Kenan masih menatapku lekat. Dan aku hanya diam saat jemarinya mengusap pelan pipiku. Tapi entah kenapa tiba-tiba Kenan menarik tangannya kembali dan saat itu kecanggungan menyergap di antara kami.
"Naren apa kabar?" tanyanya mulai melepas carabiner dan harness. Aku tahu itu cuma pengalihan, tapi kenapa Naren yang dia tanyakan? Aku tidak tahu kabar laki-laki itu sejak kublokir semua kontaknya. Ini kekanakan memang, tapi aku harus melakukan itu. Naren bukan tipe laki-laki yang diam saja saat aku tidak merespon apa yang dia lakukan.
"Aku nggak tau."
"Maaf, Kanya. Tapi caramu menyelesaikan masalah hanya akan menambah masalah. Aku pikir kalian balikan lagi."
"Aku dan Naren nggak ditakdirkan bersatu. Intinya seperti itu."
Kenan menggeleng lalu meminta harness yang sudah aku lepas. "Kamu menghindarinya."
"Dia akan menikah dengan wanita lain, wanita idaman orangtuanya dan pasti cocok dan pantas untuknya."
"Tapi bukannya dia--"
"Seandainya aku nggak bertemu Naren kembali, mungkin mereka sudah bersatu. Aku nggak mau jadi duri dalam hubungan mereka."
"Asumsi kamu terlalu berlebihan.Apa kamu nggak pernah berpikir, kalo kalian bertemu lagi itu karena kalian memang berjodoh? Meskipun aku sempat kesal dengan ulahnya dulu, tapi nyatanya kamu saja masih susah buka hati sama orang lain. Menandakan apa kalo bukan karena kamu masih cinta?"
"Percuma juga, Om Damian sudah terlanjur berpikir akulah yang menyakiti Naren dulu, jadi beliau bersikeras agar Naren bisa menikah sama wanita lain."
"Terus kamu nyerah gitu aja? Kalo kalian memang masih saling cinta, kenapa kalian nggak sama-sama berjuang saja?"
"Aku... Capek." Aku mendorong perut Kenan dan meletakkan sepatu panjat yang sudah aku lepas tadi.
Aku melangkah hendak keluar dari area wall climbing.
"Kalo gitu menikahlah denganku."
Langkahku terhenti. Suasana yang masih sepi di sini membuat suara Kenan terdengar lantang dan jelas.
"Kalo kamu menikah denganku, semuanya akan berakhir seperti yang kamu ingin."
Aku menelan ludah. Sebenarnya ucapan Kenan itu benar. Tapi menikah dengannya, itu sama artinya hanya menjadikannya pelarian saja. Menikah itu bukan perkara sepele. Menyatukan dua hati sebagai pasangan sehidup semati.
Aku membalikkan badan. Tiga meter dari tempatku berdiri, Kenan memandangku lurus. Tadinya aku kira dia hanya bercanda, tapi ekspresi yang aku lihat sekarang adalah Kenan dengan segala keseriusannya.
Kenan melempar begitu saja perlengkapan memanjat yang dia bawa. Dengan langkah cepat, dia mendekat ke arahku. Tak sampai tiga detik berselang, tubuh kami saling menempel karena Kenan menarik pinggangku dengan cepat. Mataku mengerjap beberapa kali.
Aku tahu apa yang akan terjadi setelahnya. Kenan memiringkan kepalanya, mencoba mengikis jarak di antara kami.
Aku memalingkan wajah, hingga bibirnya mengenai sisi kanan kepalaku.
Udara yang dingin, suasana yang sepi, dan posisi kami yang saling menempel, membuatku bisa mendengar detak jantung Kenan yang bertalu-talu. Hembusan napasnya menyapu hangat helaian rambutku.
Dadaku juga berdebar, tapi debar yang aku rasakan lebih karena aku terkejut dengan gerakan impuls yang dilakukan Kenan.
Naren memang pernah berkhianat karena mencium wanita lain di hadapanku. Tapi itu tak lantas membuatku melakukan hal yang sama. Sekalipun aku tahu, Kenan mencintaiku dan sangat dekat denganku.
"Dari dulu sampai sekarang, kamu memang nggak pernah memberiku kesempatan," bisik Kenan.
"Aku minta maaf."
Dekapan tangan Kenan yang melingkari pinggangku mengendur. Dia menunduk menatapku lalu mengecup kepalaku sebelum melepas tangannya.
"Aku ngerti. Dan aku harap kamu nggak melakukan kesalahan yang bisa membuat kamu menyesal nantinya."
Kenan meraih perlengkapan memanjat yang tadi dia lempar. "Kamu tunggu di sini, nanti kita sarapan bareng."
Aku mengangguk, membiarkan dia memasuki tempat penyewaan harness.
Untuk kesekian kalinya aku mengecewakan laki-laki sebaik Kenan. Dan masih dengan alasan yang sama. Melupakan Naren secepatnya memang tidak ada dalam daftar rencanaku. Ah! Aku merasa terjebak.
***
Setelah melakukan olahraga pagi secukupnya, aku dan Kenan pergi sarapan ke restoran hotel. Pilihanku jatuh pada sandwich dan segelas susu. Kenan mengambil nasi goreng. Kemudian kami langsung menuju meja.
"Sandwich dan susu." Kenan bergumam sambil menyuap sarapannya.
"Ada masalah?"
"Kamu lagi kangen sama Prince Charming?"
"Aku laper bukan kangen," gerutu kesal menggigit sandwich di tanganku.
"Kamu sudah mulai menyukai sandwich lagi. Sebelumnya kamu sangat menghindari makanan itu."
"Lalu?"
"Mmm, mungkin ini efek kembalinya Naren."
Mataku berotasi malas. "Nggak usah sok tau."
Kenan tersenyum sebelum menyuap kembali makanannya. Tapi jenis senyum yang aku lihat itu sedikit agak berbeda.
"Kalian memang berjodoh kurasa," ujarnya pelan di sela kegiatan makannya. Bahkan sangkin pelannya, telingaku nyaris tidak mendengar.
"Kamu ngomong apa barusan? Kurang jelas."
"Nggak ada. Aku cuma bilang nasi goreng di sini enak."
Aku mengangkat alis, sedikit kesal sih. Kenan semakin lahap memakan nasi gorengnya. Kadang aku heran pada diri sendiri. Hampir tidak aku temukan cacat dari diri Kenan, baik fisik maupun sikap dan sifat. Tapi kenapa aku kesulitan membuka hati untuknya. Pepatah jawa wit ning tresno jalarana soko kulina sepertinya tidak berlaku buatku. Nyatanya, si tresno tidak muncul-muncul juga. Coba kalau tresno itu ada, mungkin aku tidak perlu terjebak cinta lama yang ternyata belum kelar. Hah! Melelahkan.
"Aku sudah selesai," kataku meletakkan gelas kosong di atas meja. "Aku mau balik ke kamar, mau mandi."
Kenan menggeleng, diraihnya tisu yang kemudian dia arahkan ke bibirku. Tangannya bergerak mengelap sudut-sudut bibirku dengan lembut, membuatku agak sedikit terkesiap.
"Minum susunya kayak bocah, belepotan."
Harusnya aku deg-degan karena tingkah tiba-tiba Kenan. Tapi nyatanya aku hanya diam menunggunya selesai membersihkan bibirku dari sisa-sisa air susu yang menempel di sana.
"Itu seninya minum susu, ada jejak tertinggal di sekitar mulut kita," ujarku asal, berusaha agar tidak menimbulkan rasa canggung.
Kenan membuang bekas tisue itu ke piringnya yang sudah kosong. "Seni apanya? Itu namanya jorok."
"Udah ah, aku mau balik ke kamar." Aku mendorong kursi dan berdiri.
"Sama-sama aja." Kenan melakukan hal yang sama.
"Memangnya kamu nggak mau minum kopi dulu?"
"Ntar aja di kamar, kamu yang bikinin. Yuk!"
Aku dan Kenan berjalan beriringan menuju pintu keluar restoran yang langsung menghubungkan ke area hotel.
Sepanjang jalan menuju lift kami bercerita tentang rencanaku yang kemungkinan akan bergabung kembali di kantor Art Desaign milik Kenan. Tepat saat kami sedang menunggu pintu lift terbuka, salah satu petugas kebersihan hotel yang membawa tumpukan alat kebersihan di atas troli, hampir menyenggolku yang berdiri agak mundur ke tengah jalan. Untung saja, Kenan segera menarik lenganku, hingga tubuhku terjerembab jatuh ke dada laki-laki itu.
"Maaf Mas, Maaf, saya tidak sengaja." Petugas kebersihan itu segera minta maaf atas keteledorannya.
"Tidak apa-apa, Lain kali hati-hati aja," jawab Kenan, lalu membiarkan orang itu berlalu.
Aku belum sepenuhnya sadar dari rasa keterkejutanku tadi, saat suara dentingan lift berbunyi. Lalu pintu besi itu terbuka. Aku merasa tidak memiliki kelainan pada mataku, atau hanya aku yang sedang berhalusinasi saja karena kejadian barusan?
Kenapa sekarang aku melihat Naren bisa berada tepat di hadapanku?