Chereads / ruang tak bertuan / Chapter 13 - Perjanjian

Chapter 13 - Perjanjian

Damar berlari kecil dengan wajah tegang menghampiri seseorang yang sudah menunggu di dalam cafe. Aura takut jelas telihat di muka sangarnya. Tak tau apa kesalahan yang sudah diperbuat sampai harus dipanggil seperti ini.

" Lapor, ada apa bapak memanggil saya? " mengangkat tangan memberi hormat.

" Duduk ! " pintanya.

" Gak perlu seformal itu sama saya! Saya bukan Tombak ataupun papa! Dan kalau diluar jam dinas tidak perlu memberi hormat saya! paham? " perintah sang wajah datar.

" Siap laksanakan! "

" Aish... dibilangin jangan hormat tetep saja ngangkat tangan! Dasar militer!! " menyugar rambutnya dan tanpa sengaja telah memamerkan aura ketampanan dengan level elang membuat pengunjung hawa terpesona.

" Hehe... maaf... uda jadi adat... " sambil cengar cengir memasang muka tak bersalah.

" Mau pesen apa? "

" lemon tea saja! "

" Mas, lemon tea satu ya...! " sambil melambaikan tangan memanggil pelayan.

Damar menatap dalam pria yang duduk di depannya. Mencoba menggali apa yang akan didengarnya.

" Sebenarnya ada apa mas? " menatap intens lawan bicaranya.

" To the point banget!! "sambil menyesap latte miliknya.

" Apa ada salah? " tanyanya ragu.

" Apa kalau saya manggil pasti ada kesalahan?? "

" Biasanya gitu mas.... " menunjukkan wajah memelas... Damar tidak paham kenapa dia sampai dipanggil anak jendralnya itu.

" Sudah ku bilang hilangkan dulu sikap militermu itu! "Menatap tajam penuh tekanan.

Damar merasa seperti dihakimi, tanpa tau kesalahan yang di perbuat. " Baik mas... "

" Saya bukan Tombak, jadi tolong santai sedikit...! "

" I... iya mas... " jawabnya terbata-bata.

" Heh... " tersenyum mengejek.

"Cuma segitu nyalimu? Badan aja yang gede! "

" Hah? " Damar melongo dikatain begitu. Bagaimanapun dulu dia adalah lulusan terbaik Akmil. Masa dihina seperti itu?

" Gak usah dipikir, nanti cepet tua!! " ledek Banyu.

Damar mencoba bersikap santai meski wajah kikuknya terlihat jelas sangat grogi. Banyu memang tidak setegas dan sekeras Tombak, namun aura diktakrot yang dia miliki melebihi kapasitas Abi dan Tombak.

" Mas...? " menatap intens penuh tanya.

Banyu meletakkan latte yang disesapnya. Menatap tajam mata di depannya seolah ingin menguliti makhluk yang duduk di hadapannya itu.

" Sudah berapa lama kenal sama Rara? "

Damar mengernyitkan keningnya bingung. -' Maksudnya apa ini? '- batinnya.

" Maksudnya mas? " tanyanya sopan.

" Sudah berapa lama kamu intens sama Rara?" jelasnya sekali lagi tanpa mengurangi kadar tatapannya.

" Sejak SMA ... kami satu sekolahan dan pisah saat Rara memilih kuliah di Aussi. Tapi kami ketemu saat saya ditugaskan sebagai ajudannya".

" Fine, kamu tau sisi kelam Rara? " Disini Banyu mulai terlihat menghangat. Bukan sikap seorang pemimpin lagi, tapi sikap seorang kakak yang mengkhawatirkan adiknya.

" Mas... " Damar mencoba mencari keyakinan.

" Saya memang tidak seposesive Tombak untuk menjaga Rara, tapi saya tetap menyuruh orang buat jaga dia dari jauh. Dan itu adalah hal terbodoh yang saya lakukan dimana saya kecolongan sampai hal itu terjadi. " Banyu memandang jauh keluar kaca. Ada beban menghimpit tersirat di matanya.

" Saya melewatkan kenyataan bahwa dia terobsesi pada Rara! " menghela nafas sambil memejamkan mata.

" Dan saya tidak mampu untuk mencegahnya. Seorang adikuasa yang tak mungkin saya lawan!! " Banyu menunduk mengepalkan tangannya.

" Papa dan Tombak berpikir kalau hal yang membuat Rara sampai insomnia adalah kepergian mama. Karna Rara selalu pandai menyembunyikan masalah. Sampai mereka juga tidak tau alasan dibalik kepindahan Rara ke Austria! " Terlihat mendung di wajah kelam Banyu, menyiratkan penyesalan yang dalam.

" Dan saya yakin kamu tau penyebabnya! " Sorot mata Banyu berubah mengintimidasi lawannya. Menatap tajam menghujam bak pedang.

Damar tertegun menyaksikan pantomim Banyu. Mulai wajah diktaktor, beralih seseorang yang sadis menjadi seorang yang penuh hangat dan mengayomi dan seketika berubah jadi seseorang pengancam penuh intimidasi. -' Siapa orang ini sebenarnya? '- batinnya.

" Darimana mas tau semuanya? Bukankah jadwal terbang mas Banyu terlalu padat untuk bisa mengontrol semua pergerakan Rara? " tanyanya penuh selidik.

" Dari teman! " jawabnya datar tanpa menatap Damar.

Curiga, itu yang saat ini Damar rasakan. Tidak mungkin seorang pilot biasa tau masalah ini, sementara pak Abi yang notabene seorang jendral saja tidak bisa mengendus masalah ini.

" Mas sebenarnya siapa? " tanya Damar penuh selidik.

" Kakaknya Rara! " tetap dengan wajah datarnya.

" Mas mau coba nipu saya? " intonasi Damar mulai meninggi. Alumni AKMIL ini jengah saat merasa mulai dipermainkan anak atasannya.

" Heh... " tersenyum meremehkan. " Saya tidak punya cukup nyali untuk mempermainkan seorang militer dengan predikat terbaik seperti a-n-d-a! " jawabnya tegas penuh penekanan.

" Saya minta tolong, jangan ada yang tau kejadian itu, termasuk keluarga saya! Dan tolong awasi Rara kemanapun dia pergi! Untuk saat ini saya belum bisa meninggalkan profesi saya dan saya hanya bisa mengandalkan kamu! I'm trust on you! "

Damar hanya bisa mengangguk saat mata itu menatap dalam penuh harapan. Meski dia bingung kenapa dia yang dipilih bukannya Tombak.

" Pak Tombak? " tanyanya ragu.

" Dia terlalu tempramen untuk menghadapi ini. Nyawa Rara taruhannya. Seorang psikopat seperti dia hanya satu dalam otaknya! Jika tidak bisa memiliki, maka akan dihancurkan! Kamu paham kan?!! "

Damar mengangguk pelan. Tau akan resiko yang bakal dihadapi jika dia lengah.

Damar menyesapi lemon tea mencoba mengurangi ketegangan. Mencerna setiap kalimat yang baru didengarnya.

" Kamu ada rasa sama Rara? " tanya Banyu pelan.

" Uhuk-uhuk... " skakmat... seketika wajah Damar memucat mendengar pertanyaan itu.

" Sudah ku duga! "

" Maaf mas.... " Damar hanya bisa menunduk pasrah.

" Tapi saya tau batasannya dan saya tau isi hati Rara... " Damar hanya bisa menghela nafas mengingat orang yang disayangnya memendam rasa pada orang lain.

" Heh.... kucing garong itu??? "

" Dia belum pantas untuk jadi adik ipar saya! "

" Ini perjanjian kita, cukup saya dan kamu yang tau! paham! " tegasnya.

" Siap! Laksanakan! " jawab Damar tegas...

" Baik saya pergi dulu... lain waktu kita ngobrol lagi... " Banyu bergegas meninggalkan Damar di cafe sendiri dengam penuh pertanyaan yang menggantung di otaknya.

" Ngobrol.... ini mah bukan ngobrol tapi dikte...! " gumamnya pelan melanjutkan menyesapi lemon teanya yang belum habis.