Aya memilah pakaian bersih untuk dibawanya kerumah Citra. Khusus malam ini Aya diminta Umi dan Abi Citra untuk menemaninya, karena takut Citra sendirian dirumah, walau sudah ada beberapa pembantu disana.
Untuk apa juga menolak? Dirumah Citra, Aya cukup menyukainya. Karena tamu disana di jamu layaknya seorang tuan putri kerajaan.
Makan, akan dimasakan Citra. Wifi, merupakan yang paling cepat yang pernah Aya temukan. Melakukan kecerobohan, total sepuluh pembantu ada disana siap membereskannya.
Aya memutuskan membawa sebuah setelan piyama panjang, menghormati penghuni rumah Citra yang sangat menegakkan ajaran agama.
"Yah, Aya berangkat ke rumah Citra dulu ya?"
"Eh sini dulu Ayah kasih sesuatu."
"Apa yah?" Aya menghamipiri ayahnya yang duduk di kursi ruang tamu. Aya melihat sebuah jam tangan keluar dari sebuah kotak kecil nan elegan.
"Jam tangan yah? Tapi Aya lagi gak ulang tahun. Jam tangan Aya banyak juga kok." Aya hanya bisa menurut saat ayahnya memintanya untuk duduk disampingnya, ketika ayahnya tidak mendengarkan perkataan Aya.
"Kamu harus pakai jam ini terus jika ingin menjauhkan mimpi-mimpi itu menjadi kenyataan."
"Emang bisa yah? Seistimewa itukah jamnya?"
"Iya, jam ini sangat istimewa dan sulit didapatkan. Sangat langka, makanya kamu harus jaga jam ini baik-baik, jangan dihilangkan."
"Ooh, didalam jamnya emang ada apa sih yah? Kok kayaknya mahal banget."
"Hanya sebuah batu permata kecil dari India. Batu itu bisa dipercaya bisa menangkal mimpi-mimpi buruk jadi kemanapun kamu pergi pastikan kamu memakainya." Ucap Ayah Aya sembari memakaikan jam tangan itu ke tangan anaknya.
"Jadi ayah jauh-jauh ke India cuma buat beli ini?" Aya memeluk Ayahnya haru.
"Makasih ayah, udah beliin ini buat aku. Maaf juga karena gara-gara mimpi aku ayah jadi kehilangan orang yang ayah cintai." Ayah Aya membalas pelukan anaknya seraya menggeleng.
"Jangan difikirkan lagi nak. Bunda pergi itu karena memang sudah tiba waktunya. Bahkan sekarangpun ayah masih punya putri kecil untuk dicintai. Lagi pula kamu yang paling menderita karena semua ini. Kamu kehilangan banyak orang. Lalu bekas luka dibahu yang selalu akan mengingatkanmu akan mimpi buruk itu." Aya tersenyum mendengar penuturan ayahnya.
"Aya baik-baik aja yah, kalau Aya gak kuat mungkin Aya udah di rsj kali. Makasih juga ayah sudah percaya sama semua mimpi-mimpi aku."
"Bagaimana ayah gak percaya kalau sebelum kecelakaan itu terjadi kamu selalu mengomel tentang bus oleng?"
"Iya yah, Aya berangkat kerumah Citra dulu. Doain Aya semoga saat kesana, mimpi itu tidak jadi kenyataan." Aya mencium tangan ayahnya, berpamitan.
"Besok masih weekend, jadi bersenang-senang ya. Jangan terlalu memikirkan mimpi."
"Siap yah."
Setelah itu, sebuah pintu rumah tertutup, menyisakan sebuah kesepian di rumah Aya.
Ayah Aya memaklumi Aya yang tidak ingin pulang kerumah mereka di daerah pinggiran kota, pindah ke tengah kota dengan alasan harus mandiri dan lokasi yang dekat kantor.
Dalam lubuk hati anak itu pasti, ia sangat merindukan ibunya.
Ayah Aya mengeluarkan sebuah liontin yang terbuat dari batu permata yang bersinar terang sebagai penangkal agar dirinya tidak muncul dalam mimpi anaknya selama ini. Dengan begitu ia bisa mendampingi anaknya hingga sebesar ini.
Kemudian ayah Aya membuka liontin itu. Memperlihatkan foto seorang wanita cantik yang selalu dirindukannya.
"Kamu lihat sayang, anak kita sudah tumbuh begitu dewasa."
*
Aya memencet bel rumah Citra, memunggu seseorang membukakan pintu besar itu. Satu dua menit terlewati dan pintu itu tidak segera terbuka.
Aya memencet bel rumah itu lagi hingga berulang kali, mencoba membuat sang pemilik rumah kesal padanya.
"Aya stop, tungguin aja." Ujar Wati menahan tangannya untuk tidak menekan bel rumah lagi. Aya menatap sebal Wati, kemudian berjongkok dipinggir pintu.
Aya kesal, Aya paling tidak suka menunggu dan apa ini? Aya diundang kemari, tapi kenapa respon mereka sangat lambat. Biarlah jika pintu itu terbuka nanti Aya akan pesan pizza dan makanan cepat saji lainnya sebagai pelengkap.
Aya membawa Wati bersamanya karena ingin mencoba segala hal untuk bisa membuat mimpinya tidak menjadi sebuah kenyataan.
Aya akan berusaha melawan mimpi itu semaksimal mungkin dan dengan berbagai cara. Semoga usahanya ini akan membuahkan hasil yang tidak sia-sia, juga tidak lagi membawa kematian bagi siapapun lagi.
Aya menatap jam tangan pemberian ayahnya, mengelus kaca itu hingga mengkilap.
Tak lama setelah Aya menunggu, pintu itu terbuka menampilkan Citra yang terlihat sangat segar.
"Maaf Ya, aku habis mandi."
"Jam lima sore baru mandi? Pembantu kemana semua?"
"Hehe, pembantu pada dibelakang, gak denger mungkin. Loh ada Bu Wati juga."
Aya dengan santainya masuk ke dalam rumah, diikuti oleh Wati. Tanpa memedulikan Citra yang terlihat terkejut dengan hadirnya atasannya kini.
Aya yang tertidur di sofa, di seret Citra menjauh sedikit dari Wati yang duduk anteng, sekiranya sejauh Wati tidak bisa mendengar percakapan mereka.
"Ya, kok kamu bawa bu Wati sih?"
"Bu Wati orangnya asik kok. Tenang aja, kita bisa manfaatin dia buat traktir kita, apalagi dia berhutang sama kita."
"Bener sih. Tapi kan tetep aja gak enak. Suasananya nanti jadi kaku."
"Gini deh, dengerin aku. Dimimpi aku itu aku cuma berdua sama kamu. Aku pengen lihat apa yang terjadi kalau misal aku bawa orang lain yang gak ada hubungannya ke dalam mimpi itu."
"Kamu yakin kalau malam ini kejadiannya?"
"Feeling aja sih. Kayaknya iya, malam ini.
"Ya, aku udah bilangkan. Kalau aku ikhlas bila memang harus mati. Lagian ya setiap makhluk hidup pasti bakal
Makanya aku bawa bu Wati kesini, siapa tahu mimpi aku gak jadi kenyataan."
"Mimpi jadi kenyataan?" Aya dan Citra menoleh bersamaan. Mendapati Wati berdiri dibelakang mereka.
*
Wati terlihat berkaca-kaca sambil memeluk bantal sofa dengan erat.
"Jadi gitu?" Aya dan Citra mengangguk. Aya dan Citra terdiam, melihat Wati yang nampaknya berusaha menerima dan berfikir lebih dalam.
"Ya."
"Eh iya Bu."
"Panggil aja Wati, aku mau kita jadi teman."
"Aku gak mau." Tolak Aya cepat, beranjak pergi kedapur mengambil beberapa camilan.
"Loh kenapa?"
"Dari cerita Aya tadi ibu masih belum ngerti?"Tanya Citra dan Wati hanya menggelengkan kepala. "Sebenernya Aya itu gak mau nerima saya sebagai teman, karena takut saya bakal kenapa-napa karena mimpi itu. Aya itu anti sama yang namanya deket sama orang, temenan apalagi pacaram bagi Aya itu mustahil."
"Lah kok bisa temenan sama kamu?"
"Gak mudah tau Bu perjuangannya."
"Kalau Tian si pengacara itu?"
"Dia mah kayak agak istimewa gitu, dari kecil temenan sama Aya gak dapet pengaruh apa-apa dari Aya." Wati dan Citra terdiam melihat kedatangan Aya membawa beberapa camilan. Kali ini Aya duduk sedikit lebih jauh dari Wati, bersyukur karena ruang tamu ini begitu besar.
"Ya, kalau kayak gitu namanya kamu menghindari."
"Terus ibu mau saya gimana?"
"Hadapi mimpi itu, berteman dengan siapa aja. Lawan mimpi itu. Aku bantu."
"Bu Wati percaya?" Tanya Citra melihat kesungguhan Wati.
"Ya, walau belum mendengar sepenuhnya tapi saya tahu kamu banyak menderita Ya. Aku bakal bantu kamu buat cegah mimpi tentang Citra tidak jadi kenyataan. Karena aku disini, jadi jangan takut."
"Bu Wati gak takut dapet mimpi dari aku?"