Sinar matahari menembus kaca bertirai putih itu. Hembusan angina membuat gerakan bergelombang. Angin masuk menyerbak menyentuh tubuh. Ivan duduk bersandar di kasur rumah sakit. Mengenakan pakaian putih. Tubuhnya berangsur normal. Bernapas lancer tanpa tergesa-gesa. Ivan duduk terpaku. Bengong. Tidak berbicara. Sejak kejadian di lorong malam membuat pikirannya terus diserang tanda Tanya. Apa yang sebenarnya terjadi. Petugas patrol menemukan Ivan tergeletak duduk bersandar di lantai. Tidak sadarkan diri. Jam di tangannya menunjukkan dirinya tidak beres. Denyut yang tidak karuan. Serta wajah kian pucat. Segera petugas membawanya ke rumah sakit markas pusat. Masuk UGD selama empat jam. Sempat mengalami koma walau hanya sebentar. Berita ini langsung terdengar ke telinga Gilbert, ia segera ke rumah sakit untuk melihat perkembangan Ivan. Gilbert melihat kenyataan bahwa dalam tubuh Ivan terdapat suatu sel baru. Penanaman vector bias dalam tubuhnya tiba-tiba hilang. Padahal setelah penambahan dosis menurut perkiraan Gilbert hanya untuk membantu pertahanan terhadap sel oracle malah mengalami kontraksi terhadap tubuh lebih-lebih mengarah ke arah penyatuan berberapa sel. Vektor bias dengan sel oracle. Ini sungguh sebuah sejarah awal ditemukan adanya keterkaitan sel satu dengan sel satunya dalam persamaan saling menguntungkan. Atau tidak menutup kemungkinan terciptanya sel baru yang memiliki control tersendiri terhadap tubuh. Gilbert mengetahui ini langsung meneliti tentang sel baru ini. Apakah berbahaya atau justru menguntungkan. Bersama pada pakar lainnya ia mendiskusikan jalan keluar untuk masalah ini. Dan untuk sementara Ivan akan menjalani masa pengobatan. Mengontrol untuk berberapa hari, melihat perkembangan sel baru ini.
"Hei jangan ngelamun gitu. Entar kesambet tau rasa kau." Kata seseorang dari pintu masuk ruangan. Eric. Ia nampak membawa sesuatu ditangannya. Ivan menoleh. Tidak membalas. Eric tersenyum masuk ke dalam ruangan itu. "Hmmm… kamar yang cukup menggiurkan untuk fasilitas God Eater." Katanya melihat-lihat sudut ruangan. Ruangan ber-cat putih dengan dekorasi yang menarik. Sebuah meja untuk tamu dibuat melingkar pada bagian kiri. Hologram biru dengan gambar makanan berada di meja tamu itu. Tidak menggunakan AC tapi tetap terasa dingin seperti ada AC. Teknologi ruangan ini menyatukan AC dengan dinding ruangan. Cukup bilang berapa derajat yang diinginkan maka secara otomatis suhu ruangan berubah sesuai keinginan. Ada hologram besar seperti menyerupai tv di depan kasur pasien. Lampu ruangan besar menggelantung di tengah juga menggunakan teknologi suara. Benar-benar teknologi mutakhir.
"Ada perlu apa kau datang ke sini." Ivan mulai bicara. Tatapannya masih malas. "Hey ayolah. Sahabatmu sekarang datang menjenguk. Kau seharusnya sudah tahu dan tidak perlu bertanya. Hey lihat makananmu ini. Kenapa kau tidak makan? Seharusnya kau makan. Tubuhmu perlu tenaga yang kuat." Kata Eric heboh menunjuk makanan yang ditutupi. Ivan menoleh, tatapannya sinis. "Jika kau di sini hanya untuk ocehan gak jelas, lebih baik tinggalkan tempat ini." Kata Ivan tegas.
Suasana hening.
"Tenang sobat. Tenang. Aku mengerti kondisimu sekarang. Aku di sini datang bukan sebagai seorang prajurit. Tapi sebagai sahabat. Yahh kau tahu sendiri lah jadwal tugasku sibuk sekali, sampai-sampai untuk mandi saja aku harus ada jadwalnya." Kata Eric mencoba bergurau." Lehh iya gak bohong. Kalau perlu tanya saja pada anak buahku, siapa di tim yang paling bau. Dia pasti bilang itu aku. Karena takut ku gampar mungkin ia hanya cengar-cengir." Eric mencium tubuhnya sendiri. "Tapi tenang. Sekarang aku udah mandi." Eric dengan gaya sok coolnya memamerkan bau wangi tubuhnya. Ivan tersenyum simpul. "Oiya aku bawakan makanan untukmu. Kalau kau tidak suka makanan rumah sakit yang terkenal super lengket bubur putihnya itu. Bener gak?" Ivan menoleh ke arah makanan sampingnya itu. Eric melihat. "Hey. Bukankah itu si lender lengket. Iuhh. Menjijikan sekali. Aku ingin muntah. Sebentar. Ehh gak jadi deh." Eric mengusap ingusnya. Berhenti melihat makanan lengket itu. Teknologi boleh mutakhir. Tapi teknologi jangan dibawa ke rasa sebuah makanan. Please jangan. Hargai kami sebagai manusia. "Nih sekarang lu makan roti." Eric membuka bungkusan roti menyodorkannya ke Ivan. "Biar lu kuat kayak gua." Ivan menerimanya. Mulai memakannya. "Semoga aja nggak kadaluarsa ya." Celetuk Eric ditengah Ivan sudah memakannya. Kurang ajar. Ivan tersendat. Terbatuk-batuk. "Oi kalau kau ingin meracuniku jangan gini caranya." Ivan marah. Masih batuk. "Ohh masih ingin hidup ta? Gua kira udah mau mati. Sekalian aja gua beli makanan yang kadaluarsa." Jawab Eric entang.
Ivan menjitak kepala Eric. Keduanya tertawa bersama. "Sorry-sorry. Damai-damai." Kata Eric.
Untuk sahabat satunya ini selalu bisa saja membuatnya kembali ceria. Ada pada saat yang tepat. Mendukung disaat ia butuh.
***
Suasana ruangan itu lenggang.
Dr. Sakaki masih sibuk menceritakan kisah God Eater pertama itu. Sesekali memperbaiki posisi duduk yang nyaman. Beruntut menceritakan layaknya sebuah kisah super hero untuk anak-anak dongeng pengantar tidur. Begitu juga Zakky dan Aku duduk di sofa tampak begitu antusias menyimak cerita itu. Padahal awal mereka mendengar hanya menganggap sebuah cerita membosankan. Tunggu dulu. Sekarang hanya Aku saja yang antusias menyimak kelanjutan ceritanya. Soal Zakky sekarang kepalanya mulai manggut-manggut setengah sadar setengah ngantuk. Tangan Zakky bertumpu di samping sofa, menopang kepalanya. Matanya melek merem bergantian. Sesekali menguap sesekali berdiri memperbaiki posisi duduk karena dirasa pantatnya panas menyimak cerita ber-episode itu. Aku kebalikannya. Sikapnya duduk manis tidak beranjak sedikitpun. Matanya masih fokus mendengarkan. Wajahnya berseri menanti kelanjutan cerita. Tidak menguap hanya sesekali memainkan kedua tangannya. Mencoba fokus. Dr. Sakaki tersenyum melihat tingkah dua remaja ini. "Sudah cukup atau-"
"Lanjutkan Dokter. Aku penasaran." Potongku.
"Temanmu?"
"Biarkan saja Dok." Dr. Sakaki tersenyum. Memaklumi tingkah satu anak ini. Mengambil napas panjang. Menghembuskan pelan. Memperbaiki tempat duduk sekali lagi. Agar terasa nyaman.
"Oke. Setelah itu-"
***
"Oy. Gua pulang. eitts jangan lupa makan. Inget." Kata Eric di depan pintu keluar. Melambaikan tangan. Ivan hanya tersenyum. Membalas melambaian tangan. "Gua juga ingin hidup kale. Nggak se-bodoh yang lu pikirin." Jawab Ivan asal mengunyah roti. Meminum air. Sesekali tersendat. Lebih untung ketimbang harus memakan makanan super lengket berlendir yang dilihat kalau dilihat orang pasti ingin muntah. Makanan yang dibawakan Eric lumayan banyak. Tiga kantong plastik. Ia tahu sekali selera sahabat satunya ini.
Eric pergi meninggalkan Ivan.
Pintu kaca itu tertutup. Meninggalkan Ivan tengah makan pasta.
Udara ruangan itu terasa hangat. Ivan sengaja mengubah suhu menjadi hangat. Menekan hologram yang ada dihadapannya. Sebuah gambar muncul, seorang wanita parubaya mengenakan t-sirt putih memegang kertas putih berbicara ke arah penonton. Sebuah acara televisi. Tengah membawa berita terkini tentang cuaca untuk seminggu kedepan. Tidak ada yang spesial. Ivan hanya diam menonton sambil memakan pasta khas Italy itu. Menggeser monitor. Acara berpindah pada segmen sinetron. Stasiun SCTV seperti biasa menampilkan tayangan remaja sekarang. Seorang pria yang tengah duduk di taman merenungkan sesuatu. Matanya tertuju pada seorang penjual bunga. Berbicara pada hati tentang penyesalan dirinya meninggalkan orang yang ia cintai. Benar-benar acara budak cinta. Pria itu berdiri mendekati pedagang bunga tersebut. Membeli se tangkai bunga mawar. Menciumnya. Back sound masuk terdengar seperti lagu coboy junior. Memandang ke depan segera berlari melewati jalan taman. Menerobos pejalan yang tengah ramai.
"Huh. Acara zaman sekarang." Kata Ivan tidak tertarik. Menggeser layar hologram.
Berpindah ke tanyangan berita lagi. Kali ini berbeda. Topic yang dibahas tentang kondisi lingkungan yang semakin menurun. Memperihatinkan. Kualitas tanah berkurang drastis. Dalam pasca penanaman bibit tiba-tiba hancur porak poranda secara menyeluruh dari daerah satu ke daerah lain. Entah siapa yang melakukannya tengah diselidiki. Hanya menyisakan tanah kering, bibit padi yang bercecer ke mana-mana seperti habis di injak sesuatu. Kejadian ini tidak di alami di satu Negara saja. Jepang, Korea, Indonesia, Amerika, Spanyol, Inggris, dan masih banyak lagi. Mengingat terror tak jelas ini sudah menyebar ke seluruh pelosok dunia, seluruh Negara mulai memperketat ke amanan. Memperketat daerah perbatasan. Patroli di seluruh area perairan dilakukan. Jumlah jam terbang pesawat keluar masuk dibatasi. Menyiagakan seluruh kemungkinan perbuatan ini ulah manusia.
Ivan menyipitkan matanya. Fokus pada tayangan.
Herannya lagi sebagian tanah berubah tandus hanya kurun waktu semalam. Bayangkan. Para Ilmuwan dibuat pusing bukan main. Diteliti ada suatu unsur senyawa aneh dalam tanah. Unsur ini lebih dominan. Sangat mencolok. Anehnya lagi zat hara seperti terlahap habis karena unsur satu ini. Pada Ilmuwan mencoba melakukan penanganan tapi tetap saja. Tidak berpengaruh. Ada pendapat yang mengatakan ini semua ulah teknologi asing. Menggunakan teknologi sekelas alien. Yah memang seperti omong kosong sih. Begitu pendapat ini keluar langsung booming. Banyak hujatan dan celaan berdatangan. Teori atau gagasan yang tidak masuk akal. Alien? Itu hanya imajinasi seseorang yang ketakutan terhadap benda asing. Piring terbang contohnya. Atau ini semua karena tontonan film yang menyajikan tema luar angkasa. Bertempur melawan makhluk bermata lebar hitam pekat tidak memiliki telingan juga mempunyai postur tubuh ala jelly hijau. Bercerita tentang makhluk luar angkasa yang bermarkas di laut segitiga Bermuda. Tempat yang begitu familiar di telinga kita Begitu imajinatif.
Kembali ke Ivan. Ia masih antusias mendengar perkembangan berita di layar hologram itu. Membuka bungkus makanan ringan. Memakannya. Menatap lagi.
"Aragami." Kata Ivan pelan.
Menghembuskan napas pelan. Meraih minuman. Meminumnya. Menggeser hologram kebawah. Seketika langsung lenyap. Ivan beranjak dari tempat tidur. Melepas infus yang masih tepasang. Meraih jam tangan hitamnya yang ada di meja sebelah tempat tidur. Menekan tombol. Hologram hijau muncul. Ivan menekan, menggeser berberapa. Seperti mencari sesuatu. Ketemu.
"Di sini Ivan. Aku ingin bicara sesuatu. Terkait aragami." Kata Ivan. Ia menghubungi seseorang. Tampaknya darurat. "Baik." Jawab Ivan. Orang itu berbicara sesuatu. "Baik. Aku tunggu di sini." "Ha. Kau tahu sendiri Gilbert tidak akan membiarkanku bertindak ceroboh lagi."
"Yah. Aku tahu ini menyebalkan. Tapi tidak apalah, aku juga butuh istirahat." Sambung Ivan.
Orang itu berbicara.
"Baik. Aku tunggu. Ideku cukup layak untuk dicoba." Tutup Ivan. Mengakhiri pembicaraan ini. Ivan meletakkan jam tangannya. Kembali ke tempat tidur.
"Aragami. Kali ini kalian tidak akan lolos." Kata Ivan merebahkan diri. Memandang langit langit kamar. Langit kamar itu dihiasi lukisan langit biru yang cerah dengan burung-burung terbang bergerombol. Di bawah sana dua gunung menjulang tinggi. Awan putih menghiasi diantara kedua gunung itu. Plato disebelah kanan gunung menjorok kedalam, tekstur warna gelap. Secara keseluruhan semua warna yang diberikan berkesar cerah. Tapi disudut kanan gambar. Warna gelap terlihat. Di ujung satunya terdapat lukisan hewan berbentuk serigala berwarna putih. Bergerombol mengelilingi sesauatu ditengahnya.
Sebuah domba putih. Lengkap dikelilingi puluhan serigala.
Di satu sisi lainnya puluhan domba putih juga bergerombol. Dan tidak ada satupun yang menoleh ke arah sisi lainnya. Atau lebih cocok tidak akan pernah menoleh. Tidak peduli pada temannya yang akan dihabisi puluhan serigala itu.
Ivan tersenyu simpul. Matanya seperti terlihat memikirkan sesuatu yang sudah ada jawabannya.
"Sialan. Memang harus begini rencanamu tuhan?" gumam Ivan.
***
Berberapa hari sebelumnya.
"Duduklah Ivan." Kata seorang mengenakan jas putih khas professor. Tangannya dibelakang. Menghadap ke sebuah lukisan di dinding. Lukisan seorang anak berpakaian kaus abu-abu, bercelana pendek warna hitam bergaris kuning. menggenggam bendera warna putih yang berlumuran darah. Merah. Di depannya terdapat hutan lebat dengan bayangan hitam amat pekat. Diselimuti aura pada bagian atas pohon. Seperti pohon milik iblis, siapa saja yang masuk maka tidak akan kembali. Tapi anak itu tegas melangkah sambil mengacungkan bendera ditangan. Tanah sekitarnya tandus kering di mana-mana ada retakan tanah.
"Untuk apa kau memanggilku, Gilbert?" Tanya Ivan. Masih berdiri di pintu masuk.
Gilbert melangkah ke sofa duduk. Menatap Ivan yang juga menatapnya dengan sinis. Mengapa orang ini selalu berperansangka buruk? Lama-lama aku juga ikut sebal. "Duduklah. Ada sesuatu yang ingin kusampaikan." Ivan hanya menghembuskan napas. Mungkin pak tua ini ingin pidato lagi.
"Tentang aragami tubuhmu." Kata Gilbert sekali lagi. Memancing emosi Ivan. Gilbert tahu anak ini tidak akan tertarik akan kata-kata umum. Hanya membuatnya membosankan.
Ivan melotot. Kaget.
Gilbert malah tersenyum. Kali ini Ivan kena skak mat, tidak bisa menolak. Mau tidak mau Ivan duduk di sofa hitam itu. Didepan Gilbert.
"Bagaimana kondisimu?" Tanya Gilbert.
"Baik."
"Tidak ada keluhan?"
"Sudahlah. Langsung ke intinya saja. Aku tidak mau duduk di sini hanya persoalan basa-basi saja. Kalau tidak ada yang penting lebih baik aku berlatih."
Suasana hening. Benar-benar anak ini. Kalau tidak karena tingkat kecocokan pada vector bias yang tinggi. Ia pasti dikeluarkan dari fenrir. Hanya Gilbert dan berberapa ilmuan saja yang tahu akan potensi anak ini. Hanya saja etika yang ia miliki membuat orang lain enggan bersosialisasi dengannya. Hanya Gilbert yang paham betul cara menyikapi anak ini. Gilbert hanya menghembuskan napas. Memaklumi.
"Tunggu dulu sebentar nak. Langsung ke intinya saja. Melalui pemindiaan di rumah sakit pasca kau tergeletak pingsan tubuhmu menunjukkan persamaan persis dengan aragami." Kata Gilbert. Menghancurkan keheningan ruangan itu.
Ivan langsung terpaku. Tubuhnya memebeku.
"Tapi itu hanya hasil pemindiaan. Aku mengetahui itu langsung melakukan mengambil semple. Tapi hanya berupa hipotesis dalam berberapa hari ini. Aku masih akan memantau melihat perkembangan. Vektor bias didalam tubuhmu mendadak hilang, itu yang menyebabkan tidak terdeteksinya dirimu saat pemindiaan. Karena alat itu dikhususkan untuk penanganan God Eater. Aku tidak tahu akan menghilangnya vector bias ditubuhmu. Justru ada sesuatu hal baru tertanam dalam dirimu. Suatu sel baru. Ini juga tidak kuketahui penyebabnya." Jelas Gilbert.
"Lalu? Dampak terhadap tubuhku?" Tanya Ivan.
"Untuk sementara ini masih tidak ada tanda-tanda dalam tubuhmu. Yang menarik lagi. Tentang sel baru ini. Tingkat kecocokannya hamper mirip dengan sel oracle. Mungkin ini yang menyebabkan pemindiaan mengarah pada hasil pencocokan aragami. Menurutku, ini semua disebabkan tingkat kecocokanmu terhadap sel oracle menyebabkan vector bias dalam tubuhmu mengalami penolakan. Atau hipotesis yang kedua." Ivan mengacungkan dua jari. Membentuk angka dua.
Suasana mencekam. Detik demi detik seperti diperlambat. Semua begitu terasa. Atmosfer suasana aneh. Keringat Ivan mulai menetes. Menanti kelanjutan penjelasan.
"Sel oracle menyatu dengan vector bias." Jawab Gilbert singkat. Menyipitkan matanya.
Hening kembali datang menyerbak.
Jawaban tidak terduga. "Hohoho. Jangan terlalu dipikirkan aku tahu ini semua begitu absurd menurutmu, ini juga masih dugaanku. Masih perlu penelitian lebih lanjut. Tenang saja." Gilbert mulai mencairkan suasana. Menghela napas. Menepukkan kedua tangannya. Seketika muncul dari meja dua cangkir kopi hitam panas. Tunggu dulu, sejak kapan pembuatan kopi memakan waktu sesingkat ini. Paling tidak membutuhkan waktu lima menit untuk menyeduh kopi hitam ini. Tapi entahlah, aku juga tidak tahu. Mungkin ini berkat teknologi mutakhir kota ini. Bisa jadi untuk pembuatan makanan juga demikian. Iuhh pasti rasanya kurang lezat. Lagi-lagi aku menyebut 'teknologi mutakhir' mungkin terdengar membosankan.
"Silakan." Gilbert mempersilakan Ivan untuk meminum kopi.
"Terima kasih." Ivan mulai meminum.
"Proyek God Eater akan terus berlanjut, Ivan. Melalui pencocokan pada vector bias yang sudah pasti kau tahu itu." Lanjut Gilbert.
"Aragami akan terus ber-evolusi. Itulah kenyataanya. Menggunakan vector bias yang digabungkan dengan senjata lama kelamaan tidak berguna. Kita perlu pengembangan. " Gilbert meminum kopinya.
"Aku tahu sekarang. Mengapa kau memanggilku."
Ivan duduk terpaku. Menatap ke lantai. Wajahnya tidak bersahabat. Terlihat geram. Gilbert hanya santai meminum kopinya, menyipitkan matanya hingga terlihat hanya garis melengkung di wajahnya. "Sepertinya kau lebih cepat tahu ketimbang perkiraanku."
"Tapi aku tidak bisa menjamin. Kalau kau punya masukan, silakan. Karena proses ini tidak hanya membutuhkan satu otak saja. Tapi dua atau tiga bahkan bisa lebih." Lanjut Gilbert.
Ivan tidak menaggapi. Masih berpikir. "Mulai sekarang semua misi-mu akan dihentikan. Kau akan dikarantina. Untuk mengantisipasi hal yang paling buruk.-"
"Menjadi aragami maksudmu?"
"Tepat sekali. Kau sudah tahu akan hal itu. Disamping itu untuk melihat perkembangan sel baru ini. Melihat proses pencocokanmu terhadap aragami jenis apa. Dua atau tiga hari kedepan kita akan tahu, sel baru ini bisa jadi teman atau menjadi musuh."
Jam tangan Gilbert bergetar. Menyentuhnya. Hologram hijau muncul di depan Gilbert. Seorang pria memakai jas putih persis yang digunakan Gilbert. Memberi hormat terhadap Gilbert, Gil hanya mengangguk.
"Pak, mohon maaf mengganggu sebentar. Rapat akan segera dimulai." kata orang itu.
"Baiklah. Tunggu sebentar."
"Baik pak."
Hologram itu lenyap seketika. Gilbert berdiri. Merapatkan jas putihnya. Ivan juga berdiri. Masih tidak berkata-kata.
"Maaf Van. Aku harus pergi sekarang." Kata Gilbert. Ivan menoleh. "Besok?"
Gil menatap Ivan. Santai.
"Kalau kau sudah siap. Datanglah." Jawab Gilbert singkat. Menekan tombol di jam tangannya. Portal berbentuk lingkaran diselimuti awan gelap terbuka disamping gilbert. Dari kecil tiba-tiba membesar persis untuk seukuran pria dewasa. "Aku pergi dahulu."
Gilbert melangkah memasuki portal itu. Persis tubuhnya terlahap portal. Portal itu menutup. Dari besar, tiba-tiba mengecil. Meninggalkan Ivan sendirian di ruangan itu. Masih diam mematung. Wajahnya tertunduk. Melangkah keluar ruangan. Melewati lorong sepi, membeli minuman kaleng di lorong itu. Meminumnya pergi keluar dari gedung besar ini. Untuk ukuran gedung ini memang besar dan dan luas. Masalah teknologi tidak diragukan lagi. Tapi yang aneh tidak banyak orang yang lalu lalang, hanya berberapa. Seperti tidak berpenghuni. Juga sekaligus terlihat horror untuk orang pertama kali melintasi lorong-lorong markas pusat. Hanya Ivan yang terbiasa akan hal itu.
Ivan berada di depan pintu utama. Suasana masih pagi. Tidak terlalu siang. Memang benar di kota ini matahari adalah hasil teknologi rekayasa. Seperti sebuah simulator. Udara segar di sini juga hasil rekayasa. Karena lingkungan yang tidak mungkin didapatkan secara alami di benua antartika. Lima puluh persen lingkungan di bawah adalah hasil teknologi. Kecuali pohon dan sungai yang mengalir. Begitu mutakhirnya hingga bisa membuat lingkungan menjadi tampak seperti asli.
Ivan berjalan melintasi kawasan markas pusat. Ia ingin sekali-kali pergi menghirup udara segar. Menenangkan pikiran walu sejenak. Keluar markas. Melewati jalan setapak. Menuju taman kota. Banyak orang yang lalu lalang. Anak kecil main kejar-kejaran dengan temannya di taman kota. Anak kecil lainnya mengejar anjing yang juga sama kecilnya, jatuh. Bangkit, kejar lagi. Kedua orang tuanya mengawasi di tempat duduk taman. Lucu sekali melihatnya. Penjual gula-gula berbentuk kapas pink menjadi makanan favorite anak-anak di taman itu. Banyak yang mengantri untuk membelinya. Ivan melihatnya hanya bisa tersenyum melihat tingkah anak-anak yang saling berebut karena salah satu gula kapanya lebih besar.
Ivan berjalan ke tengah taman. Orang-orang tengah duduk di bangku taman. Bentuk tengah taman bundar dikelilingi bangku-bangku yang sekarang ramai dengan orang-orang. di tengah-tengah terdapat air mancur menjulang tinggi, burung-burung terbang di sekitarnya. Sesekali bergerombol ketika salah seorang memberi makan kepada burung lalu terbang kembali. Ivan melihat ke sekeliling, burung-burung itu terbang saat ia tiba menghampiri. Begitu indah. Orang orang yang melihatnya bertepuk tangan. Mengabadikan dalam foto.
Ivan berjalan lagi, melihat di sebelah kanan adalah area taman bermain. Ivan berhenti. Anak-anak bermain ayunan, papan seluncur, jungkat jungkit. Dll. Anak perempuan berambut pirang duduk di ayunan berpegangan, ibunya dengan cekatan mendorong tubuh si anak dan akhirnya meluncur ke depan dan belakang. Si anak perempuan itu tertawa riang setiap kali ibunya mendorongnya, si Ibu tersenyum melihat anaknya tertawa. Di mainan lain juga demikian, anak bertubuh gemuk duduk berseluncur di papan seluncur, ekspresinya datar. Karena papan seluncur itu tidak bisa dengan licin membuat tubuhnya kebawah dengan mulus. Justru sebaliknya, banyak temannya marah dibelakang karena si gemuk tidak lekas berdiri dari ujung papan seluncur.
Ivan terkekeh melihatnya.
Di area jungkat jungkit justru lebih seru, yang bermain tidak hanya anaknya. Orang tuanya juga ikut bermain. Bisa bayangkan deh apa aja yang terjadi.
Tengah lapangan ada mainan pasir, istana pasir banyak terbentuk. Rumah-rumah, pohon-pohon, orang –orangan pasir. Anak kecil dengan baju merah mencoba mengisi timba dengan pasir menggunakan tangan kecilnya. Berlepotan debu, muka dan tangannya. Apalagi baju yang ia kenakan. Begitu asik membuat benda yang ia inginkan. Anak laki-laki berambut kribo unyu, berkulit sawo matang disampingnya juga tengah asik menggali pasir dengan sekrop mainan, yang ukurannya sepergelangan tangan anak itu. di belakang mereka dua anak perempuan mengenakan gaun pink dan biru muda malah asyik main masak-masakan. Memperagakan tata cara menjadi anggota kerajaan. Menunangkan teko ke cangkir secara perlahan persis layaknya seorang puteri kerejaan. Mempersilakan temannya untuk meminum dahulu, anak satunya mengangguk mengerti. Tersenyum, mengambil cangkir meminumnya perlahan. Temannya membalasnya dengan senyuman, juga menuangkan teko ke dalam cangkirnya. Meminumnya. Padahal tidak ada air didalamnya, mereka hanya memeperagakan tingkah laku bermain masak-masak. Tapi mereka menikmatinya.
Ivan memperhatikan seluruh tingkah laku di taman itu. Meski sikapnya yang keras ia masih bisa tersenyum. Melihat generasi penerus ditengah ancaman makhluk dunia lain memang sangat menenangkan. Ia hanya kasihan dengan dunia luar. Tidak ada perlindungan yang pasti, dan semua orang tidak mengetahui akan bencana ini. Hanya segelintir orang egois bersanding di takhta puncak yang tahu. Dan mereka hanya membiarakannya. Tidak mempercayainya, justru menganggap bualan biasa dari seorang ilmuan gila, meski memberikan bukti-bukti, pemikiran yang rasional tetang dunia dongeng tidur dibawa ke pemahaman logis dunia ini memang sangat tidak masuk akal. Mereka tetap tidak mempercayainya. Gilbert satu-satunya orang yang paham betul dampak buruk bencana ini menyusun rencana, atau bisa dibilang sebuah proyek besar bagi keberlangsungan umat manusia kedepan, mengesampingkan egonya demi umat manusia meski mendapat cacian dan makian akan teori gilanya. Perlahan Gilbert tidak menampakkan dirinya di dunia luar. Ia mulai mengerjakan proyek pertahanan ini.
Di depan Ivan, tengah gerombolan orang lalu lalang Ivan mendengar suara tangisan anak kecil. Ivan menoleh mencari sumber suara. Menoleh kesana-kesini, berjinjit lebih tinggi. Anak kecil berkacamata berambut pendek disisir ke kanan, salah satu ujung rambutnya menutupi kaca mata kanannya. Menangis di salah satu bangku taman bersandar di bawah pohon. Tangisannya sersendat-sendat, seperti hendak kentut. Ivan menghela napas. Geleng-geleng.
"Ni orang tuanya mana lagi. Ninggalin anak sendirian. Niat jadi orang tua apa kagak." Gumam Ivan memasukkan tangannya ke saku. Mendekat. Wajahnya malas.
Duduk di samping anak kecil itu. Menggaruk-garuk kepala yang tidak gatal. Salah tingkah. Orang-orang masih lalu lalang tidak memperdulikan. Anak-anak masih bermain dengan gembira, tapi Ivan dihadapkan masalah anak kecil menangis yang ia sendiri tidak tahu harus bagaimana. Benar-benar menyebalkan.
"Ee. Anu. Hey" kata Ivan. Pembukaan macam apa ini. Tidak adakah kata-kata yang lebih baik, sepupuku yang masih sekolah dasar aja tahu bagaimana cara menyikapi situasi ini. Anak itu semakin menangis. Kedua tangannya basah karena air mata, berkali-kali tersendat. Menghirup ingusnya yang turun. Naik lagi. Turun lagi. Ivan menggelang-geleng, semakin salah tingkah. "Hey. Hey, tenang adik kecil, kakak tidak menyakitimu." Ivan bertingkah. Anak itu masih menangis. Ivan mulai jengkel, mencoba menyentuh. Saat disentuh suara tangisannya semakin keras. Orang-orang menoleh, melihat Ivan seperti seorang penjahat yang akan menculik anak kecil, anak kecil itu memberontak dengan menangis. Ivan hanya bisa bilang. "Ssstt. Cup-cup, jangan menangis."
Nihil, tidak ada tanggapan. Anak itu masih menangis tersendat-sendat.
Ivan menyipitkan mata, menghela napas, mengatur emosi agar tidak keluar karena ini saat yang tidak tepat. Melihat ke belakang. Ada bapak-bapak penjual permen kapas yang tadi. Tidak ada lagi yang mengantri saat ia lihat tadi. Sepi. Tanpa piker panjang Ivan menghampirinya, membeli dua permen kapas warna pink dan biru muda.
"Hey lihat, kakak bawa permen buatmu." Kata Ivan mendekati, berjongkok di depan anak itu. Menyodorkan permen berwarna pink dipegangnya. Ivan tersenyum, meski terlihat kikuk dibuat-buat. Mencoba ramah. Anak itu berhenti menangis. Dalam hati Ivan tertawa."Hohoho sudah kuduga, pasti ada maunya ni anak." Ivan memasang wajah senyum ramah. Anak itu melihat ke arah Ivan, matanya tertuju di kedua tangan Ivan memegang permen kapas. Menunjuk ke arah permen biru. Ivan terkejut. "Hey. Kau yang ini, kalau permen ini punyaku." Ivan menyembunyikan permen kapas birunya ke balik punggung. Anak kecil itu memasang wajah akan menangis. Langsung nangis lagi kali ini suaranya lebih keras. Ivan mengkerutkan wajah. Salah tingkah. Orang-orang terkejut. Menoleh.
"Hey, hey, hey ayolah, jangan nangis, malu sama orang-orang." Kata Ivan mencoba menenangkan. Memaksa sih sepertinya.
Anak itu tidak mau diam, tangisannya menjadi-jadi. Menunjuk ke arah permen kapas biru di belakang Ivan.
Ivan bingung. Diantara kesal dan malu.
Dengan berat hati Ivan menyodorkan permen kapas birunya. Wajahnya masih tidak terima, baginya memakan atau menggunakan barang apapun yang berwarna merah muda atau anak perempuan bilangnya pink adalah suatu penderitaan baginya. Apalagi permen kapas merah muda ini.
Anak kecil itu berhenti menangis, wajahnya senang ceria. Tersenyum mengambil permen kapas biru itu. Malah sekarang wajah Ivan yang memelas. Benar-benar menyebalkan.
"Makasih kak." Ucap Anak kecil itu. Tersenyum lebar. Gigi mungilnya kelihatan rapi bersih. Juga sedikit lucu kalau tersenyum.
Ivan cemberut. Masih tidak terima. "Hmmm.. Kakak sedih ya, kalau permen ini aku minta?" mata anak kecil membesar. Wajahnya ikut memelas. Dalam hati Ivan berkata, "Ya iyalah, beruntung masih kecil, udah besar gua jitak pala lu." "Kak?" Tanya anak kecil itu lagi.
Ivan langsung menoleh, tersenyum. Berlagak ramah. Yah meski tahu itu dibuat-buat. "Enggak, kakak tulus kok." Ucap Ivan bersikap ramah, "Eh lihat, permennya besar ya?" Ivan mencoba mencairkan suasana. Anak kecil itu melihat permen biru yang dipegangnya. Tersenyum ke arah Ivan. "Iya kak. Besar" "Hmmm… kalau begitu dimakan dong" Anak kecil itu mengangguk cepat. Mulai mencuil kapas. Tangan kecil itu meremas permen kapas, memasukkan perlahan ke mulutnya. Celoteh sekali saat memakan permen kapas, disekitar mulut ada bekas kapas. Tersenyum ke arah Ivan. Justru terlihat lebih lucu, imut. Ivan melihatnya hanya tersenyum simpul. Menggeleng-geleng. Mencuil sedikit permen kapas biru. "Sekarang buka mulutnya, pesawat akan segera mendarat.." Ivan mulai menyuapi anak kecil itu. Anak itu tersenyum lebar, matanya berbinar. Membuka mulut kecilnya. Ivan menggiring permen kecil ditangannya ke mulut kecil anak itu sambil tersenyum ikut menirukan gerak bibir anak kecil. "Hap!" Anak itu mulai mengunyah.
"Enak?"
"Ehem, ehem. Lagi kak."
Satu suapan lagi meluncur. Dua suapan, tiga, dan seterusnya.
"Enak ya, kakak kapan disuapin?" Tanya Ivan mulai menggoda. Anak kecil itu tersenyum, mencuil kapas biru itu. Menyuapi Ivan. Ivan tersenyum. Entah kenapa dibalik sifat dinginnya ia masih punya sifat ceria.
"Hey, hey. Sebelum itu, kakak mau tanya sesuatu. Boleh?"
"Ehem, boleh. Tapi dengan satu suapan lagi ya." Kata anak kecil terbatah, batah. Tersnyum lebar. Melihat itu Ivan mencubit hidung mungil anak itu. Anak itu geli.
"Dasar." Ivan memenuhi permintaannya.
"Ok, sekarang jawab pertanyaan kakak. Kenapa kamu nangis tadi?" Anak kecil itu mengkerutkan mulut. Matanya berputar-putar. Menoleh kesamping, berhenti menatap Ivan. Wajah Ivan berubah.
"Hei. Hei. Kenapa? Ada masalah?" Ivan memperhatikan sekitar. "Ayolah, kan udah janji." "Hei, hei lihat kakak. Kakak terlihat seperti orang jahat nggak?" Ivan memasang wajah paling lucu. Anak itu malah mengangguk. Sialan, trik sulap gagal. Malah terkesan seperti penculik, menanyai korban dengan wajah super manis. memberi hadiah kalau mau ikut dengannya. Parah.
Seketika wajah Ivan ikut cemberut. Rasanya sakit, mencoba baik tapi malah dicuekin atau malah di caci. Lebih-lebih kali ini yang ngomong anak kecil. Bahkan baru dikenal.
Dalam hati Ivan berkata. "Pengen banget nabok ni anak, ngeselin amat. Kalau ada nomor polisi, mungkin gua bakal nuntut atas nama pencemaran nama baik. Sekaligus pencemaran nama hati. Kalau ada.
Anak itu masih cemberut. Tidak membalas. Ivan masih berharap. Dan pada akhrnya menghembuskan napas pasrah. Sedikit kesal. Yah mungkin sedikit merasakan bagaimana sakitnya jadi orang yang dicuekin. Kok malah anak kecil ini ya yang mulai dingin, Ivan malah berubah ceria penuh penasaran. Dunia ini ketukar.
Anak kecil itu ikut menghembuskan napas. "Aku kesal kak." Ivan menoleh. Terkejut. "Hey, se-kesal itukah sampai nangis. Huh, cengeng amat." Kali ini Ivan yang mulai. Anak itu memukul Ivan dengan tangan mungilnya, tidak tersa sakit.
"Wow, wow tenang-tanang. Sakit tahu." Ivan pura-pura sakit. Anak itu masih marah. Bibirnya mengkerut kesal. "Haaa kak gk lucu." Rengek anak itu. "Emang siapa yang bilang lucu?" "Tuh kan bikin aku makin kesal." Anak itu memukul Ivan lagi. Ivan tertawa melihat tingkah lucu anak itu. "Hmmm. Kalau nggak mau kakak jahilin coba cerita apa yang terjadi. Kakak denger kok, tapi dengan syarat harus jujur, ha? Mengerti?" tegas Ivan.
Lenggang sejenak, suasa sekitar masih ramai dilalui orang-orang. Bangku taman masih terisi penuh keluarga yang ingin menikmati suasana taman super mutakhir dikota ini. Anak itu menoleh ke kanan dan ke samping. Mencoba memastikan sesuatu. Kok kayak pencuri yang tertangkap basah ya. Aneh sekali.
"Kamu nggak nyuri kan?" tanya Ivan polos. Anak itu sedikit kesal pada Ivan. Memasang wajah tidak berdosa. Cengar-cengir.
"Ihh kakak mau tahu atau nyari masalah sih?" hoi-hoi Ivan nggak yakin kalau perkataan itu muncul dari seorang anak kecil ingusan ini.
"Astaga ni anak. Hadeh, yaudah deh terserah."
Anak itu mencoba melihat sekitar. Membisikkan sesuatu pada Ivan.
Ivan mengangguk-angguk paham. Tiba-tiba wajahnya mengkerut, hidungnya kembang kempis. Aneh sekali melihat Ivan. Setelah berbisik-bisik Ivan duduk di samping ank itu. Menatap kedepan dengan tatapan tegas, mencoba serius sedikit menghembuskan napas. Sepertinya Ivan akan mengeluarkan fatwa konyolnya. Hanya saja dibungkus dengan perawakan meyakinkan si anak kecil. Ingin jaga image. "Begini, ya…" sedikit jeda, tidak terbalaskan. Waktu terus berputar. "Tadi pertanyaannya apa? Lupa kakak."
Weladalah. Pengen rasanya tangan ini menjitak kepala Ivan. Ditunggu-tunggu, seperti akan menjawab pertanyaan dengan serius. Malah sebaliknya. Penonton kecewa. "Astaga kak. Kirain udah paham. Kepalanya ngangguk kirain ada solusi." Anak ini mulai lancar ngomong, meski sedikit ada kosakata yang terdengar aneh dan lucu. "Hehehe, santai relax. Cuma bercanda." Ivan menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Tertawa sebentar.
"Coba lihat burung itu." Ivan menunjuk ke arah air mancur di tengah taman. Disekitarnya masih dikerubungi banyak burung. Macam-macam rupanya. Ada burung dara, merpati, jalak berkepala putih, kasturi hijau, ada tiga burung warna merah yang tidak kutahu jenisnya. Mereka bergerombol, banyak sekali. Kayak orang demo dijalan-jalan. Berbagai warna dan macam corak. "Emang ada apa?" "Meski berbeda jenis, tapi suka berantem nggak?"
Burung dara mematuk-matukkan paruhnya ke lantai, seperti mencari makan. Begitu juga dengan kasturi dan jalak. Mereka melakukan hal yang sama. Tapi tidak terlihat mereka seperti tengah memperebutkan sesuatu. Saling rukun satu sama lain. Bahkan si dara setelah mematuk-matukkan paruhnya pergi menghampiri tiga burung warna merah. Mereka diam saja melihat burung-burung tengah sibuk mencari makan. Tidak mengganggu dan hanya melihat dari atas. Anak kecil itu melihatnya. Merapatkan bibir mungilnya. Kepalanya ikut mengangguk."Yeee kamu manggut-manggut gitu paham nggak? Jangan bilang hanya sekedar melihat." Ivan kena pukul pundaknya. Anak kecil itu sewot tidak terima.
"Aku paham, kakak yang nggak. Dasar."
"Hmmm.. kalau begitu coba jelasin." Pinta Ivan. tangannya bersendekap. Memasang wajah sok.
"Ehem. Gini kak…" anak itu serius. Pipinya tembem dengan bibir merapat. Menatap Ivan. "Tadi soalnya apa ya?" Ivan mencubit pipi anak itu. Sama saja dengan Ivan. Pura-pura nggak tahu. Anak itu cengar-cengir nggak berdosa. Gigi putih depannya terlihat manis dengan kulit putihnya.
"Maaf kak. Bercanda. Jadi artinya itu kita harus saling menghormati, nggak bertengkar bukan." Jelas anak itu.
"Heit.. Bukan hanya itu saja." Ivan menyela sebentar, mengacungkan satu telunjuk jarinya. "Saling menghargai, tidak sok, dan tolong menolong adalah kuncinya. Kebanyakan orang mengandalkan egonya, tidak peduli sekitar. Walaupun itu temannya sendiri. Berbicara tentang ego mungkin sedikit menyinggung masa laluku." Ivan tersenyum, menundukkan kepala. Teringat sesuatu. Angin berhembus menyingkap rambut putih Ivan sampai ke telinga, pohon-pohon bergerak, anak itu menutupi wajahnya karena terpaan angina yang kian berhembus hebat.
Ivan menutup matanya. Mencoba menikmati.
"Tapi biarlah, yang lalu biarkan mengalir terbawa hilir. Hei lihat itu!" Ivan menunjuk kea rah langit. Sekawan angsa putih terbang melintas membentuk formasi 'V' dengan angsa super putih mengkilap sebagai pemimpin di depan. Mereka terbang bersama dengan kecepatan rata-rata. Tidak cepat atau lambat. Semua temannya menikmati perjalan. "Sendirian hanya memikul beban berat. Tapi dengan bersama beban yang dipikul terasa ringan, karena semua saling berbagi penderitaan, tidak ada yang meninggalkan, dan selalu saling menopang." Jelas Ivan. Tangannya terbuka lebar, terangkat. Lima jari terbuka lebar ke arah matahari. "Bersama, segala urusan akan sirna." Ivan menggenggamkan tangannya. Menutupi cahaya matahari, tampak gelap. Anak kecil itu terlihat takjub. Matanya berbinar-binar, mulut mungilnya menganga.
"Gimana keren nggak?" Ivan bergaya sok cool, mengangkat satu alisnya berberapa kali. Anak itu bertepuk tangan. Mengangguk setuju.
"Ok. Mulai sekarang jangan nangis lagi ya. Hadapi semua dengan keberanian. Apalagi kamu cowok. Masak kalah sama gadisk."
"Ehem. Baik kak."
"Janji ya?" Ivan menyodorkan jari kelingkingnya.
Anak itu menekuk jari kelingking mungilnya rapat dengan jari kelingking Ivan. Membentuk sebuah ikatan. Perbedaan besar dan kecil jari kelingking mereka seperti melihat kartun Tom and Jarry si Tom kalau mau salaman dengan Jerry hanya menggunakan satu jari saja. Si Jerry menggunakan kedua tangannya. Begitu simpel.
Keduanya tersenyum. Tertawa. Ivan mencubit pipi tembem anak kecil itu. Menggeleng-gelengkan karena sangking gemasnya. Sesara mencubit boneka tedy bear. Tapi ini versi manusianya. Tidak lebih.
Anak itu melihat jam tangan yang Ivan kenakan.
Melirik penasaran. Melotot malahan.
"Ada apa?" tanya Ivan.
"Itu apa kak?" anak ini malah balik tanya. Memperhatikan dengan seksama. "Ini?" Ivan mengangkat pergelangan dengan jam yang menempel di pergelangan. Anak itu mengangguk.
"Ini jam pengenal milik fenrir. Kamu lihat bangunan itu?" Ivan menoleh ke arah gedung besar menjulang tinggi itu. Dari area taman ini masih tampak gedung bertingkat yang kalau dihitung kagetnya bukan kepalang, bahkan terasa mustahil kalau dikerjakan oleh manusia. Tapi itulah kenyataanya. Gedung berlantai seribu itu berdiri kokoh di kota ini.
"Fenrir yang pesawatnya sering terbang itu kak?" yang dimaksud anak kecil ini mungkin pesawat tempur fenrir atau mungkin jet khusus. Memang tidak mengusik ketenangan sih. Tapi lepas landas di area perkotaan ini tidak bisa dipungkiri lagi. Jika ada misi yang tidak mendadak peraturan penerbangan harus menggunakan pesawat manual tidak menggunakan portal. Kecuali ada misi khusus dan sangat mendadak.
"Iya." Jawab Ivan polos. Karena memang begitu kenyataannnya.
"Aku suka bentuk pesawatnya kak. Sejak dulu aku suka lihat pesawat terbang jadi kalau pesawat itu melintas aku selalu berlari ke arah candela untuk melihatnya. Kadang juga saat aku bermain bersama temanku mendadak aku diam saat melihat pesawat melintas, tidak melanjutkan permainan. Setelah agak jauh baru aku lanjutin mainnya."
"Oh ya? Kalau gitu cita-cita kamu jadi pilot dong."
Anak itu mengangguk mantab. Tersenyum.
"Hebat. Kalau udah besar nanti kakak mau lihat kamu naik pesawat dan terbang dengan kemampuanmu sendiri."
"Kalau gitu kakak tantang bagaimana? Kalau besok-besok kamu beneran jadi pilot kakak akan kasih hadiah sesuatu." Ivan ngomong asal.
Anak terlihat serius. Memikirkan sesuatu. Wajah mungilnya tersenyum. Matanya berbinar.
"Baik aku nggak takut. Aku terima tantangannya." Jawab anak itu tegas. Hidungnya kembang kempis.
"Ok. Deal ya." Anak itu menyela sebentar. "Tapi hadiahnya aku yang nentuin ya kak."
Ivan bersendekap mengangguk. Matanya terpejam.
Tiba-tiba anak itu merangkul Ivan. Tangan mungilnya tidak sampai melingkar di pinggang Ivan tapi begitu lembut menyentuh. Ivan melihatnya. Tersenyum. Sebelum ini ia tidak pernah memeluk orang lain selain Ibunya. Setelah ibunya meninggal, kesedihan begitu menusuk relung hati Ivan. Tidak ada lagi yang ia punya sekarang. Ivan teringat itu. Saat sore senja matahari di ufuk barat. Saat ibunya bersantai duduk dikursi goyang menatap kearah senja itu tenggelam, perlahan dari belakang Ivan memeluknya. Tersenyum dan mencium kening Ibunya. Ibunya membalasnya dengan senyuman manis ke arah Ivan. Dan sekarang untuk yang kedua kalinya anak ini mengingatkan Ivan tentang Ibunya. Amak itu tersenyum pada Ivan. Ivan juga demikian. Memeluk anak kecil ini dnegan kedua tangannya. Mengacak-acak rambut pirangnya, mencubit pipi tembemnya.
Keduanya saling berpelukan. Menatap senja bersama. Cahaya orange begitu menyilaukan mata. Daun-daun berguguran. Angina menerpa dengan sepoi-sepoi. Layaknya musim semi hari ini Ivan merasa seperti dulu. Seperti saat dengan Ibunya.
"Hei. Dari tadi kita ngobrol aku belum tahu namamu."
"Namaku Axel kak."