Chereads / ruang tak bertuan / Chapter 17 - Rosee

Chapter 17 - Rosee

Bahagia itu bukan saat kita merasa bangga karna disanjung ataupun direbutkan, tapi bahagia itu saat kita bisa melihat senyum orang lain karena kita....

Aku tidak tau kenapa mereka bersikap layaknya anak kecil. Saling berebut ataupun bertanding untuk mendapatkan sebuah hadiah...

Justru aku merasa muak saat tau mereka melakukan itu hanya untuk mendekatiku. Buat apa? hanya buang waktu dan tenaga demi sesuatu yang tidak penting.

Bahkan mereka sama sekali tidak peduli dengan puluhan jiwa yang bergantung hidup pada mereka.

Marah... aku marah, marah pada mereka yang tidak bisa melihat prioritas, marah pada keadaan yang tak menguntungkan dan marah pada diriku sendiri yang tak mampu melindungi mereka.

Bukan aku lari dari tanggung jawab, bukan pula aku tak peduli... tapi aku tak mampu menghindarinya.

Dan di sinilah tempatku sekarang. Berada dalam keputus asaan dan penyesalan.

Ingin aku menampar ketiganya, apa mereka pikir hidup mereka hanya sebuah taruhan?

Ku biarkan tubuhku disapu angin malam, menikmati bintang diatas balkon kamar. Terasa damai saat mata ini dimanjakan hamparan maha luas sang cakrawala.

Hal yang selalu menenangkan ku disaat aku gundah.

Dulu saat mama masih ada, tiap malam beliau selalu menemani ku menikmati malam dan membiarkanku terlelap di pangkuannya setelah lelah menatap langit.

Dan sekarang, aku hanya bisa menikmatinya sendiri.

" Dertt... derttt... " getaran android membuyarkan lamunanku. Terpampang sebuah nomor tak dikenal.

" Ku tunggu di pintu manyaran! " siapa??? aku merasa tidak pernah memberikan nomor pribadiku selain keluarga dan teman dekatku. Hanya ada enam kontak yang tersimpan.

" Masih peduli panti kan? " kembali sebuah pesan muncul di layar.

Seketika tubuhku menegang. Apa memang dia benar-benar ingin memiliku dengan cara ini? Ya Tuhan... apa yang harus aku lakukan??? Tidak mungkin aku mengatakan ini pada kakakku, apalagi pada Damar dan Bara. Mereka pasti melarangku.

Tak peduli suara gaduhku berlari menuruni tangga, kuhampiri honda jazzku dan kulajukan jazzi ku keluar halaman.

Sekilas kulihat Damar keluar dari rumah ingin mengejarku tapi tak ku hiraukan. Damar memang satu rumah denganku, namun beda bangunan. Dia menempati paviliun khusus ajudan. Sengaja papa menyuruh ajudan untuk tinggal serumah agar lebih efisien jika dibutuhkan.

Jalanan terlihat legang... jelas saja karna waktu menunjukkan pukul tiga dini hari.

Sampai di pinggiran sungai Barito, kucari mobil yang ku maksud.

Meski tak hafal jenis dan plat nomornya, setidaknya dia memberi kode agar aku mudah mencarinya.

Benar saja, seseorang berbadan tegap dengan kaos supreme green old dipadupadankan jeans calvin klein black terkesan kharismatik dan menawan.

Hampir saja aku terpesona akan tampilannya, jika tidak sadar dia adalah mahluk berhati dingin. Mahluk yang tak punya empati sama sekali.

Duduk diatas kap lykan hypersport dengan plat L 54 KA sambil menyilangkan tangan menatap lekat ke arah mobilku.

Ku hentikan jazzi ku tepat di depan dia. Ku tatap lekat wajahnya sebelum aku keluar dari mobil.

" Hufh... " ku hempaskan nafas berat sebarat baja penyangga jembatan.

Aku beranjak pelan keluar, berjalan menghampirinya. Ku biarkan lampu mobilku menyala menerangi kami.

Takut jika dia berbuat yang macam-macam, jalanan juga sepi.

Diam, menatapku dalam seolah ada rasa yang ingin dia sampaikan, ada rasa yang ingin dia luapkan.

Tapi aku tidak peduli, toh nyatanya selama ini dia selalu mengusik hidupku.

Berbuat seenaknya tanpa peduli orang lain.

" what'wrong? " tanyaku.

Masih diam... menatap lekat iris mataku. Aku merasa gelisah dan takut dengan tatapannya. Mana aku sendiri lagi...

" Bukannya sudah selesai? "tanyaku lagi.

" Never!! " jawabnya datar.

Aku mengerutkan kening... apa lagi sekarang yang dia minta.

" So...? "

" Masuk mobil! " Berjalan membuka pintu sambil menggerakkan kepala memberi kode agar aku ikut.

Aku tak bergeming, tetap mematung di tempatku berdiri.

Menyadari tidak ada pergerakan dariku, Shaka berbalik menatapku. Dibiarkan pintu mobil terbuka, langsung menyerobot tanganku dan menarikku masuk ke pintu sebelah.

"Bem... "terdengar sangat keras saat dia membanting pintu.

Terlihat jelas wajah penuh amarah dan mata tajam penuh emosi.

Belum sempat aku mengenakan seatbelt, dia sudah menarik gas dengan kecepatan penuh sampai aku terbentur punggung jok.

Bagai orang kesetanan Shaka melajukan lykan hypersportnya dengan kencang tanpa peduli dengan aku yang ketakutan. Bergerak semaunya menyelip kendaraan lain berkelak kelok tak beraturan sampai membuatku merasa mual.

Saat melihat wajahku yang semakin memucat, dia hanya menyeringai penuh arti. Semakin ku eratkan pegangan, semakin besar dia menambah kecepatan.

-' gila, ni orang mau bunuh gue apa? '- batinku.

" re'you crazy? " tanyaku. Aku menatapnya lekat, tanpa sadar dia pun menoleh ke arahku. Alhasil, tatapan kami saling bertemu. Aku tidak paham dengan tatapan itu, tatapan penuh amarah atau sebuah tatapan rindu? Ah, biarlah... toh aku tidak peduli dengan dia!

Aku terus menutup mata tanpa peduli kemana dia akan membawaku. Terus melaju menyusuri ruas tol keluar Surabaya, sampai tidak sadar ternyata kami sudah memasuki Lamongan. Perlahan dia menurunkan kecepatan dan menyusuri jalan kota keluar tol. Masa bodoh... kalopun dia mau mutilasi aku di tempat jauh aku cuma bisa pasrah.

Ku rasakan perlahan mobil yang aku tumpangi berhenti. Terdengar samar-samar bunyi deburan ombak yang saling berbenturan.

-' apa dia mau nyeburin gue ke laut? '- batinku.

Hening, tak ada suara sama sekali. Lama kami saling diam. Sampai ku rasakan gerakan tangan menyentuh anak poniku yang berhamburan di kening.

" Buka matamu! "perintahnya.

Perlahan ku buka netraku, mengintip sedikit demi sedikit. Ku dengar tawa mengejek dari dia.

Dan benar, wajah dia sudah berada tepat di depanku. Aku kaget setengah mati, saat irit mata itu hanya berada lima centi di depanku.

" Kamu tau, ingin aku memangsamu saat ini juga,!!! Tapi aku bukan bajingan seperti itu! "

Tangannya bergerak ke arah pinggangku. Seketika jantungku berdetak sangat kencang, meloncat-loncat tak beraturan seakan sudah tak betah berada pada tempat seharusnya.

Terdengar suara tombol ditekan. Malu, ternyata dia hanya melepas seatbeltku.

Aku tertunduk menyembunyikan wajah merahku.

" Out!! " perintahnya sambil memegangi handel pintuku.

Dia berlajan mendahului, duduk diatas kap dan memandang jauh ufuk timur dengan rona kemerahannya.

Bisu, deburan ombak seorah menjadi aubade fajar kami. Tanpa kata, tanpa suara.

Ku palingkan kepalaku ke arahnya, terlihat dia sangat menikmati aruna pagi. Aku tak paham, sebenarnya dia siapa? Tatapan itu, tatapan kosong yang seolah meminta perhatian, menaruh harapan, memendam rindu, menahan emosi.

-' kalo gini lo gak terlihat layaknya devil!- batinku.

" Lo tau kenapa gue selalu manggil lo Rosee?"

Aku menggeleng pelan. Meski dia tidak melihatku, karna sedari tadi matanya tak berpaling sedikitpun dari sang fajar.

" Karna setiap gue natap mata lo, ada sejuk yang gue rasa. Layaknya embun pagi! "Dia menghela nafas panjang.

" Forget that! " gumamnya.

Kembali bisu, membiarkan sang alam mengisi keheningan. Perlahan sang fajar mulai menampakkan semburat merahnya, menghangatkan pori yang membeku sejak tadi.

Senyum.... dia tersenyum! Seorang Ajishaka tersenyum hangat menatap mentari. Senyum yang sangat menawan. Aish...pikiran apa ini, gak aku gak boleh terpana dengan senyum devil ini. Gak... gak boleh...

Kami asyik menikmati hangatnya mentari, melihat para nelayan yang bergerak pulang ke daratan membawa jerih payah di atas air.

Ku gerai rambutku dan ku biarkan disapa sang bayu. Melambai searah angin yang menyapu. Dia tersenyum memandangku, menatapku dalam dengan hangat.

Shaka berbalik mengambil sesuatu dari dalam mobil. Sebuah map yang terlihat agak tebal. Disodorkannya map itu ke arahku.

" Akta tanah sekaligus surat IMB beserta perijinan panti lainnya! "

Aku hanya bengong mendengarnya. Mana mungkin dia begitu saja memberikan panti itu padaku.

" Lo berhasil, karna lo ga muntah gue ajak ngebut tadi! Dan lo lebih tangguh dibanding tiga kurcaci itu! "

Ku buka lembar demi lembar isi map ditanganku. Dan ternyata benar, isinya semua yang berhubungan dengan perijinan panti. Sama sekali tak percaya, ku tatap dia sekali lagi.

Shaka bergerak meninggalkanku, membuka pintu mobil dan menghidupkannya.

" Sebentar lagi ajudan lo datang! "

Tanpa pamit dia melajukan mobilnya meninggalkan ku sendiri di tepi pantai.

" Hei... gila lo ya! "aku berteriak sekeras mungkin agar dia berhenti dan berbalik.

Tubuhku lemas seketika, memikirkan bagaimana cara aku bisa pulang. Sementara jazzi ku kutinggalkan begitu saja di bantaran sungani tadi. Bodohnya aku menurut saja kata dia.

" Shitt..!!! " umpatku.

Tapi bentar, dia bilang ajudanku menjemput?? Mana mungkin??? Aku keluar rumah saja tidak ada yang tau? Gimana Damar bisa jemput aku??? Ni orang bener-benr bikin naik darah,untung aku ga punya hipertensi.

Aku tertunduk pasrah di atas hamparan pasir, pergi begitu saja tanpa membawa apa-apa! Dompet, android, bahkan tak ada selembar uang pun disaku celanaku. Betapa bodohnya aku, tapi mau gimana lagi uda nyebur ya basah!!!

Terdengar suara mobil mendekat, dan benar Damar datang menghampiriki. Darimana dia tau keberadaanku? Aku memandangnya lesu, terlihat wajah khawatir dan cemas yang tak dapat disembunyikannya. Hal yang aneh, karna sebelumnya dia selalu tenang menghadapi apapun.

" Lo gal papa Ra? " tanyanya sambil meneliti setiap inci kulitku dari ujung kaki sampai ujung kepala.

Aku hanya mengangguk pelan tanpa bersuara.

Membiarkan kecemasannya yang tak berkurang. Terasa geli memang, melihat orang yang selalu cuek bisa menjadi orang yang kebakaran jenggot.

" Kita pulang ya! " Aku hanya mengangguk mengikutinya memasuki Tesla kesayangannya. Aku senang dia tidak menginterogasi karna akan sangat bosan jika harus menjawab berbagai pertanyaannya nanti. Dan itulah kelebihan Damar di banding kedua kakakku. Dia tidak akan menjejali pertanyaan yang bakal buat aku pening. Dia lebih suka diam dan menungguku bercerita sendiri nanti.

Ku sandarkan kepala pada punggung jok. Rasa kantuk mulai menghinggapiku, karna sejak malam aku sama sekali belum memejamkan mata sedetikpun.

Melihatku yang kelelahan dengan mata sayu, Damar mengambil cardigan yang selalu dia simpan di mobilnya dan menyelimutkan pada badanku.

" Bobo ya... gak usah banyak mikir! " Mengusap lembut kepalaku dan membiarkanku terlelap. Sementara dia fokus menyetir membawa ku pulang ke rumah.

-' Shaka, who are you? '- batinku. Ku pejamkan mata ini,perlahan aku sudah terlelap dibuai alunan melodi yang diputar pelan Damar. Mengarungi lautan mimpi yang sudah sejak tadi menungguku.