengangguk dan menghela nafas lega, tidak menuntut penjelasan lebih lanjut karena hanya jawaban itu yang dibutuhkannya saat ini. "Soal Ina, sepertinya kau benar. Seharusnya aku tidak membunuhnya."
"Tidak apa-apa. Kau tidak bermaksud melakukannya," ujar Athan yang menyentuh bahunya sedikit sebelum menjauhkan tangannya lagi darinya.
Ia tahu Athan hanya melakukannya untuk menghiburnya, jadi ia mengedikkan bahu dan menggumamkan terima kasih padanya. "Ayo keluar." [ ]