KANYA
Pertemuan yang tidak terduga dengan Naren minggu lalu, sedikit menggangguku. Otak dikepala memaksaku memutar kembali memori tentang laki-laki itu. Lima tahun mencoba melupakan dia dari ingatanku, aku akui sedikit agak sulit. Berusaha membuka hati mati-matian untuk orang lain juga tidak segampang yang aku pikir. Sekuat itukah jejak yang dia tinggalkan untukku? Sumpah, kadang ini terlalu menyiksaku.
Moodku berantakan, beberapa gambar yang aku buat malah melenceng dari tema seharusnya. Ku putuskan meninggalkan buku sketsaku dan beranjak menyeduh kopi. Sedikit cafein mungkin saja bisa menenangkan pikiranku. Beberapa kali pesan WA dari Kenan belum aku balas. Semenjak aku putus dari Naren, laki-laki itu belum mau menyerah. Tiga tahun yang lalu dia menyatakan cintanya padaku. Tapi aku menolaknya dengan halus. Untungnya dia laki-laki yang bisa mengerti keadaan, tidak suka memaksakan kehendak. Sampai saat ini, dia tidak pernah telat mengingatkanku agar jangan lupa makan. Ada rasa tidak enak juga dengan segala kebaikannya selama ini. Tapi perasaanku padanya tidak bisa meningkat sedikit pun. Aku masih saja lebih nyaman disanding sebagai teman.
Tok! Tok!
Aku yakin itu pemilik rumah. Sudah jatuh tempo untuk pembayaran kontrak rumah bulan ini. Aku meletakkan cangkirku di meja dapur, lalu menyeret langkahku menuju pintu depan.
"Maaf Bu, saya baru sa--"
Mulutku tertahan begitu juga tanganku yang kurasakan kuat mengerat pegangan pintu.
Dia yang berada di depanku, tersenyum. Senyum yang hampir tidak pernah kulihat lagi sejak lama. Berdiri menjulang dengan tampang yang nyaris masih sama sempurnanya seperti dulu.
"Hai, Sa--, Kanya."
Ini kejutan yang tidak bagus sama sekali. Dari mana Naren tahu alamatku?
"Boleh aku masuk?"
Aku belum menjawab apa-apa saat kakiku kurasakan melangkah mundur dan menguak pintu semakin lebar memberinya jalan.
"Ka-kamu..., kenapa bisa ada di sini?"
"Itu, ya tentu saja aku tau sendiri."
Aku mengernyit. Jangan bilang dia mengikutiku.
"Seperti yang kamu pikirkan." Dia nyengir lebar.
Ternyata, dia sama, sekali belum berubah. Meskipun penampilannya sekarang berbeda, tapi aku yakin sifatnya masih sama saja.
Naren datang mengenakan kesejahteraan slim flit yang lengannya dia gulung sampai ke siku. Celana jins pendek selutut dan topi. Sneaker warna putih yang... Astaga! Itu sneaker pemberianku dulu.
"Duduk aja, aku buatkan minum."
Tidak mungkin juga aku mengusirnya. Aku segara ngacir ke dapur. Naren tidak menyukai kopi, minum teh pun takaran gulanya harus sesuai. Tapi yang aku punya hanya persediaan teh dan kopi instan.
Akhirnya aku membawa secangkir teh hangat ke depan. Meletakkannya di depan meja tamu.
"Boleh aku minum?"
"Itu dibuat untuk diminum."
"Kamu belum mempersilahkan tadi."
"Oke, Silahkan."
Aku memasang wajah sedatar mungkin. Kendati agak sedikit gugup. Kenapa sih aku harus segugup ini berhadapan dengan Naren? Padahal dulu tidak.
"Kamu masih ingat takaran gulanya? Manisnya pas, sama seperti yang dulu kamu buat."
Harusnya aku tadi bikin kesalahan saja. Membuat tehnya terlalu manis mungkin, jadi aku tidak perlu merasakan ada kupu-kupu terbang di dalam perutku.
"Kamu apa kabar?" tanyaku mengalihkan dan menghalau rasa gugup yang masih saja dengan kuat aku sembunyikan.
"Aku tidak pernah lebih baik seperti hari ini. Bisa minum teh buatanmu lagi adalah hal baikku di hari ini."
Oke, lagi. Kupu-kupu sialan ini menari-nari di dalam perut.
"Ada perlu kamu ke sini?" Aku sempatkan berdehem sebentar sebelum melontarkan pertanyaan ini.
"Aku menemuimu karena kangen."
Setelah semuanya? Setelah waktu yang bagiku teramat lama? Haruskah aku percaya padanya? Baiklah aku mengalah. Orang tidak lama jumpa timbul perasaan rindu aku anggap kewajaran.
"Kamu nggak berharap aku ngucapin hal yang sama kan?"
"Kalopun iya, kamu nggak akan pernah melakukannya."
"Oke, aku anggap kamu paham."
"Aku minta maaf, sudah bikin kamu kecewa."
"Aku sudah pernah mengatakan, kalo aku memaafkanmu."
"Tapi kamu nggak mau menarik ucapanmu. Aku masih merasa kamu itu milikku Kanya."
Tatapan kami beradu. Ini terlalu cepat. Dia tidak pernah mengerti betapa aku sudah bersusah payah hidup tanpa bayang-bayangnya. Rasanya tega sekali jika sekarang dia berkata seperti itu. Bahkan aku tidak tahu kehidupannya, setelah kami berpisah itu seperti apa.
"Kanya, aku ingin memulai lagi denganmu."
Kali ini mataku sukses melebar.
"Jauh dari kamu itu berat. Aku sudah mencobanya. Melupakanmu itu sulit. Aku nggak bisa."
Ada nyeri yang masih terasa saat aku mengingatnya bersama Alisya dulu.
"Lima tahun itu bukan waktu yang singkat. Dan melihat keadaanmu sekarang ini aku yakin kamu melewati hari-harimu dengan bahagia. Dan itu tanpa aku. Pun kalo selamanya aku nggak ada, nggak akan menjadikanmu lantas terpuruk."
"Kamu salah. Aku menempuh pendidikanku lebih lambat dari yang seharusnya. Aku melewati masa sulitku dengan harapan agar aku bisa segera kembali padamu. Harusnya aku sadar saat kamu nggak datang ke bandara waktu itu, artinya aku harus lupain kamu. Tapi nyatanya aku nggak bisa."
Arsen ternyata menurutiku agar tidak berkata apapun pada Naren. Aku menghela napas.
"Apa kabar Alisya?"
Ada raut tak suka yang Naren perlihatkan saat aku bertanya tentang Alisya.
"Untuk apa kamu tanya dia?"
"Bukannya setelah kita pisah kamu sama dia?"
"Aku sudah bilangkan aku nggak punya hubungan apapun sama perempuan itu."
Mataku memejam. Aku jelas melihat Alisya menggenggam tangannya waktu itu. Reaksi Naren biasa saja.
Ponselku bunyi.
"Maaf aku harus mengangkat telpon dulu."
Aku beranjak meninggalkan Naren di ruang tamu. Panggilan itu dari Kenan. Aku melirik kalender yang ada di nakas panjang dekat jendela dapur sebelum menjawab panggilan Kenan.
"Ya, halo."
"Kamu liburkan besok?"
"Iya, kenapa?"
"Pesawatku tiba pukul tujuh pagi, kamu mau menjemputku. Aku janji akan mentraktirmu sarapan."
Aku terkekeh. Kenan selalu menjanjikan sesuatu agar aku mau menjemputnya saat dia datang ke Surabaya. Padahal dia tidak perlu melakukannya. Tanpa iming-iming darinya pun kalau aku ada waktu pasti akan menjemputnya.
"Oke, jam tujuh kan?"
"Jadi, kita sarapan bersama?"
"Iya, baiklah. Aku nggak boleh menolak rejeki."
Terdengar tawa Kenan di sana. Tak lama lalu aku mengakhiri percakapanku.
Aku baru akan kembali ke ruang tamu saat ternyata Naren sudah berdiri di belakangku. Membuatku kaget saja.
"Apa itu tadi pacarmu?"
Aku tidak langsung menjawab. Otak di kepalaku memberiku sinyal agar aku berkata 'iya'. Mungkin saja kalau aku jawab seperti itu urusanku dengan laki-laki ini tidak akan panjang. Tapi...
"Dia Kenan." Mulutku sulit diajak bekerjasama.
"Kenan? Dia masih saja mengganggumu?"
"Aku nggak pernah merasa terganggu sama Kenan. Dia banyak membantuku selama ini."
"Itu karna dia menginginkan sesuatu dari kamu."
"Mungkin. Tapi aku nggak peduli."
"Kanya, jangan naif. Apa dia masih sering menemuimu?"
"Dia akan menemuiku kalo datang ke Surabaya, besok dia akan datang ke sini. Dan seperti biasa aku akan menjemputnya."
"Apa?"
Naren gusar. Gestur yang sering dia tampakkan dulu kalau sikap posesifnya kambuh.
"Jam berapa pesawatnya tiba?" tanyanya.
"Apa aku harus memberitahumu?"
"Kanya jelas saja aku harus tau. Kamu itu pa--"
Aku mengangkat alisku. Perkataannya ter henti tiba-tiba.
"Oke, aku akan menemanimu menjemput Kenan."
"Ya?"
"Aku ikut kamu menjemput dia. Pahamkan sekarang?"
Aku menganga tak percaya. Setelah sekian lama, kenapa dia masih saja bersikap konyol seperti ini?
NAREN
Aku tidak pernah merasakan segugup ini. Lima tahun tidak berjumpa membuat gula jawaku semakin ....
Lagi-lagi aku jatuh pada pesona Kanya. Selama ini aku tidak pernah berhenti memikirkannya. Mencoba melupakan Kanya jauh lebih sulit dari apa yang kubayangkan.
Dan pertemuan kembali hari itu, seolah membuka mataku bahwa aku memang tidak ditakdirkan untuk melupakan gadis itu.
Demi apapun, aku tidak mau melepasnya lagi.