Aya terbangun dengan nafas yang tersengal-sengal. Ternyata Aya masih memiliki kutukan mimpi kematian itu dan kali ini adalah giliran Erna. Suster yang Tian beri mandat untuk menjaga Aya.
Mimpi di mana Aya bisa hidup normal di Jepang itu tidak akan pernah menjadi kenyataan. Aya tetap memiliki mimpi-mimpi menakutkan itu. Perlahan air mata Aya mulai mengalir dengan deras.
Aya memeluk dua kakinya yang tertekuk, mengabaikan bekas jahitan yang baru saja di perbarui. Aya mengusap dan terus mengusap, air matanya terus mengalir dan enggan berhenti.
Ayah. Aya merindukan ayahnya. Aya butuh sebuah pelukan penenang dari ayahnya. Aya butuh ayahnya untuk berada di sini.
Sekarang Aya harus apa?
Benar jam tangan pemberian ayahnya. Di mana jam tangan itu? Aya harus segera mencarinya.
Tok!Tok!
Aya segera menyeka air matanya, kemudian menyelonjorkan kakinya dan merapikan selimutnya yang berantakan. Pintu terbuka dan menampilkan sosok yang sudah Aya tolong terakhir kali. Kevin. Dia masih hidup dan masih berjalan dengan tegak di hadapan matanya.
"Maaf baru ke sini sekarang Ya, aku baru dengar kalau sudah sadar." Ucap Kevin sembari menaruhkan bingkisan buah di atas nakas. Kemudian duduk di sebuah kursi yang ada di samping ranjang.
Aya hanya terdiam, otaknya sedang berantakan begitu pula dengan penampilannya.
"Iya, enggak apa-apa Pak." Kevin tersenyum mendengar panggilan yang Aya lontarkan padanya. Aya benar-benar membuat tembok tinggi di antara mereka.
"Terima kasih sudah menolong saya. Maaf juga keran itu kamu jadi seperti ini."
"Ini keputusan saya sendiri, bapak tidak perlu menyesalinya."
"Tetap saja, kamu melakukan ini pasti karena saya." Aya tersenyum kecil, yang benar adalah karena Aya sendiri. Jika bukan karena mimpi yang Aya dapatkan Aya tidak mungkin melakukan hal itu.
"Sekali lagi terima kasih."
Krieeeet!
Pintu terbuka dan dua wajah yang tidak asing menghampiri Aya dengan terburu-buru.
"Aya!" Teriak Wati, wajahnya berkerut, di sudut-sudut maniknya sudah siap meluncur ribuan mililiter air.
Dengan cepat Wati menghujani Aya dengan pelukan yang erat. Wati menangis sejadi-jadinya.
"Ssst, kenapa nangis?" Aya berusaha menenangkan Wati. Aya berkali-kali mengelus punggung Wati untuk menghantarkan ketenangan.
Aya tersenyum dan mengangguk mendapati Verdi berdiri di belakang istrinya. Fokus Aya kembali beralih pada Wati yang masih betah menangis.
"Wat, mending sekarang Lo berhenti nangis." Peringat Aya.
"Lo nyuruh Gue buat berhenti nangis Ya? Di saat Gue khawatir? Gue takut Lo ninggalin Gue kayak Citra ninggalin kita." Ah, Aya jadi ingat Citra. Sama seperti orang-orang ini, Citra merupakan sosok terhangat yang pernah Aya temui. Sekarang, bagaimana mungkin Aya tega membiarkan orang-orang ini mati karena mimpi darinya? Aya tidak bisa. Setelah ini Aya harus benar-benar pergi.
"Ini semua gara-gara Tian yang bungkam dan enggak mau kasih kita kabar kalau Lo udah sadar." Gerutu Wati setelah melepaskan pelukannya pada Aya. "Rian juga baru bicara setelah Verdi yang ancam." Lanjut Wati kemudian menangis lagi, kali ini menangis sambil duduk di tepi ranjang.
"Gue gak tahu apa yang bakal Gue lakuin kalau Lo benar-benar pergi Ya." Aya tersenyum, jika mengingat dunia dongeng. Sebuah dongeng yang menceritakan bahwa anak dengan kemampuan istimewa seperti Aya akan di asingkan. Sedangkan Aya, ia memiliki banyak orang di sisinya. Tapi karena hal itu mimpi kematian terus saja bermunculan.
"Pak Kevin, maaf ya. Bapak malah harus melihat yang seperti ini." Ucap Aya, setelah mengingat masih ada orang di sampingnya.
"Tidak apa Ya. Teman?" Tebak Kevin, belum sempat Aya menjawab Wati sudah lebih dulu membelalakkan matanya sambil menyerobot pertanyaan itu.
"Kevin siapa itu Ya?"
"Perkenalkan Pak, ini Bu Wati atasan di perusahaan saya."
"Astaga! Maaf pak. Saya enggak sadar ada orang di sini. Saya malah menunjukkan sisi saya yang seperti ini."
"Tidak perlu malu. Wajar jika mengkhawatirkan seorang teman. Saya juga ingin memeluk Aya, tapi saya sadar posisi saya." Ucap Kevin sembari melirik ke arah Aya. Menyadari suasana tidak enak itu wati segera mengalihkan pembicaraan mereka.
"Oh iya pak, ini suami saya. Namanya Verdi."
"Verdi." Verdi mengenalkan dirinya.
"Wajahnya tidak asing, salah satu pemilik barnd besar ya?" Tebak Kevin dan di sambut senyuman oleh Kevin.
"Ya, saya dulu pemilik club malam terbesar di kota ini. Sekarang saya sudah beralih profesi."
"Profesi apa?"
"Sama, masih pebisnis. Cuman bisnis yang lebih halal, saya ingin memberi istri saya dengan uang yang berkah."
"Bisa kita lanjutkan di luar. Sepertinya dua wanita ini masih ingin banyak berbincang."
Verdi mengangguk, kemudian mengecup kening istrinya dengan cepat. Berpamitan keluar bersama Kevin.
"Kayaknya Pak Kevin suka sama kamu Ya." Ucap Wat cepat setelah kedua orang tadi keluar dan setelah memastikan pintu kamar Aya tertutup dengan rapat. Jangan sampai ada yang mendengar percakapan mereka ini.
"Bukan urusan aku." Cuek Aya.
"Kenapa? Tian?"
"Iya, Tian udah lamar aku." Wati mengatupkan kedua tangannya pada mulutnya yang menganga.
"Beneran? Serius? Kapan?"
"Pas aku sadar." Wati jingkrak-jingkrak bagai anak kecil yang di perbolehkan makan es krim oleh orang tuanya.
Aya menatap orang yang dulu sempat di hormatinya sebagai atasan itu dengan datar. Sebenarnya siapa di sini yang mendapat sebuah lamaran?
Tunggu, mungkin Wati memang tidak pernah mendapatkannya karena ia menikah dengan perjodohan. Dan ya, sekarang merasa exited saat Aya yang mendapatkannya.
"Tapi bukan itu yang penting sekarang." Ucap Aya, menghentikan kesenangan yang baru di dapatkan oleh Wati.
"Ada apa Ya? Apa yang lebih penting dari lamaran seorang Tian yang Aya terima?"
"Aku dapat mimpi Wat." Wati berhenti mengoceh, raut kesenangannya berubah memucat dalam sekejap.
"Mimpi tentang siapa Ya?"
"Tentang suster Erna."
"Siapa dia? Suster di sini?"
"Iya, di suster yang Tian mintai khusus jagain aku. Di mimpi itu suster Erna paksa Tian buat ke rooftop rumah sakit ini....terus..." Wati masih menyimak. Aya terdiam, akhirnya memutuskan untuk melompati adegan yang sangat Aya benci itu. Di mana Tian di paksa untuk menerima ciuman dari Erna.
"Terus, Erna jatuh dari atas sana. Tianlah yang di tuduh sudah dorong Erna. Kamu tahu Erna cucu pemilik rumah sakit ini, jadi mungkin kalau mimpi itu benar menjadi kenyataan. Tian akan di penjara. Dan pernikahanku sama Tian, tidak akan pernah terjadi."
"Ya, itu gawat. Kamu harus peringatkan Tian buat enggak dekat-dekat sama suster itu."
"Aku..." Ucapan Aya terpotong saat pintu terbuka.
"Ya, aku.. eh ada Wati. Verdi mana?"
"Sialan Lo Yan! Lo gak kasih tahu Gue kalau Aya udah siuman."
"I'm so sorry. Gue enggak sempet."
"Kenapa, sibuk sama suster ya?" Sindir Wati, hal itu membuat Tian menatap Aya penuh tanda tanya.
"Ini Gue baru mau keluar sebentar sama suster itu. Dia mau survey tempat."
"Tempat apa?" Tanya Aya yang membuat Tian tergagap.
"Ya tempat aja."
"Yan, gue peringatin. Mending Lo jauhin suster itu kalau Lo memang Lo serius sama Aya."
"Sebentar aja Ya, please.." Mohon Tian, tapi melihat Aya tiba-tiba menangis membuat Tian kebingungan.
"Jangan pergi." Lirih Aya di sela tangisnya. Tian mengusap rambutnya kasar, kemudian melangkahkan kakinya mendekat pada Aya. Tian memeluk Aya dengan erat, mengelus rambut Aya dan mengecup pucuk kepala itu berulang kali.