Ana menarik Amel kedalam pelukannya. Akbar menyembunyikan mereka dibawah meja kamar Gavin dan Amel. "Ada apa sih? Gavin gimana?" Panik Amel. Akbar mengusap wajah Ana lalu memegang wajah saudaranya.
"Bukan waktunya gua ceritain ke elo. Sekarang, jaga diri lo, sama jagain Ana." Amel mengangguk anggukan paham, meski panik karena di bawah seperti ada kerusuhan, tapi dia mencoba tenang untuk membantu membuat Ana tidak takut.
"Sayang, jaga anak kita oke? Sebentar aja." Akbar mengaktifkan mode kedap suara dan menutup pintu dengan kunci.
Amel dan Ana saling tatap dan saling berpegangan. Mereka tidak berani keluar meski pintu kamar sudah terkunci. Amel dan Ana benar benar duduk sambil berhadapan. Untung kolong meja yang ada di kamar milik Gavin dan Ana cukup besar, sehingga Amel dan Ana tidak perlu sempit sempitan, apalagi tinggi mejanya yang tentu tidak membuat Amel dan Ana terbungkuk bungkuk.
"Semuanya bakal baik baik aja Na," Ucap Amel berusaha membuat Ana tidak khawatir dengan apa yang terjadi, meskipun dia juga ikut panik.
"Iyaa, semuanya bakal baik baik aja," ucap Ana dengan wajah penuh keyakinan.
***
Sementara itu, Gavin dan Akbar bersembunyi di balik kamar tamu yang ada di lantai dua.
"Sempet ada tembakan?" Tanya Akbar.
"Iyalah anjir! Itu tembok sultan gua udah rontok, lu ga liat?" Tanya Gavin dengan kesal.
"Santai aja sih borr, tembok atau pilar lu mah ga ada apa apanya buat lo. Duit seabrek abrek jugaan," jawab Akbar.
"Apaan? Seabrek abrek pala lu!" Balas Gavin.
"Gausah merendah untuk direndahkan ya? Nanti gua jual ginjal lu biar kaya baru tau lu!" Balas Akbar.
BRUK!
"Anjim!" Umpat Akbar.
"AWAS!!" Gavin dengan spontan menarik Akbar.
Pintu itu tiba tiba terbuka lebar. Orang orang dengan topeng hitam itu menatap Gavin dan Akbar bergantian. Gavin masih memegangi Akbar, takut takut Akbar menjadi bahan sandera.
"Siapa kalian?" Tanya Gavin. Salah satu dari mereka hanya melemparkan sebuah kotak dan berlalu begitu saja. Gavin dan Akbar menjatuhkan rahangnya ketika mereka sudah berlalu.
"Gitu doang?" Tanya Gavin.
"Anjir." Gavin menjambak rambutnya dengan gemas.
"Bangke banget dah!" Umpat Akbar.
"Lu tau ga sih bar?" Akbar mengangkat kepalanya seolah bertanya 'kenapa?'
"Gua tadi udah keren keren ngindarin peluru kek di pilem pilem anjroottt!" Cerita Gavin. Akbar menggeleng gelengkan kepalanya.
"Gua udah bicara sama si Ana kek udah mau mati di medan perang anjritt!" Gavin dan Akbar sama sama menatap kotak itu dengan tatapan bingung.
"Buka?" Tanya Akbar.
"Gass lah!" Balas Gavin. Mereka berdua mengambil kotak itu dan membukanya secara perlahan.
"Gua rasa mereka buat konten youtube," ucap Gavin.
"Kira kira judulnya apa?" Tanya Akbar. Gavin menatap ke arah Akbar, dan Akbar menatap Gavin dengan tatapan tanya.
"KIRIM KADO ISI BAJU BAYI DENGAN GAYA TERORIS. Sampai rusakin PILAR dan TEMBOK SULTAN!!!!" Ucap Gavin dengan gaya ala youtuber.
"Terus kira kira penontonnya berapa?" Tanya Akbar.
"Ratusan juta," balas Akbar.
"AAMIIN!!!"
***
"Sayang?" Akbar menyentuh pundak Ana yang sedang menutup mata dan memeluk Amel, begitupun sebaliknya.
"Udahan?" Tanya Amel dengan mata bulat yang tampak polos.
"Hah? Kita ga ngapa ngapain sayang, ayo keluar!" Ucap Gavin sambil membantu Amel keluar. Akbar menarik Ana dengan pelan dan memeluknya singkat.
"Mereka cuman mau kirim itu." Ana dan Amel melihat ke arah kasur dan membulatkan matanya.
"Baju baby?" Tanya Ana. Gavin dan Akbar mengangguk.
"Terus? Rumah ga apa apa kan?" Tanya Amel. Gavin dan Akbar menyengir lebar.
"Pintu kamar tamu jebol, terus pilar depan rumah itu ancur gara gara tembakan, terus tembil juga bolong bolong. Untung rumahnya ga roboh, pelurunya cuman nancep!" Ucap Gavin.
"Yaudah yuk turun aja, aku laper." Ana keluar dari kamar di ikuti oleh Akbar.
"Kamu engga turun?" Tanya Gavin. Amel melirik kotak serta baju bayi itu berada. Amel menggelengkan kepalanya.
"Engga," jawab Amel. Gavin mengangguk anggukan kepalanya paham.
"Yaudah istirahat!" Amel mengangguk anggukan kepalanya sambil menunjukan dua jempolnya. Setelahnya, Gavin benar benar hilang dari hadapan Amel.
Amel menghampiri baju bayi yang tidak asing dimatanya. Amel membalikan baju itu dengan pelan pelan. Amel menghembuskan nafasnya, entah mengapa dia gugup.
"Astagfirullah!" Amel dengan spontan melemparkan baju bayi itu ketika melihat angka kembali. Namun, angka ini tercoret di dalam foto kaka tirinya yaitu Daffa. Amel mengambil pulpen dan bukunya yang ada di dalam laci nakasnya.
"173"
***
"Bagaimana?" Tanya seorang laki laki berjas hitam dengan mata yang memandang padatnya kota Jakarta.
"Kami berhasil mengirim paket itu bos," jawab seorang laki laki dengan topeng hitam khas preman.
"Pakai cara?" Tanya laki laki itu.
"Teroris bos," jawab pria itu lagi.
"Hem, baguss, nanti saya akan transfer duitnya," balas laki laki itu. Sekumpulan laki laki bertopeng hitam itu tersenyum puas, lalu segera pergi dari ruangan itu.
"173, aku harap kamu paham."
***
Amel berjalan menuruni tangga dengan pelan. Sampai dibawah, Amel melihat Gavin sedang duduk bermain PS di ruang keluarga.
"Ana sama Akbar mana?" Tanya Amel. Gavin melirik ke arah Amel.
"Pulang," jawab Gavin. Amel mengangguk anggukan kepalanya paham. Amel duduk disamping Gavin sambil memeluk Gavin dari samping.
"Kenapa sayang?" Tanya Gavin. Amel menggeleng sambil menguap lebar.
"Engga apa apa," balas Amel.
"Mau bobo?" tanya Gavin, Amel menggelengkan kepalanya.
"Nanti ajaa," balas Amel.
"Kamu sadar ga sih? Kalau papa adalah papa kandung aku, kenapa pas aku nikah walinya Ayah? Seharusnya pernikahan kita ga sah dong?" Ucap Amel tiba tiba. Gavin yang sedang fokus pada gamesnya memilih mem-pausenya.
"Iya juga," balas Gavin.
"Kita harus tanya Ayah!" Ucap Amel. Gavin menatap Amel.
"Itu dia, Ayah ga ada di rumahnya sayang, aku tanya tanya sodaranya tapi ga ada jawaban." Amel mengkerutkan keningnya heran.
"Aku ngerasa ngeganjal semenjak kepergiannya mama," ungkap Amel. Amel tidak bisa menyimpan kegelisahannya sendirian.
"Yang jelas, kita minta jawaban lewat mama sih sayang," saran Gavin. Amel mengangguk setuju.
"Iya, aku setuju," balas Amel.
"Terus kita ke Jerman lagi?" Tanya Amel, saat sadar mama papanya sudah pulang ke negara asalnya. Gavin menoleh ke arah Amel dengan senyum misterius.
"Hmmm flashbacknya lewat zoom aja!" Seru Gavin. Amel tertawa kecil.
"Mana ada, ngada ngada aja sih kamu!" Balas Amel.
"Yaa kalau balik ke Jerman bikin cape ga sih sayang? Aku males, mau leha leha sama fokus resepsi," keluh Gavin.
"Kita juga belum ngomong konsepnya sama Mama Papa aku sama Mama Papa kamu," ucap Amel.
"Iya juga ya," ucap Gavin.
"Jadi?" Tanya Amel.
"Yaudah sayang," balas Gavin.
"Yaudah apaan?" Tanya Amel.
"Balik ke Jerman buat minta penjelasan."
***