"Kanya tidak akan kemana-mana." Dia berdiri menatap Kenan. Keduanya menjulang saling berhadapan.
Aku mencium sesuatu yang tidak baik di sini. Dan merasa bingung apa yang harus aku lakukan untuk menghadapi keduanya.
Tapi tiba-tiba saja sebuah suara merdu terdengar memanggil namaku.
"Kanya!"
Kepalaku menoleh dan kudapati Nadine melambai ke arahku. Wanita itu kenapa ada di sini? Tak perlu waktu berapa lama, Nadine segera menghampiriku.
"Naren, kamu ada di sini juga?" Nadine baru menyadari kehadiran Naren saat dia tiba di meja kami.
"Mbak kok bisa ada di sini?" tanyaku.
"Iya, aku ke sini sebenernya mau beli sandwich buat Naren. Eh taunya dia sudah ke sini bareng kalian."
"Hai, kamu teman Naren?" tanya Kenan tiba-tiba.
"Mbak Nadine ini klienku Kenan," jawabku.
"Hai kenalkan aku Nadine." Nadine yang cantik mengulurkan tangannya. Kenan dengan senyuman menyambutnya. "Kenan."
"Kamu pacar Kanya yah?" tanya Nadine to the poin.
"Bukan Mbak, Kenan temanku." Aku langsung menjawab pertanyaan Nadine yang aku rasa terlalu blak-blakan.
"Wah bukan yah. Padahal kalian kelihatan serasi."
"Serasi dari mananya? Sebaiknya kamu periksa matamu itu." Naren menyahut sinis membuat Nadine berdecak.
"Jadi kenapa kalian bisa makan di sini bersama? Naren, Kanya dan kalian berdua nggak mengajakku?"
"Maaf Mbak, tadi kami baru pulang menjemput Kenan dari bandara jadi ya sekalian breakfast."
"Oya?"
"Mbak Nadine sepertinya sudah sangat mengenal Naren. Apa nggak apa-apa, kalo aku dan Kanya pamit sekarang?" Kenan masih saja berusaha untuk pergi dari sini.
"Kalo lo mau pergi ya pergi saja. Kenapa harus mengajak Kanya? Kanya ke sini bareng gue jadi pulangnya juga bareng gue." Naren melambaikan tangan seperti orang mengusir.
"Wait, Naren, Kanya, kalian berdua sudah lama ke ... nal?" Nadine mulai curiga.
"Mereka berdua adalah sepasang kekasih." Jawaban yang keluar dari mulut Kenan membuat mata Nadine terbelalak. "sebelum pengkhianatan merusak hubungan mereka."
"Tutup mulut lo!" hardik Naren.
"Gue ngomong apa adanya."
"Tunggu..., ada yang nggak beres di sini."
Nadine benar, dan aku harus segera memisahkan Naren dan Kenan secepatnya.
"Naren,Mbak Nadine, maaf aku harus pergi sekarang." Aku mendorong kursiku lantas meminta Kenan agar ikut pergi juga.
"Kanya kamu nggak bisa kemana-mana," cegah Naren.
"Sorry Naren, kamu sebaiknya lanjutkan sarapanmu sama Mbak Nadine. Aku pergi."
Aku bergegas meninggalkan tempat ini diikuti Kenan setelah sebelumnya pamit pada Nadine. Aku tidak pernah membayangkan situasinya akan seburuk tadi. Kalau aku biarkan, mungkin saja adu mulut antara Kenan dan Naren akan terus berlanjut. Dan itu bukan situasi yang menguntungkan buatku.
NAREN
Sial! Aku beberapa kali mengumpat kesal saat Kanya pergi bersama laki-laki itu. Dia pikir dia itu siapa? Berani sekali bicara begitu padaku.
Dan Kanya, kenapa dia lebih memilih pergi dengan laki-laki itu? Si Kenan Kenan itu terang-terangan mengibarkan bendera persaingan di depanku. Oke, siapa yang takut. Kita lihat saja.
Dan Nadine, wanita ini masih saja terus menatapku penuh tanda tanya. Matanya menyelidik dengan jari jemari yang sedari tadi mengetuk-ngetuk meja.
"Jadi Kanya perempuan itu?" tanyanya kemudian.
"Iya."
Mata wanita itu memejam. Entah apa yang dia pikirkan sekarang.
"Dunia ini ternyata begitu sempit." Tawanya terdengar sumbang. "Sekarang apa yang akan kamu lakukan setelah bertemu dengannya lagi?"
"Seperti yang sedang kamu pikirkan sekarang."
Aku lihat mata wanita itu terpejam kembali.
"Sepertinya kali ini kamu perlu perjuangan karena ada laki-laki lain di sampingnya."
"Baik dulu atau pun sekarang, aku tidak pernah merasa mudah mendapatkan Kanya. Aku dulu pernah berbuat kesalahan, sulit mendapat maaf dari Kanya. Dulu mengejarnya berat, tapi aku rasa kali ini juga akan semakin berat."
"Kamu selalu tau kemana kamu kembali jika merasa lelah."
Lagi-lagi tatapan penuh harapan, Nadine tunjukkan padaku. Entah sudah berapa kali aku katakan padanya. Aku hanya bisa menjadikannya teman, tidak bisa lebih.
KANYA
Aku menggeram kesal. Saat sepanjang perjalanan naik taksi tadi aku terus diam. Kenan menoleh melihat tingkahku. Merasa ada yang tidak beres, dia mendekat.
"Ada apa?" tanyanya.
"Menurutmu?"
"Aku sih biasa aja. Tapi kenapa kamu mencak-mencak? Kamu marah?"
"Kenan please deh, jangan ngomong kayak gitu lagi di depan dia."
Kenan malah tertawa. "Si Prince Charming itu ternyata belum bisa move on dari kamu, kalian sama saja."
"Apa?"
"Nggak usah menyangkal Kanya. Kamu tanya sama hatimu sendiri. Setelah kalian dipertemukan lagi, gimana perasaanmu? Bahagia atau sedih?"
Aku diam. Tidak ada kewajibanku untuk menjawab. Aku lebih memilih pergi ke dapur menyeduh kopi.
"Kamu mau kopi?" tanyaku pada Kenan yang mengikutiku ke dapur.
"Sebaiknya kamu kurangi kopi. Sejak kapan sih kamu suka ngopi?"
"Nggak tau. Aku lupa."
Sejak putus dari Naren, aku jadi menggilai minuman ini. Padahal Naren paling anti minum kopi. Segala yang Naren tidak suka malah membuatku tertantang untuk mencobanya. Jika aku melakukan hal yang dia, suka lantas mengingatnya itu wajar. Padahal aku melakukan hal yang bertolak belakang dengan apa yang disukainya tetap saja itu tidak membuatku terus lupa. Menyebalkan.
"Aku agak sedikit kecewa sih melihat dia hadir di hidupmu lagi."
Gerakkanku mengaduk bubuk pembawa aroma wangi itu terhenti.
"Entahlah aku merasa kamu akan jauh lagi dariku. Kacau sekali aku ini, udah ditolak, masih nggak tau diri." Kenan tertawa sumbang.
"Dia memang kembali, tapi bukan berarti aku akan bersamanya lagi. Hubunganku dengannya udah lama berakhir."
"Kalo kamu memang sudah nggak ada rasa. Mungkin kamu akan lebih mudah membuka hati. Tapi nyatanya?"
Aku tertegun. Meskipun tidak ingin, aku akui perasaanku pada Naren yang entah sekarang disebut apa, seperti mengakar jauh ke dalam lubuk hatiku. Tapi dulu itu, rasa sakit karena merasa dipermainkan mengalahkan segala rasa simpati yang aku punya. Dia berhasil meluluhlantakkan segalanya. Dan aku harus jatuh lagi ke lubang yang sama? Rasanya itu bodoh sekali.
Kenan salah, aku menutup hatiku bukan karena aku masih mencintai Naren. Tapi lebih pada menjaga diriku sendiri agar tidak lagi terluka. Itu saja. Mungkin suatu saat aku akan punya kesiapan menghadapi sebuah perasaan sensitif yang seperti itu lagi.
***
Aku baru saja akan menutup mata saat ponselku berdering. Dengan gerakan malas aku mengambil benda itu di atas nakas. Sejenak aku melihat layarnya, keningku berkerut, nomor tidak dikenal. Aku biarkan saja hingga dering itu mati sendiri. Saat ternyata ponselku kembali berdering aku menutupnya dengan bantal.
Aku tersenyum, dering itu terhenti. Aku mengambil kembali ponselku. Tapi tak berapa lama notif Wa muncul.
'Kanya, kenapa kamu nggak angkat telponku?'
Aku melihat gambar profilnya. Astaga ternyata tadi itu Naren. Bagai tersengat arus listrik, dadaku bergetar. Dan ini kenapa? Jantungku ... Deg-degan? Aku tidak menyukai ini. Selang beberapa detik, ponselku berdering kembali. Dan bodohnya aku malah bingung sendiri, antara mau diangkat atau tidak.
PS. Halao Naren-Kanya come back. Yang rindu sama mereka boleh dong sumbang powerstonenya hehe. Jangan lupa gaes ramaikan tinggalkan komen dan ulasan kalian sebanyak-banyaknya. 😊
Jangan lupa masukin cerita ini di koleksi bacaan kalian ya gaesss... Teng kyu somad.
N see you soon. 😘