Bel tanda pelajaran pertama dimulai sudah berbunyi sejak beberapa menit yang lalu dan guru yang mengajar pun sudah datang ke kelas.
Ochi melirik bangku di sebelahnya yang kosong. Kemudian matanya beralih pada beberapa meja di gang sebrang yang diisi oleh keempat sahabatnya, mereka berempat tampak bahagia tidak seperti Ochi yang galau.
Astaga, begini ya rasanya jadi Nean. Duduk sendiri tanpa teman. Beruntung, sekarang Nean sudah tidak lagi duduk sendiri karena sudah ada Dean yang menemani nya.
"Jiah, sendirian gak ada temen." ejek Gading dari meja belakang.
Ochi diam, mengabaikan Gading dan menganggapnya seperti mahkluk tak kasar mata. Namun, yang namanya Gading Genta Dafiano Alejandro tidak akan pernah bisa tenang kalau tidak membuat Ochi kalap. Seperti ada yang kurang dalam hidupnya kalau melihat Ochi bahagia.
"Ci, kenapa sih rambut lo gak di pangkas kayak gue sama yang lain. Panjang banget kayak cewek."
Sekali, Ochi masih diam.
Dia sabar, meski kini Gading terus memegang rambutnya. Ochi tidak masalah kalau hanya sekedar pegang saja, masalahnya Gading ini suka kumat. Diawal doang dia megang rambut Ochi lembut, namun lama kelamaan berubah jadi menjambak kuat rambut Ochi.
Mana kencang banget.
"Arghhh! Gading! Rambut gue..." jerit Ochi dengan pelan agar tidak kedengaran bu Sintia yang sedang memainkan ponselnya.
Gading terkekeh, "Sorry, Ci. Gue kira rambut palsu tadi." Katanya.
"Rambut palsu muka lo yang palsu, jenglot mesum! Awas ah, jangan sentuh-sentuh rambut gue."
Ochi memajukan kursinya ke depan, namun ditahan sama kaki Gading. Hal itu membuat Ochi kesusahan menarik kursinya.
"Ding..."
"Apa hem?"
"Kaki lo."
"Kaki gue apaan?"
"Kaki lo awasin dang ding dong!" sembur Ochi galak yang langsung mendapat tawa renyah Gading.
"Ketawa lo, Jeng. Gue smekdon juga lo lama-lama." Dengus Ochi.
"Kayak bisa aja. Badan kecil kayak lo ini emang bisa ngangkat badan gue yang sebagus Kai Exo mu itu?" tanya Gading membuat Ochi mual.
Jadi pengen muntah dimuka Gading.
"Tolong ya, badan Kai itu cangtip. Badan lo, astaga. Kayak busung lapar tau gak!" Cecar Ochi pedas yang justru dibalas kekehan Gading.
"Bisa aja lo ngelawak, banci siluman." kekeh Gading.
"Melawak apanya sih, Ding? Dah ah, gue mau belajar serius. Lo jangan ganggu," kata Ochi memajukan kursinya lagi.
"Belajar serius? Astaga, penistaan diri macam apa itu, hyung?" cibir Gading yang dibalas acungan jari tengah sama Ochi.
Mungkin didepan tujuh abangnya, Ochi selalu bersikap layaknya anak kecil yang polos dan tidak tau apa-apa. Lemah lembut, penurut dan sangat menggemaskan. Namun berbeda jika diluar, apalagi jika dihadapan Gading si jenglot mesum.
Bawaannya, Ochi seperti singa betina yang kelaparan saja. Ngegas terus, mengamuk terus. Tidak ada lembut-lembutnya. Malah berubah jadi cewek perkasa dia.
"Maunya tadi gue rekam kirim ke abang lo, enak nih." kata Gading yang diabaikan Ochi lagi dan lagi.
"Udah lah, Ding. Gak ada capek nya lo bikin Cici ngamuk. Kasih libur sehari kek, kecapekan dia ngamuk terus." nasehat Jack, teman sebangku nya Gading sejak dari mereka duduk di sekolah dasar.
Kalau bisa dibilang, mereka seperti sahabat dekat dari kecil.
"Semalam dia udah libur, Jack. Keenakan kalo libur terus, entar hidupnya bahagia. Gue gak suka dia bahagia, lebih enak ngeliat dia ngamuk. Betulan kayak banci lagi tawuran." jawab Gading terkekeh geli ketika Ochi mencubit tangannya yang sengaja ia letakkan diatas meja.
"Pelan-pelan dong Ci, main kasar mulu." ujar Gading, ambigu.
Ochi mengelus dadanya, "Sabar, emang begitu bentukan nya jenglot mesum."
Dan Gading kembali tertawa lepas namun langsung dibekap mulutnya sama Jack. Bisa bahaya kalau sampai kedengaran sama bu Sintia. Yang ada mereka disuruh menghormati bendera sampai bel istirahat kedua berbunyi dilapangan.
"Ding, lo kalau mau mati jangan ngajak-ngajak dong." protes Jack mencebikan mulutnya kesal.
"Ya ngajak dong, ntar kasihan gue sendirian di surga." balas Gading menyebalkan.
"Yakin amat mas tinggal nya di surga. Gak di neraka?" sahut Ochi mencibir.
"Ci, jangan gitu dong. Malu kedengaran sama orang, nanti aja pas gak ada orang." ujar Gading semakin ambigu.
Ochi menutup wajahnya dengan buku dan mendengus sekuat mungkin agar bisa didengar Gading. Cowok itu, arghhh. Pikirannya tidak pernah suci, selalu kotor. Ochi jadi berniat untuk bantuin Gading nyuci otaknya menggunakan detergen.
Biar bersih dan busa berpikir bersih dan yang engga-engga lagi.
"Ding, otak lo—kotor bener." kata Jack menggeleng-gelengkan kepala.
Gading berdecak, "Lo mah negatif thinking sama gue. Maksud gue tuh jangan kenceng-kenceng bilang i love you nya, malu kedengaran sama yang lain."
"Nanti ya, yang. Pas gak ada orang aja bilang cinta nya." kata Gading semakin menjadi-jadi.
Tubuh Ochi bergidik geli. Kini perhatiannya tertuju ke arah depan, tepat dimana satu guru Bp—bu Jenny namanya yang datang ke kelas mereka.
Tumben sekali, ada apa?
Bu Jenny terlihat membicarakan sesuatu dengan bu Sintia, dapat dilihat dari beberapa kali bu Sintia menganggukan kepala. Kemudian setelah itu bu Jenny memanggul seseorang untuk masuk.
"Oke anak ibu, ibu minta maaf sama kalian. Zein terlambat karena tadi ada urusan di kantor Bp, maaf ya. Bu maaf udah bikin Zein telat masuk." ujar bu Jenny.
"Iya bu." Sahut mereka kompak.
Orang yang dipanggil bu Jenny masuk kedalam dan dalam hitungan detik, kedua mata Ochi melotot lebar. Dia menggigit bibirnya, bagaimana mungkin ada pangeran di kelasnya?
Wajah nya begitu terpahat dengan bagus. Hidung yang sangat mancung, kedua mata yang menyorot tajam, alis tebal yang rapi, kulit putih, badan atletis dan tinggi juga rahang yang bergaris kokoh.
Ochi menggelengkan kepalanya, bagaimana caranya Tuhan menciptakan mahluk tampan seperti dia.
Lelaki yang bernama Zein itu berjalan kearah Ochi, karena dia duduk dimeja yang sama dengan Ochi. Kedua matanya terus menyorot tajam membuat Ochi membeku.
Ochi mengerutkan alis saat lelaki itu tak juga kunjung duduk dan justru malah berdiri diam saja. Lama mereka saling bertatapan, dengan Ochi yang kebingungan.
Sampai akhirnya, Gading menendang pelan bangku gadis itu namun sukses mengagetkan Ochi.
"Udah ayo natapnya, kayak banci betulan dah." kata Gading memecahkan lamunan temannya itu.
Ochi mendengus, "Apa sih Ding, apa?" Ketus nya.
Gading berdecak, "Lo nya yang apa-apaan. Itu si Zein mau duduk tapi lo halangi, cepetan berdiri." Kata Gading yang lagi-lagi sukses membuat Mata Ochi melotot.
Dia berdiri canggung dan langsung meminggirkan tubuhnya untuk membiarkan lelaki tinggi nan tampak itu masuk. Saat bersisian dengan Zein, tangannya tak sengaja bersentuhan dengan tangan Zein yang semakin membuat Ochi mengigit pipi bagian dalamnya.
Astaga, tangannya aja mulus. Kurang apalagi, diriku insekyur jadinya. Batin Ochi lebay.
Ochi langsung duduk lagi dan canggung meliputi nya. Dia berubah menjadi kaku seketika. Apalagi Zein, lelaki yang disebelah nya itu diam saja tanpa mau berbicara padanya.
Atau hanya sekedar mengajak kenalan karena mereka kan belum saling kenal satu sama lain.
"Ci, udah biasa aja. Gak usah alay gitu, malu nih gue." kata Gading yang tidak bisa dibilang sedang berbisik karena masih kedengaran sampai ke telinga Zein.
Ochi menundukkan kepalanya malu sambil berdecak,
"Jenglot mesum, please sehari aja jangan malu-maluin gue."
Alis Gading mengernyit bingung, "Gue malu-maluin lo? Yang ada lo kali yang bikin malu gue."
"Ya udah diem aja, bacot banget hidup lo."
"Gak bisa, gue emang banyak bacot anaknya." kata Gading. Lelaki itu beralih pada Zein, kemudian dia menyenggol kaki kursi Zein pelan. "Woy, bro."
Merasa ada yang menyenggol kursinya, lelaki tampan itu menoleh pada Gading yang kini memberikan cengiran khasnya. Sedangkan Ochi mendadak curiga pada Gading, lelaki itu pasti sedang merencanakan sesuatu.
"Gue cuman mau ngasih tau kalau ini Ochi namanya, panggil aja Cici kalau malam, kalau siang beda lagi. Agus nama malam nya." Canda Gading terkekeh.
"Ntar kalau dia kumat lo jangan kaget. Emang gitu anaknya, apalagi paling lemah sama cogan. Siap-siap dah lo jadi korban santapan nya." Sambung Gading yang berhasil membuat Ochi malu semalu-malunya.
Kalau ada laut saat ini, mungkin dengan senang hati gadis itu berenang disana untuk menyembunyikan dirinya.
"Gading, gue tebas samurai mulut lo ya." ancam Ochi membalikan badannya kearah Gading. Dia melotot kan matanya.
Namun lelaki itu mengabaikan nya dan semakin semangat untuk mempermalukan Ochi. Benar-benar teman kurang ajar yang gak cocok ditiru.
"Kalau dia kumat kasih tau gue. Biar gue sembur, biasanya sih langsung normal lagi kalau udah di sembur."
Hancur sudah image Ochi didepan Zein. Dia mengambil bukunya dan menutupi wajahnya yang tidak tau mau dia letakkan kemana lagi.
"Gue tau, dia memang alay."
****
Ochi menusuk bakso nya dan memakannya dengan ganas. Kemudian mencak-mencak tidak jelas. Begitu terus sejak dia duduk di kursi kantin sekolah nya.
Aurora, Gigi, Ilva, dan Alya memandang ngeri kearah teman mereka yang satu itu. Kemudian saling bertukar pandang satu sama lain.
Alis Alya naik keatas, memberi kode pada Aurora untuk bertanya terlebih dahulu. Bukannya paham Aurora justru malah bertanya bingung. Membuat Alya berdecak pelan.
"Kenapa sih, Al? Alis lo kemasukan Kiki challange?" tanya Aurora berbisik sepelan mungkin. .
"Pala lo kemasukan Kiki challange. Lemot banget sih, Ra. Itu loh, coba tanya Cici kenapa dia begitu?" tukas Alya membuat Aurora ber-oh ria.
"Lo berdua kalo mau berantam di lapangan sana. Luas, ganggu acara aja!" rutuk Ilva melototkan kedua matanya.
Aurora meringis kecil, kemudian merapatkan kedua tangannya.
"Ampun, sist."
Gigi memutar bola matanya malas, dengan bersedekap tangan di depan dada. Perempuan itu menatap dua temannya malas, "Gue males kalo lagi gak lemot tapi malah kayak begini. Berasa kayak sia-sia gitu kecepatan otak gue nangkap pembicaraan." Sungutnya sebal.
"Salah, Rora. Lambat kalo mikir, ketularan lemot lo kayaknya, Gi." kata Alya menyikut tangan Aurora.
"Lo kalo mau niru gue yang positif napa, Ra. Jangan yang negatif, gak bagus." ujar Gigi yang malah setuju dengan perkataan Alya.
Yang menjadi korban pun berdecak, kemudian mengikat rambutnya. Setelah itu meminum jus jeruk nya, "Salah mulu gue."
"Karna lo emang salah!" balas ketiganya serempak.
Yang kaget tidak hanya Aurora, melainkan Ochi yang kini menghentikan kegiatan makannya. Gadis itu menatap keempat temannya bergantian dengan kerutan dahi yang terpatri jelas.
"Lo semua ngapain?" tanya Ochi, nadanya begitu menyeramkan dan tatapan nya mengintimidasi.
"Ini, mereka penasaran kenapa lo kayak kerasukan gitu?" ujar Gigi dengan polosnya tanpa perduli tatapan tajam ketiga temannya.
Alya dan Aurora kompak membekap mulut Gigi yang terus memberontak. Sedangkan Ilva menatap biasa pada kelakuan dua temannya yang terlalu berlebihan.
"Lepas woy! Masa lo mau bunuh temen sendiri!" Kata Ilva menarik tangan Aurora dan Alya yang membekap mulut Gigi.
Alis Ochi semakin mengerut bingung,
"Kalian kenapa sih? Kayak anak-anak!" omel nya galak.
"Ci, what's wrong?"
"Lo pms?"
"Ada masalah apa gimana?"
"Kenapa ciiii?"
Pertanyaan tumpang tindih itu semakin merusak mood Ochi. Dia jadi mengingat kejadian dikelas tadi. Tangannya bergerak menusuk sisa bakso nya dengan kasar sambil berdecak.
"Gue kesellllll!" Katanya.
"Kesal kenapa?" tanya Aurora penasaran. Wajahnya ia pangku menggunakan kedua tangan nya.
"SI DANG DING DONGGGG!"
"Iya ada apa sama dia? Ngajak nikah lo lagi si Gading?" Alya memasang wajah tak berdosa nya.
Gadis itu tidak tau jika Ochi hampir saja serangan jantung mendengar pertanyaan nya barusan. Namun Ochi mengabaikan nya dan melanjutkan penjelasan nya.
"Dia mempermalukan gue didepan si cowok blasteran surga." Jelas Ochi.
"APA??"
"SI ZEIN? SI COWOK BLASTERAN SURGA?"
"LO DIBIKIN MALU? DIDEPAN COWO CANGTIP?"
"AUTO JIJIK DIA CI. GAK MAU TEMENAN SAMA ANAK PUNGOT DIA."
Ochi mengelus dadanya sabar, seharusnya Ochi yang berteriak heboh bukan empat mahkluk jadi-jadian didepannya ini. Tapi keempat temannya yang justru lebih heboh dari dia, bahkan teriakan mereka berhasil membuat semua murid yang tengah makan di kantin menoleh pada mereka.
"Heh, mulut. Berisik!" Omel Ochi meletakan jari telunjuk di mulut nya.
"Wah parah, Ci. Lo gagal jadi calon pacar si cowok blasteran." Aurora menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Ya bagus dong, Ra. Kurang satu saingan kita," sahut Ilva tersenyum lebar.
"Kurang ajar! Jahat banget sama temen sendiri." Rutuk Ochi mengerucut kan bibirnya.
Kening Giandra mengerut, "Eh tapi, gue curiga. Jangan-jangan Gading bikin semua cowok ilfeel sama lo karena dia takut lo sama cowok lain. Kayak cemburu gitu," katanya berhasil bikin teman-temannya diam.
"Iya ya, bisa jadi tuh. Secara hampir setiap cowok deketin Ochi selalu di ganggu dia," sahut Ilva mengangguk setuju.
"Tumben pinter Gi," kata Ilva tertuju pada Giandra yang kini tersenyum lebar.
Giandra menepuk dadanya bangga dan tersenyum miring, "Gigi nih, kisah cinta mana yang gak gue tau!" Katanya.
"Kisah cinta lo sama jodoh belum tuh, Gi." Celetuk Alya.
"Ya kan itu beda cerita." balas Giandra. "Tapi kaget juga sih kalau misalnya Gading betulan suka sama Ci—"
"GUE GAK SUKA YA!" bentak Ochi tiba-tiba, mengangetkan semua orang.
Bahkan Alya dan Aurora serempak mengumpat keras sangkin kagetnya. Ochi, temen mereka itu memang memiliki satu kelebihan yang lebih baik dipendam saja karena sama sekali tidak ada guna nya.
Berteriak tiba-tiba, mereka yakin orang gak waras sekali pun bakal marah sama Ochi tiap kali kebiasaannya itu kambuh.
"Ci, tolong dong kebiasaan lo itu di tanam aja. Bikin serangan jantung aja!" dengus Aurora mengelus dadanya.
"Orang punya kelebihan nyanyi, nulis, gambar. Lah ini, bikin lepas jantung orang!" Repet Alya. Jantung nya masih berdebar kencang, meskipun sudah lama berteman dengan Ochi tetap saja dia tidak bisa mengelak untuk tidak kaget setiap temannya itu menunjukan kelebihan nya.
"Untung jantung gue ori, kalau palsu udah meledak tadi." kata Ilva menepuk dadanya.
"Berasa jadi mpok latah gue," kekeh Giandra.
"Makanya jangan banyak tingkah. Enak aja, masa Gading gajah dikatain suka sama gue," Sergah Ochi galak. "Gue jijik! Jauh-jauh Gading dari hidup gue. Sehari jumpa dia aja langsung ketiban sial gimana kalo selamanya. Gak kebayang betapa gak berguna nya hidup gue."
"Dan tolong, gue gak bakal nyerah buat dapetin hatinya Zein! Biar kata pamor gue udah jelek dimata dia karna kembaran jenglot itu. Gue gak akan nyerah!" ujar Ochi berapi-api.
"Gue bakal jadi pacar Zein. Ingat ya! Gue bakal jadi pacar Zein!"
"Pacar siapa, Ci?"
"Gadinggg?!"
"Pacar Zein? Wah gila, Zein ada yang ngaku-ngaku jadi pacar loh ini."
Mata Ochi hampir saja loncat keluar begitu mendapati manusia jadi-jadian lainnya bersama sang penghuni surga. Gading, lelaki itu berada di kantin bersama Zein dan Jack teman sebangku nya. Mereka membawa nampan yang berisi makanan masing-masing.
"Lo mau jadi pacar gue?"
DEMI APAPUN!
OCHI BENAR-BENAR MALU SEKARANGGG!
UDAH DIA BILANG KAN, GADING ITU PEMBAWA SIAL DI HIDUPNYAAA!
ARGHHH! DIA HARUS APA SEKARANG?