Rumah paman sudah terlihat di depan sana, aroma masakan bibi yang lezat sudah tercium di hidung Kirana. Perutnya semakin berteriak dan tidak sabar ingin segera diisi makanan.
"Wah, aroma masakan bibi lezat sekali" ucap Kirana riang. Ia semakin bersemangat berjalan cepat. Sedangkan Raden berjalan santai di belakang gadis riang itu.
"Sekar... Raden" bibi tersenyum lebar menyambut mereka datang.
"Maafkan kami mengganggu waktu sarapan kalian, tapi gadis ini memaksaku untuk datang kemari" ucap Raden tanpa merasa bersalah.
"Bukankah kamu yang..." protes Kirana terputus.
"Katanya dia ingin sarapan di rumah paman dan bibi" sambung Raden lagi memotong ucapan Kirana.
"Tapi kamu yang..." ucapan Kirana terputus lagi.
"Sekar, apa kau tidak memasak sayur dan lauk yang paman berikan padamu kemarin?" paman mengerutkan kedua alisnya.
"Ahaha... Aku mencoba memasaknya paman tapi... Gosong" Kirana menundukkan kepalanya, ia melirik ke arah Raden sebentar, kemudian tertunduk lagi.
"Gosong?" tanya Paman dan bibi serempak.
"Bahkan gadis ini membuat seisi rumah berasap!" Raden menimpali sambil melirik tajam.
Kirana menatap kesal dan gemas ke arah Raden, sekarang di depan paman dan bibi, ia berani membullynya. Padahal dia sendiri juga yang ingin makan disini, tapi Kirana yang dijadikan alasan. Dasar!
"Apa yang terjadi sampai masakanmu gosong nak? Apa yang sedang kau pikirkan?" tanya bibi memegang pipi Kirana dengan lembut. Wajahnya begitu khawatir.
"Aku... Tidak bisa masak dengan tungku api bi" jawab Kirana ragu.
"Tidak bisa masak dengan tungku api? Tapi dari dulu kau sudah pandai memasak Sekar, masakanmu juga lezat sekali" sahut paman menatap heran.
Kirana bingung mau jawab apa, tapi kemudian Raden Sastra mencoba menimpali. "Mungkin dia pernah terbentur kepalanya, makanya lupa segala hal. Paman, bibi, bisakah kita makan sekarang? Aku lapar" ucap Raden Sastra mengalihkan pembicaraan.
"Oh iya, iya. Silahkan Raden" paman mengacungkan ibu jarinya dan mempersilahkan Raden untuk duduk sarapan bersama mereka.
Raden berjalan dengan penuh kewibawaan, kemudian duduk di depan makanan yang sudah terhidang. Kirana membantu bibi untuk menyiapkan makanan di atas piring tanah liat.
Meskipun apa yang yang dihidangkan sangatlah sederhana bagi calon seorang raja, dan jauh sekali dengan hidangan istana yang pernah ia nikmati. Raden merasa sangat senang, meskipun apa yang ada di depan matanya sekarang sangat sederhana tapi penuh kehangatan dan juga kasih sayang.
Sambil menikmati sarapan, mereka pun berbincang-bincang membahas sesuatu yang lumayan penting. Paman mengungkapkan usulnya.
"Raden, maaf sebelumnya. Demi menutupi identitas Raden, maukah Raden melakukan satu hal lagi? I... Itupun jika Raden Sastra bersedia" ucap paman ragu, ekspresinya menyiratkan kecemasan.
"Katakanlah" jawab Raden menatap seksama.
"Raden, beberapa penduduk sekitar sudah mulai mempertanyakan siapa pria yang ada di rumah Sekar, saya juga sudah menjawab dan berusaha untuk menutupinya. Tapi saya ragu jawaban itu hanya akan mengalihkan perhatian mereka untuk sementara waktu saja" ungkap Paman dengan mimik wajah serius.
Kirana mulai cemas menyimak pembicaraan itu, seperti yang ada di kotanya, barang siapa seorang wanita yang tinggal bersama seorang pria, bisa-bisa mereka akan digerebek warga. Bahkan akan diarak ke tempat umum, Kirana terbelalak karena takut dengan pikirannya sendiri. Jangan sampai itu terjadi padanya.
"Lantas, apa Paman ada ide lain supaya penduduk di desa ini tidak banyak bertanya?" tanya Raden, sepertinya ia juga agak khawatir mengenai hal ini.
"Ada, Raden. Tapi... Saya takut Raden akan murka" jawab paman pias.
"Katakanlah" ucap Raden menatap tajam.
Sebelum menjawab paman dan bibi saling pandang terlebih dulu, terlihat sangat jelas kalau Paman begitu ragu untuk mengatakannya. Sejenak Paman menatap ke arah Kirana yang menyimak sambil melahap makanannya, kemudian ia pun kembali mengalihkan pandangannya ke arah pria yang sedang menunggu jawaban.
"Untuk menghindari kesalahpahaman, bagaimana jika Raden... Berpura-pura menjadi suami Sekar" ucap paman lugas.
"Huuppp... Uhuk, uhuk, uhuk.... (tersedak) Apa!" tanya Kirana dengan lantang.
"Sekar! bibi sudah bilang pelan-pelan makannya! ini minumlah." bibi menyodorkan segelas air.
Kirana tersedak bukan karena tidak hati-hati saat menelan, tapi iya tersedak karena usulan paman barusan. Kirana melotot pada paman, dengan menahan teriakannya.
"A... apa paman sudah tidak waras!? Bagaimana mungkin Raden menjadi... "
"Aku bersedia!" jawab Raden Sastra dengan penuh keyakinan, memotong pembicaraan Kirana dengan paman.
"Apa kamu bilang?" tanya Kirana memastikan ia tidak salah dengar barusan.
"Aku setuju dan bersedia dengan usul paman" jawabnya menatap dingin.
"Terimakasih Raden, terimakasih" sahut paman seketika itu juga, membuat Kirana semakin geram pada paman.
"Aku tidak!" ucap Kirana keberatan.
"Apa-apaan ini! Saat terluka dia sudah sangat menyebalkan dan selalu menindasku, apalagi sampai jadi suamiku! Meskipun hanya berpura-pura, aku takut pria mesum ini akan bertindak semena-mena terhadapku." bisik Kirana dalam hati.
"Nyimas Sekar... Kau menolak seorang calon raja untuk menjadi suamimu? Jika paman tidak memaksaku untuk menjadi suamimu, mana mungkin aku sudi menikah denganmu! Aku melakukannya karena terpaksa." ucap Raden Sastra dengan seringai tipis tapi terlihat jelas dimata Kirana.
"Cih... Terpaksa? Dia bahkan menjawab dan menyetujuinya dengan sangat cepat!" bisik Kirana dalam hati sambil melirik tajam.
"Hey... Paman tidak memaksamu, dasar!" protes Kirana. "Paman, aku tidak mau! Dan kamu Raden, kamu tidak akan menjadi suamiku!" ucap Kirana kesal, entah seberapa merah wajahnya.
Kirana menyudahi sarapannya, ia bergegas turun dari lesehan dan hendak kembali kerumah. Kesal, malu, juga keberatan dengan usulan itu. enak saja Paman membuat usulan seperti itu tanpa memberi tahu dan meminta pendapatnya terlebih dulu. Begitulah keluh dalam hati Kirana .
Namun... Baru saja beberapa langkah dari halaman rumah paman, tiba-tiba ada segerombolan prajurit datang ke arahnya. Kirana terhenti, terkejut. Raden langsung memakai caping milik paman supaya wajahnya tidak terlalu terlihat oleh prajurit itu.
Para prajurit itu berhenti di hadapan Kirana, meskipun jantungnya mulai berdegup kencang, tapi Kirana mencoba untuk tetap bersikap tenang.
"Kau! Bukankah kau adalah wanita yang seharusnya sudah mati!" bentuk salah satu prajurit sambil menunjuk ke arah Kirana.
Kirana terdiam menatap tajam. "Jangan-jangan mereka adalah perajurit yang telah membunuh Sekar! Aku Kirana, bukan aku yang mati tapi Nyimas Sekar yang telah kalian bunuh!" ucap Kirana dalam hati, ia menggunakan tangannya dengan erat menahan amarahnya.
Tapi mau bagaimanapun juga, Kirana belum bisa melakukan apa-apa sekarang. Raden masih dalam tahap penyamaran, ia juga tidak ingin mengacaukannya.
"Ampun Tuan. Saya masih hidup dan belum mati" ucap Kirana dengan sangat sopan.
Entah kenapa jawaban Kirana membuat prajurit itu saling melempar pandang. Dari gelagat mereka Kirana jadi penasaran, seperti apa mereka menganiaya Sekar sampai-sampai ketika melihat wujud yang sama persis, prajurit itu begitu heran dan terkejut.