Entah semanjak kapan saat Aya menyadari bahwa Citra menghindarinya. Memang sudah dari lama, dari semenjak kesalah pahaman itu terjadi.
Tapi menurut Aya, Citra menghindarinya saat ini terlihat berbeda. Kalau yang dulu itu Citra menghindarinya karena marah, kalau sekarang lebih ke malu atau gengsi.
Apakah mungkin Citra sudah mengetahui kebenarannya? Atau mungkin kebusukan Farhan sudah tercium? Apapun itu, semoga itu adalah hal baik.
Aya menyeruput lattenya tak menyisakan sedikitpun cairan dalam gelas itu. Bagaimanapun juga Aya tidak boleh tidur terlalu lama nanti malam, atau dirinya akan bermimpi lagi.
Aya hendak bangkit untuk memesan latte lagi sebagai peneman steaknya yang masih dimakannya dua suap, namun kembali duduk saat menyadari Citra menghampirinya.
"Ya, aku boleh duduk sini?"
"Duduk aja." Citra duduk dihadapan Aya, meletakkan milkshake kesukaannya dimeja.
"Ya, aku mau minta maaf sama kamu. Udah nuduh sembarangan kalau kamu yang bocorin ke Abi. Sebenernya orang yang bilang ke Abi itu Farhan. Aku gak nyangka dia lakuin itu ke aku."
"Udah sadar?" Citra mengangguk cepat.
"Maafin aku ya Ya." Aya berfikir sejenak. "Tapi janji sama aku, kalau kamu mau jauhin Farhan?"
"Iya Ya. Aku janji jauhin Farhan, aku sadar dia orangnya gak baik. Bahkan Farhan udah diusir sama Abi aku, biar gak kerumah aku lagi."
"Ya udah aku maafin."
"Makasih ya Ya. Sini aku pesenin lagi lattenya." Citra mengambil gelas kosong Aya untuk di isi ulang.
Aya tersenyum simpul, melihat Citra yang sepertinya sudah kembali menjadi sosok temannya yang biasa. Namun Aya tidak boleh merasa tenang begitu saja, dengan Citra berjanji akan menjauhi Farhan, bukan jaminan kalau mimpinya tidak akan menjadi kenyataan.
"Yud, tolong kenalin saya ke pengacara itu ya Yud." Aya menoleh pada keributan yang datang dari arah pintu masuk cafe.
"Saya akhir-akhir ini gak ketemu sama orangnya Bu."
"Kamu kan temennya."
Aya memalingkan mukanya, tidak ingin ikut campur dengan keributan dua orang itu. Siapa lagi jika bukan Wati yang sedang memaksa Yuda untuk dikenalkan pada Tian.
Aya merutuki dirinya yang tak bersembunyi dengan baik. Yuda menghampiri Aya dan tanpa permisi duduk, bergabung dimejanya.
"Ya Yud, pliss kenalin ya." Ucap Wati duduk di samping Aya. "Mau aku beliin apa?"
"Steak cheese double chiken." Tanpa babibu Wati pergi memesankan permintaan Yuda. Aya terkekeh melihat kesengsaraan Yuda.
"Enak nih ditraktir Bu Kabag."
"Ngeselin tahu, kalau jam lega kerjaannya ngikutin aku terus. Baru dikit ngerjain pelaksanaan proyek kita. Malah diganggu."
"Halah, muka cemberut gitu, tapi mau juga ditraktir. Awas lo kalau gak beres proyeknya." Aya menggeleng-geleng kepala, mendengar kelakuan Wati yang justru menyulitkan bawahannya ini.
"Mbak Aya tolong dong ini Bu Wati mau dikenalin ke Tian." Yuda memohon dengan sangat saat melihat Wati kembali bersama Citra dengan membawa steak pesanannya.
"Ya kenalin aja, kenapa bilang ke aku."
"Tian kan lagi di Singapura udah semingguan ini. Gak ngikut ngumpul kan, di telfon juga gak diangkat Bu. Suer saya gak bohong."
"Masa sih Yud? Kan kamu temennya." Aya mengalihkan pandangannya, saat Wati merasa curiga.
"Beneran bu, saya harus ngomong apalagi." Sorot mata kecewa terpancar dari Wati. Semua dimeja itu sibuk dengan makanan yang ada didepannya. Hening.
"Bu, kenapa gak minta Aya aja yang telfon, kalau Aya pasti diangkat." Aya membelalakkan matanya, menatap tajam Citra, baru saja Aya memaafkannya, tapi Citra malah memicu pertengkaran lain.
Aya cantik, Aya kalem, Aya sabar. Aya menghela nafasnya.
"Bener tuh bu. Aya aja." Dasar Yuda, malah menambah-nambahi.
"Bener bisa Ya? Tolongin saya kenalin ke pengacara itu."
Aya mendengus kasar, kalau sudah seperti ini, mau tak mau Aya harus menghubungi Tian. Padahal selama ini Aya tidak pernah menelfon terlebih dahulu. Selalu Tian yang menghubunginya atau mengiriminya pesan.
Aya meraih hpnya. "Saya coba dulu ya." Aya menekan lama angka satu pada aplikasi telfon yang langsung terhubung oleh nomor Tian.
Pada deringan kedua, telfon diangkat. Cepat sekali. Aya menjauhkan tubuhnya dari ketiga manusia yang penasaran itu.
"Halo Ya?"
"Yan, sibuk?"
"Lumayan, ada apa?"
"Ooh, sibuk ya. Ya udah aku tutu.."
"Bilang aja, ada apa?"
"Kok kamu lama di Singapura? Kasusnya berat ya?"
"Berat, semua pihak gak ada yang mau ngalah, sedangkan pihak aku malah kabur ke sini, jadi ya mau gak mau aku ikutin."
"Semangat ya Yan."
"Kamu gak kangen sama aku Ya? Kalau aku kangen banget sama kamu." Aya menatap ketiga orang yang terlihat berusaha menguping itu.
"Iya aku juga kangen." Kata Aya sambil berbisik.
"Eh ada apanih? Biasanya galak kok kalau ditanya. Bilang sama aku, ada apa Ya?"
"Ehmm, ini aku mau minta tolong."
"Kamu kenapa? Mimpi lagi? Aku ke Indo nanti sore."
"Eh enggak, bukan itu. Atasan aku minta dikenalin ke kamu, katanya butuh pengacara buat perceraiannya. Jadi gak usah buru-buru pulang ke Indo."
"Pantes ngomongnya sopan banget. Ya udah kasih aja email aku, kirim berkas permasalahan dia. Kasih subject temen Aya kalau kirim email."
"Makasih ya Yan."
"Aku anggep kamu utang ke aku ya Ya. Nanti kalau aku pulang aku tagih."
Sambungan terputus, Aya ingin berteriak sekencang-kencangnya, tanpa persetujuannya Tian memutuskan hal itu sebagai utangnya. Untung saja Aya masih tersadar kalau dirinya berada ditempat umum.
"Gimana Ya?" Tiga orang di dekatnya menatapnya penuh tanda tanya. Aya menuliskan email Tian pada selembar tisue.
"Ini emailnya Tian Bu, Ibu bisa langsung email Tian tentang masalah perceraian Ibu ke email ini. Jangan lupa kasih subject temennya Aya. Gitu bu."
"Makasih, kayaknya saya salah traktir orang nih." Wati melirik Yuda yang hampir menandaskan steaknya. Wati tertawa, melihat Yuda yang tidak jadi menyuapkan steak terakhirnya.
"Makan aja Yud, itung-itung sekali ini traktir kamu. Nanti Aya aku traktir lain waktu ya."
"Gak usah repot bu. Semoga masalah ibu cepet kelar."
"Makasih ya semua."
"Bener kata saya kan bu? Kalau mau ada urusan ke Tian, tangan terdalamnya ya si Aya ini Bu." Citra tidak ingin ketinggalan ingin mendapatkan traktiran dari Bu Kabag ini.
"Iya, nanti deh, saya traktir kamu bareng Aya." Aya menatap tajam Citra yang kegirangan mendapatkan traktiran.
"Emang kenapa ibu butuh pengacara sehandal Tian cuma buat cerai?" Aya melihat kedua tangan Wati menyatu, menggenggamnya erat.
"Agak rumit sebenarnya. Sebagai istri saya cari nafkah sendiri, dia juga kerja untuk dirinya sendiri. Kita kayak orang asing yang tinggal serumah..."
"... Apalagi saya gak pernah disentuh."
"Jadi Bu Wati masih perawan dong." Aya menimpuk mulut Yuda yang berbicara tanpa disaring.
"Ya bisa dibilang, saya masih gadis. Suami saya itu juga suka bawa pulang wanita. Disaat istrinya sendiri cuma dijadikan pajangan." Benar-benar seperti sinetron.
"Maaf bu nyela. Bu Wati ini dijodohkan atau gimana ceritanya? Kok bisa gitu?" Wati tersenyum kearah Citra.
"Iya, dijodohkan seperti dugaan kamu. Pokoknya saya mau rebut hak saya selama dua tahun pernikahan di perceraian nanti."
Aya menepuk-nepuk bahu Wati perlahan, menyalurkan kekuatan untuknya menghadapi pertarungan besar.