Chereads / Prince Charming Vs Gula Jawa / Chapter 12 - Part 11

Chapter 12 - Part 11

NAREN

Aku mengerang kesal. Bukan ini yang aku harapkan di hari aku dinyatakan lulus oleh dosen penguji. Bukan ini yang aku inginkan saat aku akan pergi ke luar negeri untuk melanjutkan study.

Aku tidak menyangka saja beberapa hari keanehan yang Kanya lakukan berakhir dengan tindakannya yang ingin putus dariku.

Jelas ini hanya salah paham. Kanya melihatku berciuman denga Alisya saat di Karimunjawa. Astaga! Aku meremas rambutku jengkel. Merutuki kebodohanku. Harusnya aku menyadari itu dari awal. Aku terlampau tenang karena kukira Kanya tidak akan pernah tahu apa yang terjadi, aku pikir hal itu tidak perlu aku beritahukan padanya. Menurutku itu tidak terlalu penting. Tapi lagi-lagi dia seperti boom waktu.

Aku yakin beberapa hari setelah itu, dia berusaha menekan amarahnya padaku agar tidak meledak saat itu juga. Alasan dia tidak ingin liburan denganku, alasan dia menolak sentuhanku, dan alasan dia seolah menjaga jarak denganku. Ya Tuhan! Aku sudah menyakitinya tapi sumpah niatku tidak seperti itu.

Kanya tidak tahu betapa rumitnya perempuan yang bernama Alisya itu. Ah! Sialan! Aku merasa sudah dijebak. Melihat perempuan itu ada di pulau bersama Kanya, aku sudah memiliki firasat yang tidak menyenangkan. Dan see? Semuanya berakhir seperti ini.

Tidak, ini belum berakhir. Kanya harus mau mendengarku. Kehilangan Kanya adalah mimpi buruk. Aku tidak mau itu terjadi.

KANYA

Meyakinkan diri sendiri agar tidak menyesali keputusanku. Seperti yang Silvi bilang, soal ciuman itu bisa saja Alisya yang melakukannya dulu. Aku hampir saja mau menerima itu, tapi mendengar Naren yang ternyata membalas ciuman perempuan itu, tidak mungkin rasanya dia melakukannya secara impulsif.

Mau memberi penjelasan apalagi? Mau bilang kalau dia tidak sadar melakukannya? Aku bukan gadis kecil lagi yang bisa dia bohongi. Bagiku tindakan Naren sudah terlampau jauh. Jika tidak karena ada sesuatu mustahil dia bisa berbuat seperti itu. Menghianati perempuan yang katanya sangat dia cintai. Bullshit.

***

Silvi melotot saat melihatku berdiri dengan sebuah ransel besar di punggung tepat di depan pintu kamar kostnya. Tanpa dipersilahkan, aku ngeloyor masuk ke dalam kamarnya. Menjatuhkan ransel yang lumayan berat membebani punggungku. Pegel juga. Silvi masih melotot, kali ini dia bersedekap tangan menghampiriku.

"Lo apa-apaan? Bawa ransel ginian ke kostan gue. Minggat dari rumah lo ya?"

Aku cuma nyengir. Kemana lagi aku harus kabur selain kostan dia? Hanya Silvi satu-satunya teman cewek yang dekat denganku. Ada sih lainnya beberapa, tapi aku tidak akrab dengan mereka.

"Gue nginep beberapa hari ya di sini. Gue bayar kok, beneran."

Silvi menayun-ayunkan tangannya. "Masalahnya kenapa lo kabur begini?"

"Gue males ditanya macem-macem sama orang rumah."

"Emangnya lo habis ngapain?"

"Mph ... " aku mengarahkan kedua telunjuk tanganku ke kedua lubang telingaku dan menyumpalkannya di sana. "Gue putus sama Naren."

"Whatttt?!!!!!!!!!"

Hufht, untung aku sudah antisipasi teriakan yang bisa-bisa memecahkan gendang telinga. Menyangkut soal Naren reaksi Silvi akan selalu berlebihan.

"Lo sinting? Lo bego?! Kan gue udah bilang , lo harus pertahanin Naren dari si barbie centil itu. Masa lo malah nyerah gitu aja?! Percuma gue support hubungan lo."

Harusnya memang aku tidak datang ke tempat Silvi, ke penginapan aja sekalian. Pun di sini aku mendapat omelannya. Sebenarnya orang rumah belum tahu aku putus dengan Naren, tapi aku yakin mereka akan segera tahu. Naren masih terus menemuiku di rumah. Berusaha membujukku agar mau mendengarnya.

"Mending lo sekarang temuin Naren dan bilang sama dia nggak jadi putus."

"Igh! Nggaklah. Lo kira keputusan gue main-main. Gue benci dikhianati."

"Kan gue udah bilang bisa saja si Alisya yang nyosor duluan."

"Tapi Naren membalasnya."

"Oh membalasnya." Silvi mengangguk paham. Sejurus kemudian dia terperangah. "Apa?! Membalasnya?!"

Aku mengangguk lantas merebahkan diri di satu-satunya tempat tidur di kamar ini.

"Selama ini gue selalu percaya sama dia. Tapi mendengar dia bilang begitu kok rasanya nyesek yaa? " ujarku menatap langit-langit kamar. "Gue nggak pernah aneh-aneh. Satunya cowok yang nyentuh gue ya dia. Tapi dia malah main sosor seenaknya sendiri."

Silvi duduk di sampingku menatap penasaran ke arahku. "Emang lo udah diapain aja sama prince charming?"

Aku menatap Silvi malas. Anak ini pikirannya pasti sudah mulai ngawur.

"Kepo!" aku membalikkan badan menyamping menghadap tembok memunggungi Silvi yang rautnya berubah cemberut.

"Cerita dikit kan nggak apa-apa Kan. Gue penasaran aja. Eh-eh ... gimana sih rasanya ciuman sama prince charming? Gue bener-bener suka liat bibir merahnya, gemes gitu. Kalo dicium pasti manis."

"Gue mau tidur. Nggak mau ngomongin hal yang nggak penting kayak gitu."

Kurasakan Silvi mendorong pundakku gemas. Tapi dia membiarkanku tidur juga.

***

Aku memutuskan langsung pergi ke kampus. Saat bangun tadi, Silvi sudah tidak ada di kamar. Mungkin dia sedang berada di workshop. Dari kemarin aku belum sempat mengaktifkan ponselku. Setelah mendapat izin dari ibu aku langsung bergegas pergi ke kostan Silvi.

Dan saat aku menyalakan ponsel puluhan notif masuk. 50 panggilan tak terjawab dari Naren, dua dari ibu dan satu dari mas Bagas. Belum lagi pesan-pesan WA saat sejenak aku menghidupkan paket data. Tanpa mau membacanya, aku mematikan ponselku lagi. Aku tidak ingin diganggu. Malas menanggapi apapun.

"Idih, ini dia! Cewek sok kecakepan yang berani mutusin Naren."

Baiklah,  tebalkan telinga Kanya.

"Astaga! Gue kira cantik banget eh nggak taunya lebih cantik pembokat gue."

Sabar Kanya.

"Sok-sokan mutusin cowok ganteng. Lagian Naren bego sih mau-maunya jalan sama cewek model begitu. Cantikkan gue kemana-mana lah yaw."

Emang model lo kayak apa???

"Yaelah cewek kaya gitu aja belagu. Dia pikir dia siapa?!"

Gue Kanyalah dodol.

Sumpah, aku paling malas menghadapi manusia model seperti ini. Aku pacaran dengan Naren salah, putus juga salah. Kalau aku menuruti setan yang ada dalam hatiku sudah bisa dipastikan akan ada perang adu mulut yang tidak terelakkan. Dan aku tidak ingin membuang-buang waktuku untuk hal konyol seperti itu.

Selain Silvi, aku tidak memberitahukan pada siapapun soal kandasnya hubunganku dengan Naren. Tapi kenapa gosipnya cepat sekali menyebar? Aku hanya menarik napas dalam-dalam saat melewati gerombolan orang nyir-nyir barusan. Meladeni mereka itu artinya aku sama-sama gila.

Tujuanku semula adalah menyusul Silvi ke workshop DKV tapi langkah kakiku membawaku ke wilayah berkumpulnya anak-anak klub wall climbing. Beban yang menumpuk di dada harus tersalurkan segera caranya adalah ....

"Woy! Siapa yang mau tanding sama gue naik ke atas?!"

Seluruh kepala yang ada di sana menengok mendengar teriakanku. Dengan langkah kesal aku menghampiri Odi yang sedang membawa hardness.

"Ayo, siapa yang mau lawan gue?"

Tidak ada suara. Mereka malah melongo melihatku.

"Kenapa pada diem?!"

Dan tak lama kemudian mereka saling tunjuk. Pemandangan menyebalkan apalagi ini?

"Oke, kalo nggak ada yang mau gue tunjuk acak. Lo!" tunjukku pada salah satu anak yang aku ketahui bernama Ran, anak fakultas tehnik. Seketika kulihat wajahnya pias.

"Kok gue? Kak Odi ajah tuh!"

"Lah, lo yang ditunjuk," elak Odi langsung.

"Gue mah belum bisa apa-apa Kak Kan,  beneran."

Aku berdecak.  "Cemen kalian semua!"

"Udah Ran, maju aja sana. Nggak bakal mati juga."

Akhirnya Ran menerima tantanganku dengan wajah pasrah. Kebiasaanku kalau sedang badmood sudah terbaca oleh mereka.

Wajah-wajah yang bikin moodku anjlog seketika akan pecah saat aku sudah berhasil menyentuh puncak dinding.