Chereads / Prince Charming Vs Gula Jawa / Chapter 17 - Part 16

Chapter 17 - Part 16

KANYA

Naren benar-benar ikut menjemput Kenan. Mobilnya sudah terparkir di depan rumah kontrakanku sejak pukul lima pagi. Terlalu niat. Aku baru selesai sholat shubuh saat membukakan pintu untuknya.

Pukul setengah tujuh, aku dan Naren sudah sampai di Bandara Juanda.

"Apa dia menginap di rumahmu kalo ke Surabaya?" tanya Naren tiba-tiba membuatku menoleh.

"Aku nggak segila itu ngasih ijin laki-laki menginap di rumah orang."

"Syukurlah. Mau aku carikan sarapan?"

"Aku menunggu Kenan saja."

"Masih jam tujuh,  memangnya kamu nggak laper?"

"Aku biasa makan pagi jam delapan."

"Baiklah. Tapi harusnya kamu nggak perlu repot seperti ini sih. Kamu bisa saja menyuruhku menjemput Kenan. Kamunya di rumah aja."

Aku berdecak sebal. Mulut Naren tidak mau diam.

"Kamu jangan bertingkah aneh kalo bertemu Kenan."

"Memangnya apa yang aku lakukan?"

"Sebenarnya apa yang kamu lakukan di sini? Aku bahkan biasa menjemput Kenan sendiri saat dia ke sini."

"Oya? Aku pastikan itu nggak akan pernah terjadi lagi."

Aku menggeleng. Manusia aneh ini, selalu berbuat seenaknya.

"Nadine."

"Kenapa dengan Nadine?"

"Sudah berapa lama kamu kenal dengannya?"

"Setahun belakangan."

"Nadine nggak pernah cerita."

"Untuk apa juga dia cerita. Nadine itu... "

Aku menggantungkan kalimatku. Etis tidak ya kalau aku menanyakan tentang perasaan Naren pada Nadine.

"Ya?"

"Nggak,  nggak apa-apa." Aku mengalihkan pandangan. Naren tidak boleh berpikir macam-macam. Setidaknya dia tidak boleh tahu jika sesuatu di dalam sana sedikit menggangguku saat tahu jika laki-laki yang Nadine suka adalah dia.

"Aku kenal Nadine saat di Cambridge. Karena kami sama-sama mahasiswa Indonesia jadi kami akrab."

Tanpa aku minta, Naren menjelaskan. Mereka akrab dan wajar kalau Nadine akhirnya bisa menyukai Naren.

Pemberitahuan mendaratnya pesawat dari Jakarta terdengar. Mungkin salah satu penumpangnya Kenan. Semoga saja Kenan tidak terkejut dengan kehadiran Naren.

Aku langsung menangkap kehadiran Kenan. Gayanya sesantai biasanya. Jins belel dengan kaos berkerah. Jaket hitam dan tas ransel menempel di badannya. Dia juga sepertinya sudah mendapatiku karena melambaikan tangan ke arahku.

"Hei,  Kan. Kamu oke?" tanyanya begitu sampai di depanku.

"Seperti yang kamu lihat."

"Good. Maaf ya nunggu lama."

"Nggak juga sih."

"Oke, kita pergi sekarang?"

"Eh, tunggu."

Aku celingukkan mencari keberadaan Naren. Tadi padahal masih ada di sampingku. Kenapa sekarang menghilang?

"Kamu nyari siapa?"

"Dia pergi kemana sih?"

"Kamu ke sini sama siapa?"

"Aku ke sini sama--"

"Dia ke sini bareng gue."

Aku dan Kenan kontan menoleh.  Mendapati Naren datang dengan tangan membawa sebotol air mineral.

"Naren?"

"Ya, gue."

"Lo kenapa bisa ada di sini?"

"Kenapa nggak? Lo aja bisa."

Aku mengamati interaksi mereka berdua. Dan merasakan suasana yang tidak menyenangkan di sini. "Aku baru beberapa minggu bertemu Naren. Sebaiknya kita segera keluar dari sini."

"Okeh Kanya. Kamu pasti laper." Itu Kenan yang menjawab, dia lantas menggenggam tangan kiriku. Aku agak terkejut sih,  diam-diam aku melirik ke arah Naren.

Mukanya merah padam. Jika lima tahun lalu mungkin saja dia bisa seenaknya memukul Kenan,  kali ini dia nampak diam. Tapi wajahnya jelas menunjukkan rasa tidak suka.

***

Saat hendak naik mobil, Naren memintaku untuk duduk di depan. Tapi Kenan menyuruhku agar aku di belakang saja. Dia yang akan duduk di depan. Lagi-lagi Naren tidak banyak protes, tapi dia malah menyerahkan kontak mobilnya pada Kenan. Alhasil Kenan yang memegang kemudi.

"Kita akan sarapan di mana?" tanyaku memecah keheningan yang dari tadi tercipta sejak mobil ini meninggalkan pelataran bandara.

"Gimana kalo di tempat biasa, Kan?" usul Kenan.

Aku melirik Naren yang masih belum bersuara. Di tempat yang Kenan maksud adalah bubur ayam pinggir jalan langganan.  Aku tidak yakin Naren bisa makan di sana.

"Mmm,  aku sedang ingin sarapan sandwich sih." Aku bisa merasakan Naren melirikku dari kaca spion depan.

"Oh, okeh. Kalo gitu kita ke resto 24 jam yang nyediain menu sarapan. Naren,  lo mau sarapan apa?" Kenan bertanya pada Naren yang masih saja bergeming.

"Terserah Kanya saja. Dia yang lebih tau aku biasa sarapan apa."

Aku tertegun. Iya aku memang tahu kebiasaannya dulu. Tapi mungkin saja semua sudah berubah seiring dengan waktu kan?

"Itu pun kalo dia masih ingat," sambungnya. Aku tidak membalas ucapannya.

"Baiklah, aku tau kok tempatnya."

Kenan terus berusaha membuat suasana  mencair.  Tidak peduli keengganan yang Naren tunjukkan. Pun saat sudah di resto Naren hanya memintaku agar memesankan sarapannya,  dia lebih memilih langsung duduk di kursi pengunjung. Aku dan Kenan yang memesan sarapan kami.

Setelah beberapa lama aku dan Kenan menuju tempat duduk yang sudah ditempati Naren terlebih dulu.

"Ini sarapanmu." Aku mendorong nampan berisi sandwich dan segelas susu ke hadapan Naren setelah sebelumnya mengambil sarapanku.

Naren membuka dan mengintip sandwich yang aku pesan untuknya. Lantas senyumnya terbit.

"Kamu memang selalu tau apa kebiasaanku."

Itu bukan pujian kan? Tapi kenapa hatiku berbunga-bunga? Sial.

"Aku nggak nyangka,  ternyata lo masih suka susu." Kenan terkekeh.

"Memang ada apa dengan susu?  Itu lebih sehat dari pada kopi." Naren menunjuk cangkir yang ada di tangan Kenan.

"Memang sih,  tapi sehari tanpa kopi rasanya ada yang kurang buat gue."

"Hanya soal kebiasaan saja."

"Jadi, Naren, kenapa lo bisa ada di Surabaya?  Apa lo sengaja mencari Kanya dan menemukannya di sini?"

Apa maksud Kenan menanyakan hal itu pada Naren? Diam-diam aku melirik Naren dari balik cangkir teh yang sedang kuteguk.

"Apa itu perlu gue ceritain?"

"Perlu dong. Lo nggak tau sih perjuangan Kanya selama ini,  apalagi sejak dia merasa tersingkirkan."

Aku tidak tahu kenapa Kenan tiba-tiba jadi secerewet ini. 

"Maksud lo?"

"Maksud gue, setelah sekian tahun dia berusaha menata hatinya hingga menjadi seperti sekarang kenapa lo tiba-tiba muncul lagi? Luka yang lo buat sudah tertutup,  tapi kemunculan lo bisa membuat lukanya terbuka kembali."

"Kenan," tegurku. Kenan hanya melirikku sekilas dan tatapan tenang yang biasa aku lihat, tidak ada pada netranya sekarang.

Naren mengepalkan tangannya, menatap lurus pada Kenan. Kedua laki-laki itu seolah saling menabuhkan genderang perang.

"Ka-Kalian sebaiknya lanjutkan makan saja. Aku nggak mau ada percakapan selagi makan." Aku menatap keduanya bergantian. "Kenan please, hentikan ini semua."

Suasana berubah jadi dingin. Pengendalian diri Kenan sedang tidak baik. Mungkin dia lelah karena perjalanan  tadi.

"Kanya, aku sudah sarapannya. Apa kamu mau nambah?"  tanya Kenan mengalihkan perhatiannya padaku. Aku menggeleng.

"Kalo gitu sebaiknya sekarang kita ke penginapanku saja." Dia berdiri, menungguku agar aku ikut beranjak. Takut-takut aku melirik Naren. Mukanya masih memerah, tangan kirinya masih terkepal sedang yang kanan mengenggam gelas susunya kuat-kuat. Selang beberapa detik,  dia menandaskan isi gelasnya.

"Ayo, Kanya." Kenan mengulurkan tangannya. Aku hampir saja menyambut uluran tangan Kenan saat tiba-tiba Naren bersuara.

"Kanya tidak akan kemana-mana." Dia berdiri menatap Kenan. Keduanya menjulang saling berhadapan.

Aku mencium sesuatu yang tidak baik di sini. Dan merasa bingung apa yang harus aku lakukan untuk menghadapi keduanya.

PS. Halooo Gaes... Ketemu Naren-Kanya lagi. Uwuu... Teng kyu yaa yg udah baca sampe bab ini.

Jangan lupa dukung trs cerita ini dengan tap bintang, ulasan, komen, serta powerstone kalian hehe.

Jangan lupa juga masukn Naren-Kanya ke koleksimu. See you... 😉😘