Damar melajukan tesla blue kesayangannya membelah barisan kuda besi yang padat merayap. Jam makan siang masih setengah jam lagi, tapi karpet aspal sudah dijejali dengan deru delman bermesin.
Terasa panas di tengah terik sang surya sama sekali tak dia rasakan. Pikirannya menerawang jauh, mencari celah kapiler untuk bisa merembes keluar.
Entahlah, terlalu sulit untuk dia bisa mengurai simpul itu. Dia sudah dijejali dengan intelejen, penyamaran bahkan penyusupan tapi tak bisa memecahkan kotak pandora ini.
-' siapa kamu sebenarnya mas? '- batinnya.
"huhfh.... " hempasan nafas itu terdengar sangat berat. Seakan menghirup oksigen diantara lautan belerang. Terasa sesak.
Bayangan seorang gadis terlintas di otaknya.
Gadis yang sama dari empat tahun lalu. Gadis yang hampir membuat dia merelakan nyawanya. Yang memaksa dia harus berhadapan dengan maut.
Gadis yang selalu melawan arah dan terlalu luas keberaniannya meski terlihat lembut dan tenang, namun bisa meremukkan lawan dengan kecerdasannya.
Gadis yang selalu memberi keteduhan disetiap mata yang memandang. Dan gadis yang bisa membuat semua orang kehilangan hidup disaat dia terluka.
Damar tidak habis pikir bagaimana bisa ada orang seberani itu melawan arus. Meski sudah sadar dan teramat sadar akan bahaya yang mengintai, tapi sama sekali tak gentar.
-' apa yang buat kamu kayak gitu Ra? '- gumamnya...
Diacak-acak kepala plontosnya sambil sesekali memijat keningnya yang tak pusing.
-' naluri lo tu dibuat dari apa sih Ra? Gak tau apa lo itu berdiri diantara ranjau! '-
Sebuah notif message masuk ke ponselnya,
08232*****
awasi dan jaga Rara. Banyu.
08232*****
saya lebih ngandalin kamu daripada kucing garong itu. trust on it.. gracias.
-' Andai lo tau siapa yang uda nyelametin adek lo mas... gak bakal lo ngomong kayak gitu! '- gumamnya.
Gue gak sebanding dengan orang yang lo bilang ' belum pantas'.
Memori Damar kembali terlempar pada dini hari empat tahun lalu, dimana dia harus dihadapkan antara surga dan neraka. Bagaimana dia bisa menjadi seorang pelindung, jika untuk menjaga saja dia tidak mampu. Hanya dia... dan cuma dia yang sanggup dan pantas disebut pelindung.
Dia yang siap menukar apa saja termasuk jiwanya, dia yang bisa merasakan apa saja, dan dia yang bisa melakukan hal gila hanya untuk melindungi orang yang berarti baginya. Hanya dia... Anggara.... nama yang tak akan pernah dilupakan mereka. Lucifer berwajah tampan.
Dia yang sanggup berjalan diatas pecahan beling tanpa alas dengan darah yang terus merembes dari empat belati tertancap di punggung, perut dan dadanya.
Tanpa peduli rasa sakit dan tubuh yang semakin melemah, berkejaran dengan waktu yang semakin singkat dan terus berkurang dari sebuah dinamit yang menempel pada sosok yang terkulai menjemput maut dengan racun yang terus melemahkan denyut nadinya di gudang tengah hutan. Tak terambah dan tak tersentuh manusia umum.
Sementara gue, gue hanya bisa membisu menahan nyeri disekujur kaki yang sudah lumpuh. Remuk tak bertulang membuat harus miris melihat orang yang gue sayang meregang nyawa tanpa bisa berbuat apa-apa.
Dan karna hal itu, gue harus stay di aussi selama setahun demi pemulihan kaki dan merelakan Rara pindah ke Austria demi keamanannya.
" Cuma dia mas, yang harus disebut 'PANTAS' gumamnya pelan.
Damar membelokkan teslanya memasuki pelataran gedung Waskito Grup. Saat akan memasuki parkir khusus, sebuah audi R8 merah melintas disampingnya.
Dihentikan teslanya tepat di depan lift khusus petinggi, tempat parkir favorit yang gak akan digeser mobil lain. That's right... mana mungkin ada yang berani geser mobil dengan tanda khusus militer dan plat D 43 AR. Semua karyawan Waskito grup pasti akan mengkerdil dulu jika melihat mobil itu.
Berjalan perlahan memasuki lift, wajah datar itu tak pernah berubah dan tetap mempesona bagi karyawati Waskito. Sorot mata tajam bak rajawali, alis tebal dan hidung menjulang semonas serta bibir ranum merupakan perpaduan yang pas dengan rambut plontos khas militer, tubuh kekar nan atletis serta suara bass nan merdu yang selalu membuat kaum hawa terbuai.
Dipencetnya tombol 15 yang akan menghantarkan dia pada lantai dimana Rara berada. Bukan lantai teratas, karna memang sengaja lantai atas dijadikan lounge dan rest area bagi karyawan. Dipilih lantai atas, karena memiliki view yang paling indah, sebelah barat langsung menghadap laut, sebelah timur menghadap kota dengan tujuan agar para karyawan bisa melepas penat dan mengurangi lelah sehingga setelah istirahat mereka bisa fresh kembali melanjutkan pekerjaan.
Saat pintu mulai tertutup, sebuah tangan terulur membuat pintu terbuka lagi. Damar merasa terusik dengan tangan itu. Dia tidak suka berbagi lift dengan orang lain, pengecualian pada Rara tentunya.
Dua orang masuk kedalam lift, satu menundukkan kepala tanpa hormat, satu diam menatap lurus ke depan. Damar menoleh pada mereka, menatap tajam pada seseorang yang ada di depannya. -' Dia... '- batinnya.
Raut tegang jelas terlihat diwajah Damar, terpaku menatap iris mata itu. Sementara lawan pandangnya hanya diam tak bergeming tanpa ekspresi seakan tidak pernah bersua.
-' orang yang sama atau hanya rupa yang sama? Atau memang dia terkena amnesia? '-
Damar merutuki dirinya yang tak mampu bersuara. Tenggorokannya tercekat seakan biji kedondong bersarang di rahangnya. Benarkah dia orangnya? Atau aku yang salah kenal? Bagaimana mungkin dia sama sekali gak mengenalku?
Pertanyaan itu terus mengaung dalam benaknya.
Lift berhenti tepat di angka limabelas, ketiganya keluar bersamaan membuat satu pintu itu sesak akibat tidak ada yang mau mundur. Dhani yang tau posisi melangkah mundur sejengkal di belakang tuannya. Sementara Damar dan Gera saling menghunus tatapan tajam tanpa ada yang mau bergeser. Keduanya hanyut dalam perang dingin yang mencekam. Dhani hanya bisa pasrah melihat keadaan itu, clingak clinguk mencari bantuan. Ingin keluar tapi dihadang dua tubuh kekar di depannya.
" Maaf ,silakan anda keluar dulu pak! " Dhani menginterup keduanya. Terlihat canggung, tapi daripada nginep dalam lift .
Damar berjalan menuju ruangan Rara. Gera mengikut dibelakangnya. Mengamati setiap jengkal tubuh orang di depannya. Mengingat ingat dan mencari memori yang bisa memunculkan data diri orang itu.
" Rara ada mel? " berjalan mendekati wanita dengan penampilan yang agak.... lumayan glamor baginya.
" Di dalem tuh lg pacaran sama laptop pe lupa lunch! Gak tau apa kalo gue juga nahan laper!!" Jawab Amelia tanpa lepas dari file ditangannya.
" Permisi, bu Namira ada? kami perwakilan Danurdidja ingin bertemu! " Sapa Dhani pada sang sekretaris.
Amelia gelagapan mendengar kata Danurdidja.
" Maaf apa ada janji yang sudah saya lewatkan? " tanyanya bingung.
" Tidak bu, hanya saja atasan saya ingin bertemu langsung dengan bu Rara, Kalau boleh sekalian lunch bersama! "
" Tunggu! " Damar memotong pembicaraan mereka. " Lunch? " Ucapnya penuh penekanan.
" Maaf pak, jika belum ada janji Bu Rara tidak bisa sembarangan menerima tahu. Dan perlj anda ketahui, Bu Rara sudah ada janji dengan saya! " Sergahnya.
" Maaf mbak, bisa dicek lagi agenda Bu Rara? Apakah memang ada janji dengan orang ini? " tanya Dhani sarkas.
" Heh, apa maksudmu? saya gak perlu buat memo jika mau bertemu Rara, paham?!! " dipikir dia siapa batinnya.
" Anda bilang hal itu sudah prosedur kan? Tak terkecuali dengan anda berarti! "
" Maksud anda apa? "
Terlihat dua pria bermuka merah padam menahan amarah. Jika bukan di tempat orang mungkin sudah baku hantam.
Amelia kebingungan menghadapi pertengkaran dua orang ini. Ingin rasanya dia berlari menggedor pintu atasannya menyelamatkan diri. Tapi apa daya, jika dia pergi dibilang tidak sopan.
Rara mendengar kegaduhan di luar ruangan bergegas menghampiri sekretaris sekaligus temannya itu.
" Ada apa ini ribut-ribut? "
Tatapannya seketika melemah melihat dua orang yang teramat dia kenal berada di satu ruangan. Dua orang yang sama-sama punya piutang nyawa dengannya. Dua orang yang sudah membuat dia tetap bernafas.