Pagi nyaman datang, bersamaan dengan berhentinya hujan yang deras. Daun-daun dan jalanan masih terlihat sangat basah.
Cahaya matahari masih tertutup oleh awan mendung yang senantiasa tak ingin meninggalkan langit, enggan melepaskan isinya.
Angin dingin yang berhembus membuat siapapun ingin tetap bergelung dalam selimut, mengabaikan aktifitas yang seharusnya kini dimulai.
Berbeda dengan Aya, setelah mendapatkan dua mimpi menyeramkan itu, Aya hanya berhasil memejamkan mata dua seperempat jam. Menciptakan lingkar mata panda pada wajah Aya. Beruntung, paket yang Aya pesan sudah mendarat kemarin sore.
Aya mengelupas plastik yang merekat pada foundation bermerk ini. Bunyinya benar-benar indah, ini seperti Aya menonton asmr makeup.
Aya bersiap duduk didepan meja rias, mengoles foundation itu merata pada wajahnya.
"Wow." Pekik Aya, melihat sendiri kualitas foundation itu yang mampu menutupi lingkar matanya yang hitam.
Aya meraih hp-nya, memeriksa nada notifikasi pesan singkat berdenting.
'Berangkat sendiri dulu, aku harus menemui klien di Singapure. Love.'
Aya meletakkan hp keluaran terbarunya tanpa hati-hati, mendengus kesal membaca pesan dari Tian.
"Siapa yang tanya!" Aya meneriaki hp nya yang berdering. Aya mengabaikan deringan itu, masih kesal dengan pesan dari Tian.
"Kenapa pas cuaca gini sih gak nganter? Pas gak minta anter jemput aja selalu dateng tanpa diminta, sekarang pas dibutuhin malah gak dateng. Tadi di akhir apa? Love? Love dengkulmu. Gak butuh Love, butuhnya ojek gratisan yang bisa nganter sampe tempat kerja."
Aya hampir mengumpat ketika menyadari hpnya berbunyi untuk ketiga kalinya. Aya segera mengangkat telfon dari nomer tak dikenal itu, mengalihkan kekesalannya pada Tian.
"Halo?"
"Halo mbak Aya. Ealaaaah, di telfon gak diangkat-angkat dari tadi juga. Ini lho saya udah didepan rumah, sekalian mau ngangkut mbak Aya. Disuruh mas Tian." Aya mengernyit, memastikan sekali lagi nomor yang sedang bertelfon dengannya itu benar-benar nomor yang tidak tersimpan. Siapa? Tian tidak pernah mau memperkenalkan Aya pada teman-temannya. Tidak rela katanya.
Setahu Aya Tian tidak memiliki adik atau sepupu lelaki yang sudah mandiri hingga membawa mobil. Ah, Aya tahu orang itu membawa mobil karena Aya sekarang sedang mengintipnya dari celah korden jendela kamarnya.
"Tunggu, ini siapa ya?"
"Loh? Mba Aya bener gak tahu aku siapa toh? Ini aku mba, Yuda. Sekantor, setim, kemaren juga rapat bareng lho yaa." Aya mengernyit mengingat siapa Yuda ini. Ah si medok wajah oppa korea?
"Udah mba, cepet keluar. Tak tungguin."
Sambungan terputus.
Aya meraih tas dan segera memakai sepatunya. Lumayan, pengiritan setelah membeli sebuah foundation seharga jutaan itu.
*
Aya melihat sosok yang bernama Yuda dengan teliti, rekan sekantor dan setim. Si medok bertampang oppa korea. Stop, Aya tidak boleh mengenalinya lebih jauh dari ini, atau Yuda akan berada dalam masalah besar.
"Eh udah mbak liatin akunya?"
Aya tercengang, sejelas itukah Aya melihatnya?
"Gue heran aja. Kok lo bisa kenal sama Tian sih?"
"Loh mbak Aya gak dikasih tahu sama mas Tian, kalau aku ini ya temennya."
"Temen gimana? Jangan-jangan lo yang mempengaruhi Tian buat main ke club malam ya?"
"Eh gak mba, aku gak berani kesana duh, mas Tian marah gak ya aku kasih tahu ke mbak Aya."
"Gak. Kasih tahu aja."
"Eeeemmm, gimana ya mba. Kita itu temen nongkrong biasa aja, kayak temen pada umumnya gitu, gak yang aneh-aneh. Cuma ya satu dari kita itu pemilik club gitu, jadi ya mau gak mau kita kesana buat ngelarisin, eh keterusan. Yang punya club itu namanya Verdi."
"Terus selain lo sama Verdi ada siapa lagi?"
"Ada Rian mba, dia ini dokter. Jarang ngikut ngumpul pokoknya. Terus Andi, dosen di kampus. Terus, Jojo, anak konglomerat ini, kerjaannya ribut terus sama Tian. Apalagi kalau udah nyangkut politik bapaknya, pasti mereka ribut. Terakhir namanya Agus, pengurus yayasan gitu mba, alim banget orangnya."
Aya hanya mengangguk-angguk, menyadari bahwa ternyata dunia Tian sangatlah luas. Berbeda dengan dunianya yang sangat sempit.
"Bisa dibilang kita ini versi KW BTS deh mba, soalnya pas bertujuh." Aya terkekeh geli, mendengar hal konyol yang dikatakan Yuda.
"Mba Aya ini beruntung loh, diantara kita bertujuh dapetinnya mas Tian?"
"Hah? Maksudnya?"
"Ya mas Tian, itu secara duit ya berduit banyak, sukses secara mandiri tanpa bantuan orang tua. Gak kayak aku yang cuma kantoran biasa. Paling ganteng diantara kita bertujuh. Karirnya paling oke. Penurut sama orang tua, sholatnya gak pernah bolong lagi."
"Bentar deh, gue cuma temennya Tian. Kayak hubungan kalian ke Tian. Just it."
"Lah? Masa mba? Kok gak nyangka aku, ternyata masih temenan aja."
"Iya, emang kamu kira apaan?" Aya melembutkan gaya bahasanya, sadar bahwa Yuda itu masih teman sekantornya.
"Ya aku kira mba Aya itu pacar atau tunangannya mas Tian. Banyak gosip dikantor gitu loh."
"Gak masuk akal."
"Gak masuk akal gimana to mba, kalau mba Aya telfon pas kita lagi ngumpul, pasti fast respon banget mas Tiannya. Gak peduli lagi nongkrong di pucuk gunungpun kalau mba Aya telfon minta anter, mas Tian selalu ready."
Bener juga sih. "Tapi kita beneran cuma temen."
"Iya, aku ngerti kok mba. Cuma ya itu. Aku gak pernah lihat mas Tian deket sama cewek lain selain mba Aya sendiri."
Aya mengalah tak ingin berdebat lagi. Berfikirlah semau kalian.
"Aku boleh nanya mba?"
"Tanya aja, biasanya langsung nerocos."
"Mbak Aya ini lagi marahan to? Sama mbak Citra? Biasanya kesana kesini bareng, tapi akhir-akhir ini kok gak kelihatan bareng?"
"Lagi ada salah paham dikit."
"Gak baik mba lama-lama dieman gitu, semoga cepet baikan ya mba."
"Iya tahu Yud." Aya membekap mulutnya sendiri, merutuki kebodohannya sendiri, yang tanpa sadar sudah merekatkan nama pada teman Tian satu ini.
Aya segera turun saat Yuda berhasil memarkirkan mobil dengan sempurna.
"Loh mba Aya masuknya bareng." Aya mempercepat langkahnya, mencoba mereset otaknya untuk melupakan semua orang yang sudah Yuda ceritakan padanya.
Aya pasrah saat Yuda berhasil menyamai langkahnya, terlebih didepan sana masih harus menunggu lift. Tetap akan bertemu.
Aya hanya mengangguk-anggukkan kepala mendengar ocehan Yuda yang tiada habisnya. Mendengar dari telinga kanan dan keluar ke telinga kiri. Tidak berniat menyerap lebih dalam pertemanan mereka.
Lift berdenting, pintunya terbuka. Aya membulatkan matanya saat Wati dan Citra sudah menunggu diluar. Jika Aya memasuki lift dari basement, sedangkan Citra dan Wati menunggu dari lobby, itu wajar bukan? Jika mereka berpapasan seperti ini.
"Pagi bu. Pagi mba Cit." Sapa Yuda pada dua orang yang baru saja memasuki lift itu. Aya hanya menganggukkan kepala, memberi salam.
"Kok kalian berangkat bareng? Kalian jadian ya?"
"Eh engga bu." Sergah Aya dengan cepat.
"Enggak lah bu. Kalau ibu mau tahu, pacarnya mba Aya itu namanya Tian."
"Oooh, si pengacara itu ya?"
"Iya bu."
"Enggak bu." Ucap Aya dan Yuda bebarengan, membuat Wati terkikik geli.
"Yang bener yang mana nih? Nanti aku dikenalin ya Ya?"
"Beneran bukan pacar bu. Cuma temen."
"Kalau gak percaya tanya aja sama mbak Citra nih bu. Mbak Citra juga kenal kok sama mas Tian." Aya menatap tajam Yuda yang berbicara sembarangan.
"Eh iya, kamu kan deket sama Aya, kamu kenal Cit pengacara itu?" Semua orang dalam lift itu menatap Citra, menunggunya untuk memberi respon terhadap masalah ini.
"Iya bu. Saya kenal."
"Kebetulan banget nih. Kalian bertiga kenal sama pengacara kondang itu. Saya boleh dong dikenalin, lewat orang dalem gitu. Jadi gak susah bokingnya, saya lagi butuh pengacara."
"Emang bu Wati mau ngapain kok cari pengacara?"
"Saya mau cerai."
"Eh." Semua orang yang ada dalam ruangan itu terkejeut bukan main. Karena baru tahu, kalau ternyata Wati sudah taken dan hampir bercerai?