-YOU'RE GOING TO HELL-
"Neraka?"
BRAK!!!
Gavin dan Amel yang tadinya menyenderkan tubuh mereka di kepala ranjang seketika dengan kompak menegakan tubuh mereka ketika bunyi sebuah hantaman yang keras mengani jendela kamar mereka berdua.
"Eh? Apaan itu sayang?" Tanya Gavin sambil berdiri. Amel hanya mengkerutkan keningnya sambil menggelengkan kepalanya dengan mulut bergerak mengucapkan 'Gatau' tanpa suara.
Gavin berjalan menuju arahnya suara. Amel pun mengikutinya di belakang Gavin. Saat sampai di jendela, Gavin membukanya dan yang mereka lihat hanyalah sebuah kotak hitam layaknya paket terjatuh di rerumputan halaman belakang rumah orang tua Gavin dan Amel.
"Udah malem sayang, kamu beli barang? Kok nyampenya ga inget waktu? Ga sopan nih kurirnya!" Gerutu Gavin sambil mengambil kotak itu, dan menutup jendela. Amel memukul pelan pundak Gavin.
"Enak aja! Aku ga beli barang apa apa tau, lagian ya, seharusnya kamu sadar ini ga masuk logika," bantah Amel. Gavin duduk di kasur sambil mengkerutkan keningnya heran.
"Ga masuk logika gimana?" Tanya Gavin penasaran. Amel mendengus kecil dan ikut duduk di kasur tepat di hadapan Gavin. Amel menyilakan kakinya dan menatap Gavin dengan serius.
"Kurir seharusnya bisa kasih paket ke Pak Ibam kan? Terus taman rumah kamu yang luasnya melebihi jidat Ana ga bisa di akses secara bebas kan?" Tanya Amel dengan wajah yang benar benar membuat Gavin gemas.
Tapi apa yang dikatakan Amel memang benar adanya. Rumah orang tua Gavin tidak sembarangan bisa meng-akses. Hanya orang orang tertentu dan yang sudah dikenal lama yang bisa meng-akses lebih jauh. Contohnya taman belakang.
Tujuannya adalah, untuk mencegah orang orang yang memiliki niat jahat pada keluarga Al-Agam tidak bisa menyakiti salah satu dari mereka. Kalau kata Ando "Papa mau mencegah orang orang yang berniat jahat, biar papa kamu sama mama selamat, dan orang jahat jahat itu ga dapat dosa, ya walaupun ada niat sih."
"Bener juga sih," aku Gavin.
"Tapi ini?" Tanya Gavin sambil menunjuk kotak itu. Amel hanya mengangkat bahunya tidak tau.
"Kita buka aja bareng bareng!" Suru Amel. Gavin mengangguk anggukan kepalanya menyetujui permintaan Amel. Gavin membuka nakas laci dari laci atas hingga bawah.
"Biasanya ada gunting di sini," ucap Gavin ketika dirinya tidaj menemukan gunting di laci nakas mana pun. Gavin sudah mencari di nakas sebelah Amel dan di sebelah Gavin.
"Coba sayang disitu," ucap Amel sambil menunjuk meja yang terlihat seperti meja belajar dengan satu laci sedang.
Gavin mengangguk dan segera turun dari ranjang menuju sudut ruangan di mana meja itu berada. Gavin membuka laci itu perlahan lahan, takut takut gunting itu tidak ada.
"AHAA!" Pekik Gavin dengan girang. Senyum Gavin langsung terbit ketika menemukan gunting di dalam laci yang berada di sudut ruangan.
"Ketemu?" Tanya Amel. Gavin mengangguk dan segera mengambil gunting itu dan menuju ke arah Amel.
Gavin dan Amel membuka kotak itu dengan gunting yang di temukan Gavin. Amel tentu membantunya dengan memegangi kotak itu saat bungkusnya di gunting.
"Ahh, capek bangett, akhirnya berhasil menemukan dasar lapisan," keluh Gavin. Amel mengangguk anggukan kepalanya setuju.
"Tebel gara gara plastik, aku pikir isinya rice cooker," jawab Amel. Gavin terkekeh kecil.
"Aneh aneh aja kamu ish!" Seru Gavin. Amel hanya menyengir tanpa dosa.
Gavin dan Amel mempusatkan perhatian mereka kembali sepenuhnya pada kerdus itu. Amel memegangi kotak kardus itu dan Gavin memotong solatip yang merekat di kardus.
"Buka!" Pinta Gavin. Amel membuka-nya dan menembukan sebuah kotak lagi. Amel mengangkatnya dan memberikan kepada Gavin.
Gavin menerimanya dan muka sibuk dengan kotak yang ada di dalam kardus itu. Saat Amel ingin menyingkirkan kardus yang dia pikir sudah kosong, niatnya Amel urungkan.
Mata Asia milik Amel menangkap sebuah amplop hitam dengan corak berwarna merah maroon. Amel buru buru meletakan kardus itu dibawah dan meletakannya di kolong ranjang sebelum Gavin melihat.
"Ya allah!" Pekikan Gavin membuat Amel mengalihkan fokusnya ke arah Gavin. Gavin terlihat mengangkat sebuah barang yang membuat Amel harus berkali kali menahan tawa.
"Boneka doang?" Tanya Amel. Gavin mengangguk anggukan kepalanya. Amel mengambil kardus itu dan melihat isinya.
Kosong.
Isinya memang kosong, yang ada hanya boneka berwarna coklat bergambar rusak yang bertulisnya, 'Monday'. Gavin meletakan boneka itu dan mengambil laptopnya.
"Aish! Malam malam bikin panik, ternyata kurir nyasar ngirim paket boneka badak!" Kesal Gavin. Amel hanya terkekeh dan menyimpan boneka itu ketempatnya dan memasukan ke dalam kota yang sempat dia letakan di kolong.
Amel melanjutkan pekerjaannya hingga tidak mengingat sampai jam berapa dia bekerja. Amel melepas kaca matanya dan menyimpan bukunya lalu mematikan lampu tidur yang ada di nakas sebelahnya.
Amel menoleh ke arah Gavin yang ternyata sudah tidur dengan ponsel yang sudah menampilakan layar gelap karena terlalu lama di diamkan menyala.
Amel meletakan ponsel Gavin di atas nakas untuk di isi baterainya. Lalu Amel menidurkan tubuh Gavin dengan nyaman, agar Gavin tidak sakit saat bangun di paginya.
Amel mulai ikut merebahkan tubuhnya senyaman mungkin. "Time to sleep," gumam Amel. Saat matanya mulai terpejam, bayang bayang kardus itu tiba tiba melintas di kepala Amel.
Amel terduduk dan mengedarkan pandangannya. Amel memperhatikan tidur Gavin yang sepertinya sangat nyenyak. Karena, Amel sendiri mendengar Gavin mendengkur dengan jelas.
Amel langsung turun dari ranjang dengan pelan pelan dan duduk di lantai. Amel menarik kardus yang di letakan di kolong ranjang yang ada di kamar tamu rumah orang tua Gavin.
Amel mengambil amplop itu dan membukanya. Amel menemukan sebuah angka yang dia temukan di bandara.
"11.34," gumam Amel.
Amel melihat tulisan paling bawah, dan dia menemukan sebuah tulisan yang membuat dia terkejut.
—goodbye:)
Amel buru buru melipat kertas itu dan menaruh kembali barang barang itu seperti semula.
Saat sudah selesai, Amel melihat jam yang masih terpasang rapih di lengannya. Tiba tiba Amel merasakan seseorang berdiri di belakangnya. Amel berusaha mengelak kalau itu hanyalah imajinasinya.
"Plis, go away!" Gumam Amel dengan suara lirih.
Mata Amel mulai berkaca kaca, karena takut dengan kejadian kejadian serta kemungkinan kemungkinan yang masuk kedalam kepalanya. Amel melihat jam yang masih terpasang rapih di lengannya.
Amel menekatkan dirinya untuk menoleh ke belakang dalam posisi duduk. Dengan perlahan dan jantung berdebar, kepala Amel menoleh ke arah belakang untuk mengetahui orang yang berdiri di belakangnya.
Saat berbalik, Amel melihat sebuah siluet hitam lewat cahaya bulan yang masuk lewat jendela. Hanya kaki, dan Amel akan mencoba untuk mendongak untuk siapa yang ada di belakangnya ini.
Amel perlahan mulai mendongakan kepalanya dan—
"AAAAAKKKKHHHHHHHHH!!!!!"
***