Chereads / The God Eater Hidden Hero / Chapter 3 - Gadis Hujan Waktu Itu

Chapter 3 - Gadis Hujan Waktu Itu

"Aduh Mal, berhentilah mengagetkan Mama." Mama berseru, mukanya pucat. Mengacak-acak rambutku.

Aku tersenyum. Sengaja aku mengagetkan Mama pagi ini. Sejak habis subuh Mama sudah sibuk dengan pekerjaannya, ditambah lagi harus membuat sarapan pagi. Mengharuskan Mama bekerja super ekstra.

Papa yang tergesa-gesa menuruni anak tangga, bergabung di meja makan, tertawa melihat Mama yang mengelus dada dan menghembuskan napas. Papa hari ini tidak masuk kerja lebih awal. Setelah beberapa urusan dengan klien selesai, waktu papa bisa lenggang sedikit. Yah, walaupun tidak bertahan lama. Setidaknya pagi ini kami diberi kesempatan lengkap untuk berkumpul.

"Berhenti mengganggu Mama mu Mal." Papa memperbaiki kera kemeja, menarik kursi, mengambil piring, sendok, dan duduk.

"Cuma iseng doang Pa" jawabku santai, menarik kursi depan Papa.

Papa menggeleng sedikit tertawa melihat Mama. Mama masih sibuk dengan celemek khas dapur. Menyiapkan piring lauk, meletakkan gelas di meja makan.

"Mama mu emang begitu. Selalu mandiri, pekerja keras, kalau serius selalu tak memperhatikan sekitar." Papa tersenyum padaku sambil menuangkan nasi ke piring.

Aku membalas senyum Papa. Mengambil segelas susu hangat.

"Sekolah kamu gimana Mal?" tanya Papa.

Aku tidak membalas, hanya memberi senyum simpul.

Papa sedikit cemas, melihatku. Mengambil air putih.

"Ada apa lagi ini?"

"Kalau boleh jujur bosan Pa. Dulu aku pernah minta SMA cuma dua tahun kan, tapi Papa Mama nggak setuju. Sebenarnya nggak ada masalah ama pelajarannya, cuma pengen cepet-cepet masuk kampus."

"Papa Mama udah diskusi soal itu Mal, kamu juga sudah tahu. Papa tahu kamu pintar, malahan satu tahun kamu belajar Papa rasa sudah lebih dari cukup. Tapi Papa Mama gak mau kamu tumbuh cepat melewati masa muda. Santai, kuliah itu padat, nikmati sekolah terakhir sebelum masuk ke jenjang perkuliahan, percaya Papa. Kalau kamu cepat masuk kuliah kamu bakal pengen balik lagi ke masa SMA." Jelas Papa.

Aku menghela napas, minum susu. Jawaban yang sudah kuprediksi Papa katakan.

Menyelesaikan sarapan, aku tinggal Papa Mama ke kamar. Bersiap berangkat ke sekolah. Sebelum melangkah menaiki tangga, aku menoleh.

"Pa, dua hari lagi Aku pergi sama Zakky." Kataku. Melangkah naik

Papa hanya menaikan alis, menyeduh kopi. Manggut-manggut tanpa berat hati.

"Silakan jika itu mau mu Mal." Jawabnya enteng.

Papa sejak dulu tak pernah melarang apapun selama berbau positif dan dapat bertanggung jawab. Ia jarang menanyakan sebab ketika aku menyebutkan dengan siapa aku pergi. Papa mengerti siapa temanku, kalau pikirnya tak masalah maka semua akan baik-baik saja. Pesan Papa, jangan macem-macem, Papa sudah kasih izin. Sebuah pesan yang kalau kulanggar sudah pasti akan tidur di luar.

Lima menit kemudian, aku pergi menggendong tas. Menghampiri Mama yang masih sibuk di dapur. Memeluk. Mencium tangannya

"Akmal brangkat Ma."

Mama mengacak-acak rambutku, tersenyum. "Hati-hati jangan ngebut."

"Ihh Ma, Aku udah lama nata rambut malah diacak-acak." Rengekku

"Biarin, hukuman buatmu yang tadi ngagetin Mama. Kamu ini udah besar masih aja kayak anak kecil. Untung Mama nggak punya penyakit jantung, kalau punya bisa kambuh ntar." Mama kembali tersenyum, memajukan bibir. Menahan tawa.

Papa masih sibuk dengan koran paginya. Duduk santai. Waktu santai Papa masih lama. Kulirik jam tangan masih ada waktu dua puluh menit lagi. Bergegas aku naik motor yang sedari tadi siap depan rumah.

Di tengah perjalanan tiba-tiba hujan turun. Suara rintikan mulai menetes satu persatu membuat jalanan becek. Padahal tadi berangkat langit masih cerah.

Terpaksa aku memarkirkan motor ke suatu warung pinggir jalan. Menghindari basah. Syukur tak terlambat. Telat sedetik atau semenit lagi, udah habis diguyur air dah. Masuk sekolah dengan pakaian basah kuyup akan sangat tidak nyaman.

Banyak pengendara motor juga ikut menepi, berhenti sejenak mengenakan jas hujan lalu melanjutkan perjalanan. Aihh, alangkah sialnya aku tak membawa jas hujan. Kalau tau bakal turun hujan pasti sudah kusiapkan sebelum berangkat. Ya, namanya berkah siapa yang tau kalau datangnya bisa kapan aja.

Aku merapikan rambut, membersihkan pakaian yang terkena hujan. Menghembuskan napas pasrah, kembali menatap rintikan hujan kian deras lengkap dengan awan hitam pekat. Tamat sudah, aku terlambat.

Setengah jam hujan masih deras. Langit masih hitam, tak ada yang berubah sejak tadi. Aku berdiri di samping tiga orang yang sama-sama menunggu reda. Udara dingin menusuk, sialnya aku lupa membawa jaket kesukaanku. Seragam sekolah tipis, akibatnya tubuhku dingin, daleman kaos masih dapat ditembus udara dingin sang hujan. Aku menghela, melihat jalanan yang lalu lalang dilewati motor meski saat hujan.

Tiba-tiba honda beat merah datang mendekat, pas berhenti didepanku. Seorang gadis mengenakan jaket hitam polos daleman seragam dengan rok abu-abu sebetis. Tas di punggung, rambut ponytail yang basah sampai ke pipi.

Dilihat dari seragam miliknya, sepertinya ia satu sekolah denganku, tapi aku tak mengenali siapa dirinya. Mungkin dari kelas bahasa atau sosial.

Tingginya tidak lebih sebahuku, tubuhnya ramping dengan kulit putih, matanya sipit. Persis orang korea. Ia masih sibuk membersihkan seragam yang terkena lumpur, melepas tas dan jaket basahnya. Mencoba meraba isi tas apakah ikut terkena hujan atau masih selamat. Aku sedikit memperhatikan.

Lima belas menit berlalu. Hujan mulai reda. Tapi masih menyisakan rintikan kecil di sekitar jalan, banyak genangan air yang tercipta. Aku memperbaiki rambutku, mengambil tas. Bersiap segera pergi.

Gadis tadi sama, menggendong tas, naik motor. Saat mencoba menyalakan, motor tak kunjung hidup. Mencoba berulang kali, tapi nihil. Tidak menyala. Ia duduk melihat apakah ada yang salah, mencoba mengotak atik. Pikirnya semua baik baik saja, tidak ada yang salah. Tapi kenapa mesin motor tak mau hidup.

Aku yang melihatnya kemudian turun dari motor. Berniat membantu.

"Boleh kubantu?" tanyaku menawari.

Ia sedikit terkejut, menyeka rambut yang menghalangi wajahnya. Memandangku sebentar, berpikir.

"Boleh." Jawabnya singkat.

Aku mencoba melihat-lihat. Tidak ada yang salah, Cuma di bagian mesin terkena air. Kabel-kabel melilit kanan kiri sedikit kotor terkena lumpur. Akibat hujan deras mungkin air masuk ke dalam jeroan mesin, mesin macet piston atau silinder bisa jadi rusak.

Aku bergumam. Kalau masalah teknisi dalam harus dibawa ke bengkel segera. Kucoba menyalakan motor, tetap tidak bisa. Sepertinya benar terjadi masalah pada dua komponen tersebut.

Aku menoleh ke arahnya yang memperhatikan dari tadi. Heni, namanya tertulis di bet seragam sekolah

"Sepertinya harus ke bengkel." Jelasku.

Heni mengerutkan dahi, berpikir

"Kalau mau aku bisa hubungi orang kenalanku di bengkel dekat sini. Dia jujur kok, nggak bakal nipu."

Heni menatapku tidak yakin, ragu. Orang belum kenal main akrab aja. Begitu pikirnya.

Udara dingin berhembus, hujan masih rintik.

"Nggak usah, gue bisa anter sendiri. Makasih bantuannya." Jawabnya. Suaranya ternyata halus, lembut sedikit malu-malu. Lucu juga ternyata lihat gadis korea bersuara lembut yang nggak bakal bisa teriak marah. Berbanding terbalik rata-rata teman perempuanku memiliki suara yang memekakan telinga. Sekali ngomong, A sampai Z juga dijabanin saking cerewetnya.

Heni melihat jam di tangannya, Khawatir. Udah telat banget ini, harusnya ia pergi persis saat hujan sedikit reda, sayang motor tak mendukung. Ia harus cari cara lain.

"Kalo lo masih nekat mau nganterin ini motor ke bengkel, butuh waktu lama. Kita udah telat banget soalnya khawatir gerbang nggak bakal mau dibuka nggak bisa cari alasan, tapi terserah elo si." Jawabku enteng.

"Lo dari SMA ** juga?"

"Iya. kita satu sekolah. Seragam kita kan sama."

"Jagi gimana?" Tanyaku balik.

"Gue coba dulu. Siapa tau deket." Jawab Heni

"Kayaknya sih nggak. Bengkel dari sini paling deket makan waktu sepuluh menitan."

Heni diam, bingung antara percaya atau menganggap omonganku modus belaka.

"Gue pergi dulu ya." Kataku pamit.

Heni tambah bingung, antara memilih kesempatan atau bersikukuh dengan keputusannya. Memperhatikan jam sekali lagi, total telat sudah empat puluh menit. Kalau masih mau nuruti ego-nya, lebih satu setengah jam ia akan telat.

"Tunggu bentar. Gue bisa percaya elo kan?"

Aku menengok.

"Lo nggak lagi deketin gue kan?" Tanyanya sekali lagi namun tak kujawab.

Aku mengeluarkan ponsel, menekan tombol. Mencoba menghubungi seseorang. Cuma butuh waktu dua menit bilang butuh bantuan temanku Menjelaskan permasalahannya dan memintanya menjemput motor milik Heni. Temanku dengan senang menerimanya. Aku berterimakasih.

Heni berdiri di belakangku melihat kanan kiri, merasa gugup. Sesekali ia mencoba memperhatikanku. Berharap aku tidak bohong.

"Mereka datang lima menit lagi. Gue udah beritahu masalahnya, katanya motor lo bisa ditaruh sini aja, mereka mau. Paling lama bisa lo ambil di bengkel besok. Nanti gua kirim alamatnya." Jelasku.

Aku memanggil ibu-ibu penjaga warung, meminta izin untuk titip motor Heni hingga temanku datang menjemput. Ibu tersebut senang hati membantu. Heni memberi kunci motornya.

"Gue antar lo." Kataku.

Heni menggelang, langsung menolak. Berpikir ada niat buruk datang dariku.

"Gue cuma niat bantu, serius dah. Nggak bohong gue. Lagian kita satu arah, nggak ada ruginya gue kasih tumpangan gratis." Terangku santai, melihat jam tangan..

"Kurang sepuluh menit lagi, persis kita telat satu jam." Tambahku.

Heni melihat kanan kiri. "Lo gak bakal macem-macem kan ke gue?" Katanya pelan dengan suara khasnya.

"Kalo ngerasa macem-macem, lo bisa teriak sesuka lo dah terserah, gue gak akan ngapa-ngapain lo." Jawabku membalas tatapannya.

"Semoga kepercayaan gue nggak lo bohongin." Kata Heni akhirnya setuju naik.

"Lo kebanyakan baca novel Hen." Jawabku mengakrabkan.

Kujalankan motorku. Sedikit ngebut. Menebas rintikan hujan kian mereda. Meninggalkan suara guntur sesekali menampakkan kebisingannya..

***