"Tapi Ya, bukankah sekarang saatnya kamu bangun dari mimpi indah ini?" Aya mendelik. Apa maksud Tian? "Kamu gak kangen sama aku?"
Bagai di hantam benda yang keras, kepala Aya sakit bukan main. Detik selanjutnya, Aya terjatuh dan kehilangan kesadaran.
*
Bunyi yang teratur dari pendeteksi detak jantung menyapa telinga Aya, sesaat setelah matanya perlahan terbuka. Pandangannya samar, tapi Aya tahu bahwa apa yang ada di atasnya saat ini adalah langit-langit kamar yang berwarna putih.
Saat Aya mencoba meraba selimut yang di kenakannya, Aya bisa merasakan jarum infus yang menancap sempurna di tangan kanannya. Apa Aya sesakit itu sampai harus menerima sebuah infus?
Tunggu, Aya juga merasakan sesuatu di wajahnya. Ada selang oksigen yang merekat kuat di hidungnya. Dengan tertatih-tatih Aya mencoba duduk dan melepas selang oksigen yang mengganggunya itu.
Aya menggelengkan kepalanya beberapa kali, masih berusaha mencoba untuk memfokuskan pandangannya yang masih kabur. Tiba-tiba serangan sakit kepala menderanya, rasanya seperti tersadar dari tidur yang sangat lama.
Aya ingin memekik, namun sepertinya suara miliknya butuh proses untuk kembali. Aya ingin memekik saat sadar ada perban yang melingkar erat di perutnya. Apa Aya terluka?
Aya membuka perban itu perlahan, ada luka yang tujuh puluh persen hampir sembuh. Luka ini mengingatkannya pada luka yang di dapat saat mencoba menukar takdirnya dengan takdir milik Kevin.
Tunggu Aya harus memeriksa tanggal berapa sekarang. Rasanya sangat sulit bagi Aya untuk mengetahui mana yang mimpi? Mana yang kenyataan?
Apakah kenangan tentangnya dan Tian menikah hanya mimpi? Atau yang Aya alami sekarang adalah mimpi?
Aya tidak tahu, Aya harus memeriksanya sendiri.
Dengan tenaga yang masih tidak terkontrol Aya mencabut jarum infus dari tangannya dengan sedikit brutal. Sehingga ada tetesan darah yang terjatuh di lantai dari tangan Aya.
Dengan sekuat tenaganya Aya berdiri dan mencoba menyesuaikan berat tubuhnya dengan gravitasi bumi. Kenapa rasanya sangat berat?
Saat Aya hendak melangkahkan kakinya, ada sebuah suara yang membuat Aya mengurungkan niatnya untuk berjalan maju. Suara orang ngorok. Lantas Aya meneliti seluruh ruangan dengan matanya yang masih belum terbiasa dengan cahaya.
Aya membungkukkan badannya, ada ranjang kecil di sisi lain dari tempat Aya berdiri saat ini. Di ranjang itu, terdapat wanita cantik yang mengenakan pakaian suster.
Siapa dia?
Ah, pasti orang suruhan Tian untuk menjaga Aya.
Aya kembali memfokuskan tubuh dan tenaganya untuk berjalan keluar. Berhasil, Aya berhasil mencapai pintu bangsal ini.
Aya membukanya perlahan, setelah berhasil keluar ruangan Aya memegang besi yang terpasang di sepanjang lorong rumah sakit ini, besi ini besi yang biasa di gunakan orang yang kesulitan berjalan seperti Aya.
Tanpa ragu, Aya melangkahkan kakinya sekuat mungkin menuju ruang depan yang tampak ramai, sepertinya di sana tempat yang biasa suster gunakan untuk berjaga.
"Pe-permisi!" Teriak Aya pada lima orang yang ada di depan sana. Aya harus segera mencari pertolongan, Aya sudah tidak kuat lagi berjalan.
"Astaga itukan pasien yang koma."
"Iya yang kamar nomor 34, pacarnya pengacara dan yang selalu di jaga sama Erna."
Aya mengernyit mendengar itu. Jadi Aya koma? Berapa lama? Pengacara? Tian? Lalu siapa Erna? Suster yang tidur dengan mengorok tadi?
Dua orang suster yang ada di sana dengan sigap membantu Aya dan duduk di salah satu kursi duduk.
"Mbak gak seharusnya keluar." Omel salah satu suster sesaat setelah Aya duduk.
"Saya cuman mau tanya aja sus."
"Tanya apa?"
"Sekarang jam dan tanggal berapa?"
Suster itu menjawab dengan ramah. "Tanggal xx bulan xx tahun 20xx, kalau jam, sekarang masih pukul lima sore."
Aya terkejut, bola matanya bergetar hebat hendak mengeluarkan air mata. Kenapa tahun yang di sebutkan sang suster masih tahun yang sama ketika Aya tertusuk? Tidak! Bukan! Ini tidak mungkin.
"Suster jangan bercanda, bukannya ini sudah tahun 20xx?" Aya menyebutkan dua tahun lebih dari yang mereka sebutkan. Namun, bukan mendapat jawaban, semua suster yang ada di sana malah kebingungan.
Aya mulai menyadari, jika dirinya sedang berada di tahun yang ia sebutkan tadi. Seharusnya Aya berada di Jepang, semua wajah suster ini dan bahasa yang mereka gunakan adalah bahasa Indonesia.
"Mbak enggak apa-apa?" Aya menggeleng, dirinya sedang tidak baik-baik saja. Aya sedang di hantam ribuan-ribuan kenyataan yang sebenarnya.
Aya memiliki karier di Jepang itu mimpi, Aya mengenal Xiao Li, Xiao Zian, dan nenek Haruka itu semua juga mimpi, Aya bermain salju itu mimpi, bahkan pernikahan Aya dan Tian itu juga mimpi?
Hebat Aya, kau berhasil di permainkan oleh mimpi.
"Mbak enggak koma selama dua tahun kok, terhitung sampai sekarang cuman hampir empat bulan."
Tolong berhentilah memukul Aya dengan kenyataan. Aya mulai tidak sanggup.
"Ayo mbak, saya antar kembali ke kamar." Aya menurut saat dua pasang tangan membantunya berdiri. Apa hanya karena tidur selama empat bulan membuatnya kehilangan kemampuan untuk berjalan? Ugh, ini merepotkan.
Masih jauh dari kamarnya, suster yang tidur di kamar Aya tadi berlari keluar. Matanya membulat melihat Aya di bopong oleh dua orang suster.
"Aduuuh, aku kira mbak Aya ke mana." Ucap suster yang masih bermuka bantal itu sembari mengambil alih sebelah tangan Aya dari suster lainnya.
"Kamu itu bagaimana sih? Katanya jaga pasien karena permintaan khusus? Malah di tinggal molor. Apa gak lihat sekarang pasiennya sudah sadar mendahului kamu?!" Suster cantik itu berdecak sebal.
"Coba aja kamu yang jaga pasien dua puluh empat jam. Capek tahu!" Apa mereka masih akan terus bertengkar saat membantu Aya duduk kembali ke kasurnya seperti ini?
"Kan kamu sendiri yang menawarkan diri untuk menjaga pasien selama dua puluh empat jam demi mendapat perhatian pengacara ganteng itu." Pengacara ganteng? Tian? Oh Tian menjadi sangat populer selama Aya koma.
"Aku? Mana ada?" Kilah suster cantik itu.
"Peratalannya saya rapikan ya mbak? Habis ini saya panggilkan dokter buat mbak." Aya mengangguk, semakin lama Aya semakin mengantuk dan ingin tidur tapi pertengkaran itu terus berlanjut.
"Jangan pura-pura bego Ca. Aku tahu kamu suka sama pengacara itu, padahal kamu tahu sendiri kalau pengacara itu pacarnya mbaknya ini."
Suster cantik itu menatap Aya penasaran. "Mbak bener pacarnya mas pengacara?"
Aya memutar otaknya sejenak, kenyataannya Aya sudah menjadi istri sah Tian. Walau hanya dalam mimpi. Plak!
"Bu-bukan kok."
"Eh, beneran mbak?" Aya mengangguk, tapi hatinya kesal dan ingin menggelengkan kepala. Senyuman di bibir Aya-pun terlihat jelas tidak tulus dan terlihat menahan kekesalan.
Lebih baik Aya menarik selimut hingga menutupi kepalanya dam mulai pergi tidur, siapa tahu mimpinya saat koma adalah gambaran masa depannya? Juga Aya ingin mengetes dirinya, masihkah Aya akan mendapat mimpi jika tertidur?
Hampir saja kesadaran Aya jatuh, namun sebuah derap langkah yang terburu-buru memasuki kamar dan dua suster yang menjadi tenang itu mengembalikan kesadaran Aya.
Aya membuka selimut hingga lehernya.
"Tian?"
Dasar Tian! Kenapa sorot matanya berkaca-kaca seperti itu?