Kenan menyambutku saat aku baru turun. Membuka sebotol minuman mineral dan memberikannya padaku. Sejak kapan dia datang?
"Aku tau kamu hebat. Jadi, sudah lega?" tanyanya begitu aku selesai meneguk minumanku yang sekarang tinggal setengah.
Sebenarnya aku malas menjawabnya. Untuk ukuran orang yang baru saja patah hati tentu tidak bisa kemudian langsung menjadi lega setelah memanjat dinding, belum lagi cemoohan kaum sok tahu dan sok paling benar yang dengan seenaknya mengumbar omongan unfaedah yang bisa bikin kuping terasa panas.
"Apa yang aku dengar itu benar?" tanya Kenan lagi. Bahkan dia sudah tahu. Kali ini aku bersamanya duduk agak jauh dari tempat latihan. Bersandarkan tembok gedung dengan mata lurus ke depan dan sesekali melihat kekonyolan teman-temanku lainnya.
"Kelihatannya?"
"Begini Kanya, tidak semua yang kita lihat itu benar. Jadi itulah perlunya orang untuk saling berbicara."
"Aku sudah bicara. Dan apa yang aku lakukan menurutku benar."
"Jadi, Naren bilang apa?"
"Dia sadar sesadarnya saat melakukannya. Mataku juga nggak rabun." Aku mengedik.
"Mau aku traktir es krim?" Kenan berdiri kemudian mengulurkan tangannya.
"Mungkin aku memang butuh yang manis-manis sekarang."
Aku tersenyum menyambut uluran tangannya. Apa salahnya? Aku tahu Kenan hanya ingin menghiburku. Dengan tidak menanyakan terus menerus masalahku dengan Naren, itu sudah cukup memberitahuku bahwa dia bisa memposisikan dirinya agar aku bisa tetap nyaman jalan bersamanya.
Namun tak sampai berapa detik waktu berlalu, tangan Kenan yang tadinya menggenggam tanganku terlepas.
"Naren!" pekikku terkejut melihat tubuh Kenan terhempas mundur dan terjatuh.
Laki-laki posesif itu merangsek maju mendekati Kenan yang belum siap menerima serangan dadakan. Entah sejak kapan Naren tiba-tiba muncul. Aku segera melompat dan menarik tubuh Naren sebelum dia kembali melayangkan tinjunya. Manusia ini benar-benar sudah gila.
"Naren, stop!" teriakku berusaha mencegah tubuhnya yang terus saja ingin menerjang Kenan.
"Berani-beraninya lo nyentuh Kanya!" tunjuk Naren berang ke arah Kenan yang kini sedang berusaha untuk bangkit. Keributan ini mengundang anak-anak klub. Mereka cepat bergerak menolong Kenan.
"Maaf Kenan, nanti kita bicara lagi," ucapku menatap Kenan menyesal. Lalu beralih memaksa si tuan posesif agar pergi dari tempat ini. "Cepet kita keluar."
Aku terus menarik tangan Naren keluar gedung. Memalukan. Memang apa yang sudah Kenan lakukan sehingga dia pantas mendapat pukulan dari manusia ini? Harusnya dia yang pantas mendapatkannya.
"Kamu gila ya?! Kenapa kamu memukul Kenan?" aku menghempas tangan Naren saat kami sudah tiba di tempat parkir, area yang agak sepi dari jangkauan anak-anak kampus.
"Kanya, dia memegang tangan kamu."
"Lalu masalahmu apa?"
"Kamu itu pacar aku, Kanya."
"Kita sudah putus kalo kamu lupa."
"Aku belum sepakat soal itu."
"Aku tidak perlu kesepakatan dari pengkhianat seperti kamu."
"Aku bukan pengkhianat?"
"Terus apa? Tukang selingkuh?"
"Kanya please! Semua nggak seperti apa yang kamu pikir. Aku dan Alisya nggak ada hubungan apapun. Dia yang terus menggangguku."
Aku jengah. Nggak ada hubungan apa-apa kok ciuman? Mengajak Naren putus memang tidak segampang itu, aku sadar. Tapi untuk apa juga dipertahankan?
"Terserah kamu mau ngomong apa. Yang jelas aku sudah anggap kita selesai. Dan jangan coba-coba bertindak bodoh lagi di depan teman-temanku seperti tadi."
Aku mundur selangkah untuk kemudian berbalik. Namun sebelum aku menggerakkan kaki lagi, Naren menyambar lenganku.
"Kanya please, jangan seperti ini. Aku minta maaf. Iya aku salah. Aku minta maaf. Tapi tolong jangan menjauh. Aku nggak akan tenang pergi ke Harvard kalo kamu seperti ini." Nadanya kembali melembut.
"Ada atau nggak ada aku, kamu akan tetap pergikan? Nggak usah berlebihan deh."
"Tapi aku ingin saat aku berangkat, kamu bisa mengantarku dengan senyuman Kanya. Bukan dengan kobaran api seperti ini. Please, aku minta maaf Kanya."
Naren melangkah maju. Mencoba menyentuh wajahku.
"Stop, jangan bergerak."
"Kanya, kamu mau maafin aku kan?"
Bukan berarti panas setahun dihapus hujan sehari. Tapi kesalahan Naren kali ini bagiku seperti racun. Mematikan perasaan dan meninggikan egoku. Darimana pikiran itu berasal? aku merasa Naren memang punya hubungan khusus dengan Alisya tanpa sepengetahuanku.
Jika saja aku tidak melihat kejadian itu, entah sampai kapan Naren akan menyembunyikan semuanya dariku. Bahkan sampai saat ini, dia masih meyakinkanku kalau mereka tidak ada hubungan apapun.
Mana ada maling ngaku?
Mataku memejam, lagi-lagi bayangan mereka saling menempelkan bibir memutar.
Menghela napas, aku mencoba menenangkan dadaku yang mulai bergemuruh.
"Baik, aku maafin kamu_"
Aku menggantungkan kalimatku saat kulihat dia mengukir senyum. "Tapi aku mau semuanya cukup sampe disini, " sambungku membuat senyum itu lantas memudar.
"Ka--Kanya."
Aku mundur beberapa langkah. "Dari awal kita memang tidak cocok. Selama ini aku mungkin yang terlalu memaksakan diri untuk bisa ngimbangin kamu. Dan aku rasa kamu memang lebih cocok dengan perempuan itu. Dia lebih baik dariku segala-galanya."
Naren menggeleng.
"Kamu nggak perlu cemas Naren, nggak akan ada lagi si keras kepala yang membuatmu kesal. Dan perempuan itu pastinya lebih menghargaimu daripada mendebatmu."
Naren masih terus menggeleng.
"Kamu tampan, dia cantik, paskan? Orang nggak akan sakit mata kalo lihat kalian jalan berdua karena kalian pasangan yang sangat serasi."
Aku tersenyum getir. Mengingat kembali tiap kali jalan berdua dengan Naren di lingkungan kampus ada saja orang yang mencibir.
"Kanya, nggak seperti itu."
"Jangan menggangguku lagi Naren, please ... biarkan aku sendiri."
Mataku sudah terasa panas. Kuangkat tanganku saat Naren hendak mendekat.
Aku bergegas menjauh. Rasanya begitu sesak. Ada sesuatu yang hendak meledak di dalam dadaku. Dan membiarkan air mata tidak tahu diri ini mengalir di depan Naren, bukanlah hal yang ingin kulakukan. Sehancur apapun perasaanku saat ini.
-oOo-
Beberapa hari setelahnya, Naren benar-benar menuruti apa mauku. Dia tidak lagi menelepon atau pun mengirimiku pesan. Aku memutuskan kembali ke rumah.
Tepat saat kakiku menginjak halaman rumah kembali, sebuah notif WA muncul di ponsel.
'Besok pesawatku terbang pukul 7 malam. Aku masih berharap kamu mau mengantarku Honey.'
Aku mendesah pelan sebelum melangkah memasuki rumah.
"Galaunya sudah sembuh, Dek?"
Aku berjengit kaget. Kukira tidak ada orang di rumah. Tiba-tiba saja Mas Bagas muncul dari arah dapur membawa sebuah mangkok yang kutahu dari aromanya bisa kutebak berisi mi rebus.
"Yee, siapa yang galau."
Aku membaui aroma mi rebus yang membuat produksi air liurku meningkat.
"Bagi dong, Mas."
"Mau?"
Aku mengangguk antusias.
"Bikin aja sendiri."
"Pelit ah," sungutku kesal.
"Perutku lagi laper banget Dek, ibu lagi ke rumah budhe, nggak ada makanan apapun selain mi instan. Jadi, kalo kamu laper juga, gih buat sendiri aja."
"Aku nggak laper, sebelum pulang tadi makan dulu di warteg sama Silvi."
Mas Bagas mulai menyantap mi rebusnya.
"Naren, apa kabar? Dia pernah sekali kesini pas kamu nggak ada di rumah. Kasian banget aku liat mukanya. Sebenarnya kalian ada apa sih? Berantem?"
Aku menghela napas. Tanpa aku bicara pun, Mas Bagas sepertinya sudah bisa menebak.
"Aku nggak mau ikut campur urusan kalian sih. Cuma jangan sampe kamu buat keputusan yang bikin kamu nyesel nantinya."