KANYA
Nyesel? Aku belum sampai pada tahap itu kurasa.
"Besok pesawatnya berangkat pukul tujuh malam," beritahuku tanpa Mas Bagas minta.
"Kamu mau nganter dia ke bandara?"
"Aku nggak tau Mas."
"Kalo kamu emang mau, pergi aja. Tekan dulu yang namanya ego. Kaliankan udah kenal lama. Kasian loh, dia pasti ngarepin kamu anter."
Tidak aku pungkiri aku memikirkan kata-kata Mas Bagas saat aku masuk ke kamarku. Aku mencoba menyelami hatiku sendiri. Masih adakah sedikit rasa empatiku untuk Naren setelah semuanya?
Jawabannya membuat kepalaku menggeleng keras. Aku tidak menyukai ini. Aku yakin semua akan baik-baik saja seiring dengan berjalannya waktu. Kami akan sama-sama disibukkan oleh dunia masing-masing. Yah, aku rasa itu memang yang terbaik.
***
Aku bergerak gelisah di atas ranjangku. Sebentar berguling, sebentar duduk. Sesekali melihat ke arah jarum jam yang terus bergerak. Sebentar lagi pesawat Naren take off. Kalau sekarang aku pergi ke bandara, mungkin masih bisa kekejar.
Aku kemudian meraih tasku, berdiri sebentar, tapi lantas duduk lagi. Berpikir lagi. Bertanya pada diri sendiri. Perlukah aku ke sana?
Baiklah, Aku memang sudah putus dengan Naren. Tapi rasanya tidak salah kalau aku mengantarnya ke bandara. Setidaknya aku akan mengucapkan salam perpisahan sebelum dia pergi jauh. Mas Bagas benar. Aku bergegas bangkit sebelum berubah pikiran lagi. Selamat kau menang wahai hati.
Dan sekarang aku di sini. Di terminal 3 Bandara Soekarno-Hatta. Sial, aku tidak tahu Naren ada di gate berapa. Tempat ini sangat luas. Aku sedang melihat LCD besar yang menampilkan schedule penerbangan luar negeri saat sebuah suara memanggilku.
"Mbak Kanya!"
Aku menoleh dan mendapati Arsen melambai kepadaku. Dia berlari kecil menghampiriku. Di tangannya ada sebuah gelas kertas yang menguarkan aroma kopi.
"Mba Kanya di sini juga? Pasti mau nganter Kak Naren kan?" tanyanya begitu sampai di depanku. Melihat Arsen aku jadi merasa tertolong, setidaknya aku tidak perlu kebingungan mencari-cari Naren di tempat seluas ini.
"Oh, iyah. Kamu juga?"
"Ya iya dong aku kan adiknya. Ada Papa sama mama juga kok. Ayok Mbak kita kesana."
Aku berjalan beriringan bersama Arsen. Dia itu mukanya sebelas duabelas dengan Naren. Tinggi juga hampir sama. Tipe fansgirl banget. Aku yakin ketenarannya di sekolah juga tidak beda jauh dengan Naren. Bedanya apa yaa???
"Haiii manis, malam ini cantik deh."
"Halo cantik, kapan-kapan kita minum kopi bareng yah."
Astaga! Itu dia bedanya. Aku hanya bisa geleng-geleng kepala melihat tingkah anak belasan tahun di sampingku. Hampir semua cewek yang berpas-pasan dengan kami dia kerling. Sepertinya anak ini punya jiwa playboy yang lagi diasah.
"Nah, tuh Kak Naren ada di sana."
Aku mendongak saat telunjuk Arsen mengarah ke deretan kursi tunggu yang tak jauh dari kami.
"Eh tapi, dia sama siapa ya? Perasaan tadi cewek itu nggak ada deh."
Itu Alisya. Mataku melihat perempuan itu menggenggam tangan Naren. Aku terpaku, tidak jadi melanjutkan langkah.
"Kok mbak Kanya berhenti?"
Sebenarnya tidak ingin, tapi aku memaksakan diri untuk tetap tersenyum di depan Arsen.
"Arsen, maaf aku lupa sesuatu. Tiba-tiba saja aku ingat ada janji malam ini dengan temanku. Sepertinya aku nggak bisa mengantar Naren. Maaf Ya... " sekuat hati aku menyembunyikan perasaanku yang mendadak ngilu di hadapan Arsen.
"Tapi Mbak, katanya_"
"Tolong kamu jangan bilang Naren kalo aku ke sini yah, please."
"Tapi_"
"Arsen, berjanjilah, aku mohon yaah."
"Oke,tapi Mbak_"
"Kalo gitu aku pergi dulu."
Aku buru-buru membalikkan badan dan berjalan cepat.
"Tapi Mbak ... Mbak Kanya tunggu ...."
Sempat aku mendengar Arsen masih terus memanggilku.
Bodoh! Untuk apa aku datang ke sini? Jelas-jelas Naren sudah melupakanku. Ada Alisya, perempuan cantik yang bisa Naren banggakan. Harusnya aku bersikukuh dengan tekad awalku. Sekarang mungkin logikaku sedang mengejekku karena lebih menuruti kata hati dari pada mendengar perintah otak di kepalaku.
Ya Tuhan, kenapa aku jadi secengeng ini? Berengsek memang. Aku benci produksi air mataku yang melimpah ruah. Tapi aku harus akui, ini jauh lebih sakit dari saat pertama kali tahu Naren bermain di belakangku.
***
LIMA TAHUN KEMUDIAN
Lima tahun kemudian.
Aku bergegas memasukkan semua sketsa yang aku buat untuk seorang klien yang lumayan sering memakai jasa perusahaan tempatku bekerja untuk brandnya. Terhitung sudah ke sepuluh kalinya dia memintaku untuk mendesaign brand tas produksinya sejak aku pindah ke sini.
Beberapa tahun ini aku bekerja di sebuah perusahaan desaign art yang lumayan famous di Surabaya. Aku di sini atas rekomendasi Kenan.
Yah, aku pindah dari Jakarta ke Surabaya setelah lulus. Suasana baru lebih membuatku fokus. Semua dimulai dari nol. Tidak ada jejak kenangan yang membuatku sakit di sini. Aku bisa lebih leluasa berkarya. Sesekali jika libur bekerja, aku akan mengisi dengan pendakian atau traveling. Jawa timur memiliki destinasi yang menarik untuk dijelajah.
Aku memasuki lobi sebuah gedung berlantai sepuluh. Kantor klienku ada di lantai delapan. Beberapa contoh desaign baru yang aku buat sudah aku bawa. Tara, bosku yang nyentrik itu bersikukuh memintaku agar terus menangani klien yang satu ini. Lebih ke sama-sama perempuan jadi aku dianggap lebih tahu keinginannya.
Tidak seperti biasanya klienku ini memintaku mendesaign sesuatu bernuansa cinta. Aku sempat bingung akan mendesaign apa. Cinta, mendefinisikannya saja rasanya aku sudah tidak bisa. Bagaimana aku bisa menuangkannya dalam sebuah gambar?
Aku sudah jera menyeret diri pada sesuatu yang bearomakan cinta. Akhirnya aku hanya menggambar beberapa sketsa tentang bunga. Mungkin cinta bisa diidentikkan perasaan yang penuh bunga. Yaa, itu mungkin saja kan? Aku bahkan sudah lupa rasanya mencintai itu seperti apa.
Aku masuk ke sebuah ruangan saat pemilik di dalamnya mempersilahkan masuk. Seorang wanita cantik dengan senyum yang ramah menyambutku.
"Hai Kanya... Gimana? Berhasil?" tanyanya kemudian. Karena sering bekerjasama mungkin kami sedikit agak akrab.
"Mbak Nadine bisa lihat sendiri. Aku nggak tau desaignku kali ini sesuai yang Mbak ingin atau nggak. Jujur aku agak tahu harus menggambar apa dengan tema cinta."
Nadine tergelak. "Memangnya kamu nggak pernah jatuh cinta?"
Salah tingkah aku menggaruk dagu. "Entah, lupa."
Wanita itu kembali tertawa. "Aku nggak yakin kalo kamu belum pernah rasain yang namanya jatuh cinta. Hampir semua manusia yang ada di bumi ini pasti mengalaminya."
Tentu saja itukan perasaan yang manusiawi. Tapi kalau boleh memilih mending aku tidak perlu merasakannya daripada akhirnya berujung kecewa. Astaga. Aku sudah seperti orang yang trauma saja. Mungkin aku memang trauma. Setelah dulu itu, rasanya masih berat untuk mendekati dunia pink lagi.