Seharusnya Kirana merasa bahagia karena Raden bersedia membantunya, namun entah kenapa ia merasakan ada rasa sepi yang begitu dalam. Raden adalah orang yang sama sekali tidak dapat ditebak, suasananya sangat mudah berubah.
"Raka, dimana alas tidurku?" tanya Kirana sambil menoleh kesana kemari dan mencoba untuk mencari alas tidurnya di lemari kayu.
"Sudah di buang" jawab Raden sastra dengan nada santai.
"Apa???" Kirana menoleh ke arahnya dengan ekspresi yang terkejut.
"Kenapa? Apa kau lupa? kita ini sudah suami istri jadi kau harus tidur bersamaku" ucap Raden sastra dengan seringai tipisnya.
"Lihat... Dia mulai lagi mengerjai aku!" bisik Kirana dalam hati.
"Baru saja kamu bersikap manis padaku dan sekarang berubah menjadi menyebalkan lagi! Sebenarnya kamu itu..." Kirana kesal, tapi ia kemudian terdiam lalu mengangkat sebelah alisnya.
Belum selesai Kirana bicara Raden Sastra sudah bersiap di atas tempat tidur dengan senyuman yang aneh, tangannya menepuk dipan sebagai isyarat di sanalah Kirana akan tidur. Sikap pria itu membuat Kirana bergidik dan geli.
"Mau sampai kapan kau berdiri mematung seperti itu? Cepatlah tidur aku janji tidak akan melakukannya meskipun sebenarnya aku sudah tidak tahan" ucapnya.
"A... Apa maksudmu tidak tahan?" Kirana tidak mengerti.
"Cepat tidur! Tidak perlu banyak tanya. Atau aku akan berubah pikiran dan menerkammu tanpa ampun!"
Ancaman yang cukup mengerikan, Kirana bimbang, antara maju atau dia tetap akan tidur di lantai meskipun tanpa alas.
Tapi Raden Sastra kembali meliriknya dengan lirikan mautnya, Kirana terperajat langsung naik ke dipan dan tidur membelakangi Raden Sastra.
"Terlalu pinggir. Kau bisa jatuh!" ucap Raden Sastra.
Kirana menggeser tubuhnya ke belakang hanya beberapa milimeter saja, tidak berani dekat-dekat. Tapi, tiba-tiba saja... Raden Sastra langsung memeluknya dari belakang dan mendorongnya dari pinggir ke tengah.
"Kamu, kamu sudah janji tidak akan..." protes Kirana gemetar.
"Tidurlah dan jangan bergerak" ucap Raden Sastra kemudian.
Kirana terdiam dengan debaran jantung yang kencang, ia berusaha menutupi bagian dadanya menggunakan tangan supaya pria itu tidak menerobosnya lagi.
Tapi setelah Raden memeluknya, tidak ada gerakan apapun lagi. Suasana juga menjadi hening, Kirana pun mulai larut dengan rasa kantuknya. Namun, tiba-tiba ia teringat dengan pesan paman tadi pagi.
"Raden... Ada yang ingin aku sampaikan" ucap Kirana mencoba membuka pembicaraan.
"Apa? Jika selain kata "Aku tampan" aku tidak akan mendengarkanmu!" jawaban yang menyebalkan.
"Jangan terlalu percaya diri! Aku cuma mau bilang tadi pagi paman memintamu untuk membantu mencangkul ladang milik kepala desa besok" ucap Kirana.
Ia tidak mau basa basi lagi, yang penting ia sudah menyampaikan pesan paman.
"Hmm. Baiklah, sekarang berhentilah berbicara dan jangan bergerak. Aku sedang mencoba sabar Kirana!" jawab Raden Sastra dengan suara berat.
Tapi... Tapi apa maksudnya mencoba sabar? Kirana bingung, Raden Sastra semakin memeluknya erat, mendempetkan tubuhnya sampai Kirana merasakan ada benda keras yang mengganjal di bokongnya. Kirana diam dan tidak berani bergerak sedikitpun, ia mencoba terlelap meskipun tidak nyaman dengan benda itu.
________Keesokan Harinya_______
Matahari belum sepenuhnya terbit, tapi bibi sudah mengajak Kirana pergi ke sungai untuk mengambil air dan mencuci pakaiannya.
Kebetulan juga, air di kendi memang tinggal sedikit. Dan ia malas sekali jika harus menimba, nggak mungkin juga minta tolong pada pria priyayi itu. Yang ada nanti malah jadi panjang kali lebar.
Mereka berjalan menyusuri bukit dengan pemandangan yang cantik, meskipun belum terlalu terlihat tapi udara segar sudah menjadi bukti bahwa disini benar-benar asri.
Jalanan setapak menuju sungai ini mengingatkan Kirana pada jalan setapak yang ada di kampung halamannya. Kirana pun merenung sambil menikmati perjalanan.
"Aku kangen sama teman-teman. Dan... Apakah keluargaku sedang khawatir dan mencari ku sekarang ini? Aku sudah terlalu lama pergi, atau mungkin mereka sudah menganggapku mati" bisik Kirana sedih.
"Sekar... Sepanjang perjalanan ini kenapa kau hanya melamun saja, apa kau kelelahan gara-gara semalam?" ucap bibi tersenyum nakal.
"Maksud bibi?" Kirana tidak mengerti.
"Kau itu kenapa polos sekali! Itu lhoo apa semalam kau dan Raden...." bibi menekan-nekan kedua telapak tangannya.
"Bibi ngomong apa sih? Sekar ngga ngerti, kenapa tangan bibi seperti itu? Apa tangan bibi sakit? Sini coba Kirana lihat"
Kirana meletakkan keranjang anyam pakaian kotornya kemudian memeriksa telapak tangan bibi.
"Aduh bocah ini! Tangan bibi baik-baik saja Sekar. Bibi cuma mau tanya, kau dan Raden kan sudah resmi menikah, apa... Semalam kau sudah melayaninya? Hemm?" bibi tertawa ringan.
"Emmm... I... Itu... Itu..." Kirana mengalihkan pandangannya, ia mencoba berfikir untuk mengalihkan supaya bibi tidak membahas tentang malam pertama.
"Eh... Lihat Bi. Kita sudah sampai di sungai" ucap Kirana mengalihkan perhatian dan tidak menjawab pertanyaan bibi, ia langsung berlari kecil ke sungai itu.
Meskipun perjalanan ke sungai agak jauh, Kirana tidak merasa lelah. Ia hanya merasa ngantuk karena semalaman tidak bisa tidur dengan nyenyak.
Kalau Kirana cerita pada bibi tentang hal semalam... Habislah, bisa-bisa di buat bahan ejekan nanti. Sudah beruntung ia masih bisa mempertahankan keperawanan, tapi pria tengil itu selalu membuatnya ingin meledak.
Usai mencuci, Kirana mengisi penuh kendi dengan air sungai yang masih sangat jernih. Sungguh berbeda sekali dengan sungai yang ada di kota, jangankan untuk minum, untuk mencuci aja sudah terlihat tidak layak sekali.
Sambil menunggu bibi selesai, Kirana duduk di atas batu dan merendam telapak kakinya, ia menikmati pemandangan sungai yang begitu tenang.
"Sekar, apa kau sudah menyampaikan pesan paman kemarin? Bagaimana? Apa Reden bersedia ikut ke ladang?" tanya bibi masih dengan melakukan aktivitasnya.
"Sudah Bi, Raden juga bersedia untuk ikut paman ke ladang" jawab Kirana tersenyum lebar.
"Syukurlah, kalau begitu aku harus cepat-cepat selesai. Karena harus menyiapkan makanan siang untuk para pekerja ladang nanti. Maklumlah, setiap kali kepala desa panen, kita semua harus datang ke ladangnya" ucap bibi penuh semangat.
"Iya bi, tapi tidak perlu terlalu buru-buru juga. Nanti malah gak bersih jadinya"
"Haha iya. Saking Semangatnya" ucap bibi riang.
Kirana tertawa sambil menggelengkan kepalanya, kemudian ia melanjutkan menikmati pemandangan sungai.
Tapi... Matanya terhenti ketika ia melihat ke arah seberang sungai itu. Kirana menyipitkan mata dan menajamkan pandangannya, memastikan bahwa ia tidak salah lihat, kalau di seberang sungai ada seseorang.
Kirana mengamati orang itu, dari pakaiannya yang serba putih, janggut panjang, wajah tua dan tongkat... Sepertinya tidak asing lagi, Kirana pernah melihatnya.
Pria tua itu mendekat ke pinggir sungai untuk minum, wajahnya semakin jelas terlihat. Kirana terbelalak karena sadar siapa orang yang ia awasi sejak tadi itu.
"Itu kan si kakek tua yang membuatku terjebak disini!" pekik Kirana dalam hati.