Kegiatan Aya menggambar di atas layar lebar-nya terhenti saat sebuah tangan melingkar di perutnya. Aya membenarkan letak kata matanya yang miring, kemudian memukul ringan tangan nakal itu.
Siapa lagi pemilik tangan nakal itu jika bukan Tian? Tunangannya yang sebentar lagi akan meresmikan hubungannya dengan Aya.
Aya mengerang kesal saat melihat ada sebuah coretan di wajah ayu karakternya karena ulah Tian tadi.
"Tian, lihat ini!" Tian mengeratkan pelukannya dan menyandarkan kepalanya di bahu Aya. Aya ingin memukul makhluk di belakangnya ini, tapi sialnya pelukan Tian mampu meluluhkan kemarahannya.
"Kan tinggal di undo aja Ya." Aya memutar bola matanya malas saat suara berat Tian dengan mudahnya mengatakan undo, yang semakin mengesalkan bagi Aya adalah saat Tian mengakhiri ucapannya dengan kecupan singkat di pipi.
"Jangan ganggu aku Yan." Peringat Aya, Aya terlalu malas jika menunda pekerjaan. Terlebih saat sudah memasuki proses pewarnaan.
"Kenapa? Bukannya kamu janji hari ini kita mau fiting baju pernikahan? Kamu malah gambar terus." Keluh Tian saat Aya kembali mengutak-atik layar lebar itu.
"Sebentar aja Yan. Paling cuman dua tiga jam kalau kamu gak ganggu." Tian tersenyum kecut.
"Padahal aku udah cuti sehari demi kamu." Aya mengangkat kedua alisnya heran.
"Bukannya karena job lagi sepi?" Tian memencet hidung Aya dengan gemas, hingga wajah Aya memerah karena kesulitan bernafas.
"Tian!" Aya memukul tangan Tian dan menusuk tangan itu dengan pen digital yang di pegangnya, agar Tian mau melepaskannya.
Tian melepaskan tangannya dan mengangkat tubuh Aya hingga gadis itu berdiri. Seketika Aya memegang kepalanya yang pusing akibat kelamaan berdiri.
"Tunggu sebentar lagi Yan. Aku janji selesai ini kita langsung berangkat."
Tian menghela nafasnya perlahan, menolak keinginan Aya adalah hal yang tidak bisa Tian lakukan.
"Oke, jangan lama-lama." Purus Tian akhirnya, namun dengan sedikit tidak rela. Tergambar jelas raut Tian yang sedang menahan menahan kekesalannya.
Sontak Aya mendekatkan tubuhnya ke Tian, tanpa aba-aba menjatuhkan pelukan pada bayi besarnya. Aya punya cara sendiri agar Tian tidak marah padanya.
"Sabar, kalau kamu mau bersabar semua pasti bakal terlewati dengan indah." Ucap Aya sambil memberikan kecupan-kecupan di rahang tegas Tian.
Tian yang tidak bisa menahan kekesalannya, langsung menangkup wajahnya dan melumat bibirnya tanpa permisi.
Tidak lama, hanya beberapa kali lumatan seperti yang biasa mereka lakukan. Lalu setelah itu barulah Aya bisa merasakan bahwa Tian membaringkan tubuhnya dengan senyuman di bibirnya.
Kemudian Aya segera melanjutkan pekerjaan yang tertunda.
*
Aya melangkahkan kakinya dengan perlahan, takut terjatuh karena tersandung gaunnya sendiri. Pasti itu sangat lucu.
Tidak. Ini bukan fitting pakaian. Ini adalah hari-h pernikahannya bersama Tian.
Saat ini Aya tengah melangkah menuju panggung resepsi, setelah tadi lebih dari satu jam duduk untuk mendengar Tian mengucap namanya dan di akhiri dengan kata sah.
Gaun putih yang Aya kenakan menjuntai indah bagaikan gaun yang di kenakan putri kerajaan yang Aya tonton sewaktu kecil. Sepatu berhak tingginya, membuat langkahnya semakin melambat karena berhati-hati. Membuat Aya dapat merasakan setiap momen dan setiap detik debaran jantungnya melihat Tian berdiri di sana.
Dengan gaun yang minimalis ini, Aya bahkan merasa sangat panas di musim dingin ini. Tak dapat di ukur lagi seberapa besar kebahagiaannya.
Tangan Aya meraih tangan Tian yang terulur ke arahnya, membantu Aya naik ke kursi kebesaran pasangan pengantin. Acara resepsi ini di gelar dengan mewah, namun hanya di hadiri sedikit orang yang mereka kenal, hanya orang terdekat mereka saja.
"Selamat bro." Ujar Yuda datang bersama dengan teman-teman Tian yang lain.
"Selamat Aya. Jangan sakit-sakitan lagi. Aku gak bisa kalau di suruh Tian bolak-balik Jepang-Indo terus-terusan." Aya terkekeh mendengar keluhan Rian, sang dokter yang beberapa kali sempat merawat Aya.
"Satu lagi teman lajang yang berkurang. Jojo gak bisa datang, istrinya lahiran." Ucap Andi menyapa kedua mempelai.
"Habis ini gantian Aya dong." Histeris Yuda.
"Ya-iyalah bego!"
"Permisi.." Agus menyela di antara teman-temannya dan berhenti di hadapan Aya dan Tian.
"Kalian berdua, kalau lagi ehem.. jangan lupa baca bismillah. Biar yang keluar anak manusia."
"Lo kira Tian apa?" Tanya Rian kesal.
"Buaya." Jawab Agus enteng, seketika Andi dan Yuda membekap mulut Agus, kemudian menyeret anak itu pergi dari sana. Rian-pun tersenyum ke arah Aya dan Tian kemudian pamit undur diri mengikuti ke tiga teman-temannya.
Lalu datanglah Angel, Meira dan Vano. Hanya obrolan kecil dan singkat yang terjadi. Tak lama mereka mencari keberadaan Yuda, karena sebenarnya Yuda yang telah menyeret ketiganya menuju Jepang.
Kemudian datanglah Wati dan suaminya Verdi. Ada seorang anak berumur satu tahun dalam gendongan Verdi, anak itu sangat lucu menurut Aya. Namun karena Aya yang tidak tahu cara bergaul dengan anak kecil, membuat anak dalam gendongan Verdi menangis.
Lantas Verdi membawa pergi anak mereka untuk mencari sesuatu yang dingin. Ya, apalagi jika bukan ice cream?
Aya menarik lengan Wati mendekat ke arahnya. Ada satu hal yang sedari tadi mengganggunya.
"Wat, kok temen-temen Tian bilang kalau Tin itu buaya ya? Padahal Tian gak pernah deket sama cewek lain selain aku."
"Oooh, kamu gak tahu Ya? Selama dia belum susulin kamu ke sini dia kayak buaya beneran loh, goda cewek sana-sini. Ada satu yang paling nempel, suster cantik." Bisik Wati sepelan mungkin agar Tian tidak mendengarnya. Dengan senyum jahil, Wati meninggalkan keduanya.
Aya menatap tajam Tian yang ada di sampingnya, sial ingin marah tapi Aya tidak bisa. Tian terlihat sangat tampan sekarang.
"Yan, nanti malam kamu tidur di luar ya?" Ucap Aya sembari menunjukkan senyuman termanisnya.
"Apa maksudnya sayang? Kan malam pertama, kalau di luar nanti gak bisa main suster-susteran sama kamu." Aya mendelik.
"Main aja sana sama suster yang beneran! Aku kan komikus, pelukis kamu suruh jadi suster? Enak aja!"
Tian mengernyit, ada apa dengan Aya? Ke mana senyum malu-malu yang sedari tadi Aya tunjukkan.
"Kok ngambek Ay? Di lihatin bunda loh." Ancam Tian sembari menunjuk ibunya, atau ibu mertua Aya.
Aya memutar bola matanya malas.
"Terserah, aku gak suka sama suster pokoknya!"
Tian tersenyum, membawa Aya duduk agar lebih tenang.
"Ya, maaf. Okedeh, aku salah. Jangan marah ya? Ini kan hari pernikahan kita."
"Terus kenapa?"
"Aku gak mau tidur di luar."
"Kalau gitu hapus semua kontak cewek yang ada di hp kamu. Kalau gak aku bakal lari dari sini sekarang juga." Tian melongo, pasti ada satu di antara teman-temannya yang mengadu pada Aya bahwa Tian punya beberapa teman wanita.
Tian mengangguk, lebih baik menuruti Aya daripada Tian harus tidur di luar nanti malam. Salah satu asisten yang bekerja, datang memberi Hp Tian pada pemiliknya.
Tanpa ragu Tian menghapus semua kontak wanita yang tersimpan, termasuk riwayat chat mereka. Kemudian Tian menunjukkannya pada Aya.
"Sudah puas." Aya mengangguk senang, tanpa ragu memberi Tian hadiah berupa sebuah kecupan di pipinya.
Tian menggenggam tangan Aya dengan begitu erat. Pandangan mereka yang saling bertemu, mengisyaratkan hati yang bahagia melebihi siapapun di dunia ini.
"Kamu bahagia Ya?" Tanya tian sembari mengecup pelan punggung tangan Aya. Aya tersenyum, memiliki Tian adalah mimpinya yang selalu Aya kesampingkan dan sekarang mimpi itu terwujud. Jelas, Aya sangat bahagia.
"Tapi Ya, bukankah sekarang saatnya kamu bangun dari mimpi indah ini?" Aya mendelik. Apa maksud Tian? "Kamu gak kangen sama aku?"
Pandangan Aya menggelap seketika.