Chereads / My Destiny from the Dream / Chapter 12 - Kangen sampe nangis

Chapter 12 - Kangen sampe nangis

Aya menyibak selimutnya. Hampa, sedih, kecewa yang saat ini sedang dirasakannya. Rasanya begitu campur aduk bagaikan masakan orak-arik.

Jika bisa Aya ingin mengobrak-abrik seluruh dunia dan seisinya. Mengapa Aya diberi beban seperti ini? Kutukan mimpi itu selalu mengikutinya kemanapun. Kepada siapapun yang melewati garis batas.

Namun sekali lagi Aya hanyalah manusia biasa, hanya bisa berdoa kepada Sang Pemilik asli dari mimpi-mimpi yang dititipkan pada Aya.

Aya masih tak mengerti apa yang dimaksud mbah Suripah dengan memanfaatkan kutukan ini? Bukan, tepatnya berkah ini. Caranya bagaimana?

Setelah kepulangannya dari rumah mbah Suripah, Aya sesekali memikirkannya. Namun karena otaknya yang terbatas, Aya belum mendapat jawabannya sampai saat ini.

"Segitu kangennya sama aku ya sampe nangis?" Aya melirik pintu kamarnya, disana sudah berdiri Tian dengan pakaian santainya.

Aya meraba pipinya yang ternyata sudah basah oleh air matanya yang meluncur bebas bagaikan air terjun.

"Hari ini tidur berapa jam?" Aya membiarkan Tian mengambil tempat disampingnya, kemudian menyeka pipi Aya yang basah.

Aya melirik jam dinding di sisi kiri kamarnya. "Dua jam?" Aya tak yakin, sudah berapa jamkah dirinya tertidur tadi malam.

"Gak bagus, kamu harus tidur lagi."

"Gak mau, eeh!" Aya dipaksa tertidur dengan paha Tian menjadi bantalnya. Aya menatap Tian kesal, namun Aya meredamkan marahnya saat tahu Tian terlihat sangat kelelahan.

"Sampe Indo jam berapa?"

"Barusan."

"Kok gak besok pagi aja kesininya? Emang gak capek?"

"Ya capek. Tapi pengen cepet pulang lihat adek."

"Lo mana ada adek?"

"Ada. Ini." Aya memukul tangan Tian yang mencubit hidungnya hingga memerah.

"Kalau gitu adek mau kopi sekarang!" Ucap Aya pura-pura merajuk.

"Gak boleh."

"Mau kopi!"

"Gak boleh Ay. Kamu tahu gak sih? Ada kisah dimana sebenernya kita yang minum kopi biar gak ngantuk itu artinya kita meminjam waktu dari masa depan. Jadi umur kita makin pendek."

"Bagus deh, kalau gue mati gak bakal ada lagi yang mati karena mimpi sialan ini."

"Hush, gak boleh ngomong gitu Ay. Pokoknya aku gak mau menua sendirian."

"Ya cari pasangan sana, nikah. Jangan kelamaan jomblo."

"Ha? Gak perlu. Kan udah ada kamu."

"Cari cewek yang beneran. Bukan jadi-jadian kayak aku gini."

"Menurut aku kamu cewek kok Ay."

"Ha? Ya emang cewek."

"Bukan, maksud aku itu kamu cewek tercatik selain bunda yang pernah aku temuin."

"Ngegombal nih? Pergi sana pulang kerumah lo sendiri." Aya membekap bantal pada wajah Tian, namun dengan sigap Tian membuang jauh-jauh bantal itu ke lantai.

"Ay tidur sekarang." Aya bangkit dari tidurnya, hendak menuju dapur untuk membuat kopi.

"Apa? Gak mau aku mau bikin kopi." Namun dengam sigap Tian menarik tangan Aya, hingga membuatnya terjatuh kembali ke posisi tidurnya.

"Tidur! Atau, aku serang kamu sekarang." Aya segera mengambil posisi tidur dengan paha Tian kembali menjadi bantalnya. Menarik selimut hingga lehernya dan menarik satu lagi selimut untuk menutupi kaki Tian.

"Katanya adek." Cicit Aya pelan.

"Aku masih bisa denger Ay."

Suara jarum jam yang berdetik ditengah malam yang sunyi ini memanggil Aya untuk segera memejamkan matanya. Elusan Tian pada kepalanya hampir membuatnya melayang ke dunia mimpi.

Angin malam yang berhembus dibalik jendela kaca yang besar pada kamar Aya membuat Aya ingin keluar dan terbang untuk menikmati kesejukan.

Aya benar-benar terbang. Masuk dalam dunia mimpi.

*

Aya terbangun dari tidurnya saat dering nada panggilan masuk dari hp Tian mengganggunya untuk segera membuka mata. Aya bangkit, mengacak-acak rambutnya kesal, baru kali ini bisa tidur nyenyak tanpa bermimpi, ada saja gangguan yang datang.

"Klien Artis Joana." Aya membaca nama yang muncul di layar hp Tian tersebut.

Aya menatap Tian yang tidur dengan posisi terduduk, malang. Baru juga sempat tertidur kurang lebih empat jam, sudah ada panggilan tugas lagi.

"Tian bangun! Ada telfon nih."

"Eh telfon dari siapa?" Jika suara serak seorang lelaki pada ketika bangun tidur pada umumnya sangat disukai wanita, tidak jauh berbeda juga dengan Aya. Aya juga suka, tapi bukan suara Tian yang Aya harapkan.

Aya menyerahkan hp yang senantiasa berdering itu kepada Tian setelah selesai meregangkan otot kakunya. Aya tanpa babibu segera pergi ke kamar mandi untuk mencuci muka dan membuat tiga piring sarapan.

Tunggu? Kenapa Aya membuat sarapan sebanyak tiga piring? Aya mengumpulkan nyawanya yang tadi belum sepenuhnya pulih itu.

Ayah?!!

Aya merutuki dirinya sendiri, bisa-bisanya melupakan bahwa baru saja kemarin sore Ayahnya pulang kerumahnya.

Aya segera berlari kekamar Ayahnya, namun saat Aya membuka pintunya Aya hanya mendapati sebuah kamar kosong.

"Ngapain kamu disitu Ha?!" Aya segera berlari menuju sumber suara ayahnya yang berteriak kencang.

"Yah, ayah. Udah yah yuk makan, Aya udah bikinin sarapan." Aya segera menenangkan ayahnya yang terlihat sangat marah.

"Kamu juga kenapa malah belain dia? Jelasin sama ayah kenapa dia bisa keluar kamar kamu pagi-pagi gini?" Aya melirik Tian, sebelah pipinya terlihat sedikit memar. Tapi yang terpenting sekarang adalah meredakan emosi ayahnya dulu.

"Yah, iya Aya jelasin habis makan. Jangan teriak gitu, gak enak didengerin tetangga." Ayah Aya menghela nafas berat dan pergi dari sana menuju meja makan.

"Yan, kamu gak apa-apa?" Tian mendesis dikala Aya menyentuh ringan pipinya yang memar.

"Gak apa-apa Ya. Siapin kompres es aja."

"Iya, aku bikinin. Sekarang kamu makan dulu, udah aku siapin." Aya menatap kepergian Tian yang patuh mengikuti arahannya.

*

Perut sudah terisi kenyang, seharusnya hati menjadi bahagia karenanya. Tapi hati Aya bagaikan sedang berlomba lari, risau karena ayahnya yang hanya diam sedari menyelesaikan makannya.

"Jadi kalian sudah sejauh mana?" Aya melirik Tian yang terlihat santai mengompres pipinya.

"Maksud ayah?"

"Kalian sudah berhubungan sejauh mana?"

"Maksud ayah gimana?"

"Kalian sudah *****." Kata disensor.

"Enggak Yah. Kita tidur beneran tidur, bukan yang kayak gitu yah. Kalau ayah gak percaya nih." Aya memukul keras punggung Tian, membuat Tian mengaduh kesakitan.

"Kan yah. Tian semalem tidur di bawah, makanya punggungnya sakit. Aya tendang kebawah, beneran deh." Tian menatap Aya seolah berkata, punggung aku sakit karena kamu pukul. Tapi Aya memberi isyarat untuk Tian tetap diam.

Ya Allah, ampuni Aya yang berbohong pada ayahnya karena tidak memiliki alasan lain yang lebih masuk akal.

"Ya udah, besok lagi kalau Ayah nemu Tian di kamar kamu lagi. Ayah bakal seret kalian ke KUA."

"Siap Yah." Aya dan ayahnya mendelik kearah Tian dengan arti tatapan yang berbeda.

"Ayah? Enak aja. Aku belum merestui." Sedangkan Aya tidak habis fikir dengan Tian yang selalu bilang hal-hal seperti itu dengan mudah. Kalau suatu saat nanti Tian punya pacar dan tahu Tian selalu seperti itu padanya, bukankah akan menimbulkan pertengkaran hebat?

Oh Ya Allah, Semoga tidak.