Sore hari memang menjadi waktu terbaik untuk menikmati seduhan kopi. Tapi kali ini berbeda. Seduhan yang dulu harus nikmat kini harus terasa berbeda karena hadirnya sebuah perasaan baru. Duduk di teras ditemani cahaya mentari perlahan dilahap bumi. Aku berbincang pada ihwal hilir angin. Menestapai suasana yang kian menyejukkan atma.
Selamat datang di ceritaku.
Ini tentang kisahku, menjadi salah satu pejuang di antara ribuan pemilik kekuatan hebat. Bersatu untuk melindungi manusia dari kepunahan yang mengancam.
Namaku Akmal, umur 17, memiliki rambut hitam bergelombang yang selalu disisir ke belakang, kata orang aku memiliki mata yang menawan selain pupil berwarna biru, alis mataku sedikit melengkung ke atas. Ditambah lagi hidung mancung membuat wajahku terlihat perpaduan ras mongoloid dan kaukasoid. Jika dibandingkan, aku lebih mirip Mama ketimbang Papa. Setidaknya itu yang dikatakan teman-temanku.
. Aku cinta sains. Jangan tanya lagi kalau sudah ada kaitannya dengan sains seakan-akan waktu menjadi milikku. Fisika sangat menarik bagiku, namun Kimia jauh membuatku jatuh cinta ketimbang mata pelajaran lainnya. Sedikit cerita konyol pernah laboratorium sekolah meledak akibat ulahku saat pelatihan International Chemistry Olympiad di Bangkok, hanya karena aku bertaruh pada temanku jika berhasil mencampurkan amonium nitrat dengan bahan lain tanpa meledak maka jatah makan sorenya harus jadi milikku .
Karena kesalahanku itu. Timku dikeluarkan dari masa pelatihan tersebut dan dipulangkan kembali ke Indonesia. Padahal kami di Bangkok belum genap empat hari.
Sekarang aku duduk di bangku kelas akhir. Semuanya biasa saja layaknya murid normal. Tidak ada yang spesial dariku.
Hingga suatu hari. Semua berubah.
"Akmal, bangun!" teriak seseorang memecah keheningan. Suara tersebut berasal dari wanita berusia tiga dekade berambut pendek yang adalah Mamaku. Sudah menjadi rutinitas Mama untuk membangunkanku setiap pagi. Dan kali ini Mama melakukan dengan berteriak lebih keras
Sosok penuh kasih sayang namun terkadang sering ngomel kepadaku untuk bangun lebih awal agar bisa berolahraga walau hanya sebatas push up atau pull up. Wajar saja sih aku diperlakukan sedemikian rupa karena aku adalah anak tunggal. Papaku pekerja kantor. Berangkat mulai jam 6 pagi sebelum aku menyentuh sarapan pagi dan pulang jam 11 malam saat aku terlelap tidur. Tapi itu bukan menjadi masalah. Sesibuk apapun Papa, ia adalah sosok paling sabar yang pernah kukenal selama ini. Setiap weekend Papa selalu meluangkan waktu berdiskusi apapun denganku. Mendengarkan celotehan dan kritik dariku dengan logat seperti Mama, dan selalu berkata 'iya' saat aku meminta sesuatu yang kubutuhkan walau barang tersebut punya harga tiga kali lipat uang bulananku.
"Akmal. Bangun nak!" teriak Mama memperingati lagi. Aku bergegas turun ke bawah. Bisa gawat kalau Mama kehilangan batas kesabaran cuma gara-gara aku.
"Sudah jam berapa ini nak? Kamu mau telat lagi?" tanya Mama.
Aku hanya bisa mendengar tanpa membalas. Baik, sifat pemalasku terkadang sangat menjengkelkan.
"Cepat makan sarapanmu Mal, Mama gak mau lagi denger omongan para guru tentang kamu yang telat belakangan ini." Aku mengambil tempat duduk di belakang Mama yang tengah memotong tempe..
"Baik Ma, Aku usahain kok lagian cuma telat dua menit doang, itu juga karena gak beruntung, baru masuk gerbang sekolah eh langsung dipanggil satpam, suruh ke kantor guru karena telat. Huh, emang gak bisa diajak kerjasama," jawabku dengan ketus. Membenarkan posisi kursiku sedikit maju kedepan.
"Itu namanya kamu kurang disiplin. Gak peduli mau berapa menit, kalau terlambat ya terlambat Nak. Kamu sih, sibuk main depan layar komputermu. Lain kali Mama bilang ke Papa buat batasi wifi kamarmu" Kata Mama
"Bukan main Ma?! Aihhh. Ya jangan dong. Berapa kali Akmal bilang kalau Akmal lagi simulasi permainan fisika, itu tu bermanfaat. Mama si salah nangkep."
"Iya sama aja udah. Ujung-ujungnya telat tidur kan."
Aku berhenti membalas perkataan Mama. Kalu udah gini, aku hanya bisa iya saja.
Mama dengan santai membolak balikkan tempe goreng kesukaanku, ia gesit sambil memperagakan gerakan chef terkenal walau yang tengah ia masak cuma tempe. Dua menit tanpa menunggu lama tempe goreng tersaji di depanku. Celemek Mama terlihat miring dengan bekas noda satu dua warna yang tak bisa hilang setelah berkali-kali dicuci, rambut di dahinya berantakan, menutupi pelipis. Mama tangkas dalam bekerja.
"Kamu mau tempe goreng atau nasi goreng, mal?"
"Tempe aja ma, seperti biasa. Papa udah berangkat?" Mama memberi piring, melepas celemek, menarik kursi, lalu duduk. Sejenak merapikan rambut di dahi yang masih berantakan.
"Udah dari tadi Papa berangkat, katanya ada meeting sama investor" Mama mulai mengambil nasi goreng. Menghembuskan napas sebentar. Mulai sarapan.
Tinggal dirumah sederhana bercat coklat yang memiliki dua lantai satu garasi dan kebun belakang seluas dua hektar bukan perkara mudah, pasalnya mengurus rumah dan membersihkan kebun sangatlah menyita waktu, awalnya Papa ingin mempekerjakan asisten rumah tangga, tapi Mama menolak dengan alasan ia bisa mengurusnya. Padahal ia juga seorang pengusaha kain yang notabene selalu sibuk dalam mengurus pesanan pelanggan dan persediaan toko.
Mama berbeda, kalau saja ada penghargaan predikat orang berkarir tapi harus mengurus rumah mungkin Mama adalah pemenangnya, ia orang yang disiplin, tekun. Bercermin pada diriku sendiri, kayaknya aku dan Mama sama namun dengan konteks yang berbeda.
"Breaking News!! Dalam tiga hari kedepan akan terjadi fenomena yang perkiraan siklus fenomena alam ini hanya terjadi dua ribu tahun sekali. Badan Meteorologi Geofisika mengatakan bahwa asteroid berukuran sedang akan memasuki atmosfer bumi dalam tiga hari ke depan, asteroid tersebut akan meledak akibat bergesek dengan atmosfer. Diprediksi akan terjadi hujan asteroid setelahnya pada malam hari-." Jelas wanita paruh baya membawakan berita di layar televisi. Mama berdehem. Mencoba memperbaiki posisi duduk, mengambil ikan yang tinggal sedikit.
"Asteroid? " tanyaku polos. Entah apa yang saat itu ada di pikiranku, aku jadi penasaran melihat fenomena ini.
Mama diam sebentar, matanya tertuju padaku. Mengisyaratkan bahwa ia ragu, instingnya mengatakan anaknya akan melakukan tindakan yang ceroboh.
"Mal, jangan ngelakuin hal-hal yang aneh." Cemas Mama menatapku khawatir.
Aku tersenyum lalu kembali makan.
Dalam senyum kala itu aku tak menyadari bahwa itu adalah awal bencana terburuk dalam sejarah umat manusia. Sejarah yang melahirkan malapetaka maha dahsyat. Dan pada saat itu, pasrah adalah takdir. Berusaha atau pasrah semuanya akhirnya akan mati. Orang-orang mengatakan bahwa tidak ada harapan selamat dari bencana tersebut.
Namun, sepercik sinar pasti akan muncul pada kegelapan total sekalipun. Menumbuhkan kepercayaan bahwa doa masih ada untuk terus dipanjatkan. Guna membuka kesempatan di segala rumitnya kesempitan.
***