Kirana terdiam di atas tempat tidur, menyisihkan semua gemetar yang ia alami. "Apa yang sudah aku lakukan?" gumam Kirana mengingat sambil mendengus panjang.
Memeluknya saja rasanya sudah seperti melakukan kejahatan besar. Sebelumnya Kirana juga pernah memeluk Raden ketika diajak terbang, tapi rasanya tidak seperti malam ini.
Malam berikutnya Kirana dan Raden makan dengan canggung, terlebih lagi Kirana merasa malu karena kejadian kemarin. Tapi sepertinya Raden biasa aja seperti tidak pernah terjadi apa-apa. "Dia ga marah kan?bisik Kirana dalam hati namun tidak berani sedikitpun melirik.
"Jika kamu memiliki pertanyaan, tanyakanlah" ucap Raden setelah selesai makan, ia berdiri lalu pergi ke bangku bambu yang berada di depan rumah.
"Hah? Aku sampai lupa kalau dia bisa membaca pikiran orang!" gumam Kirana sambil membereskan tempat makan.
Usai membereskan peralatan makan, Kirana diam mematung, belum berani keluar menemuinya menuju bangku bambu. "Apa mau sampai pagi kau akan berdiri disana!" hardik Raden yang mulai terdengar kesal. Kirana semakin gelagapan mendengarnya, ia Bergegas menuju bangku bambu dan duduk di sebelah Raden.
"Hehe" ucap Kirana sambil meringis. Tapi Raden menanggapinya dengan ekspresi datar. "Oh iya, darimana kamu belajar drama kemarin? Kamu bisa mengusir para prajurit itu tanpa harus bertarung, haha. Kau hebat, bisa membuatnya pergi ketakutan seperti itu" Kirana mencoba untuk mencairkan suasana canggung.
"Bukan itu yang ingin kau bahas kan?" Raden menatapnya seksama.
Kirana terdiam, pria aneh. Dia seperti orang yang memiliki sifat ganda, kadang lembut, kasar dan galak, kadang bijaksana, tapi lebih sering dingin dan menyebalkan!
"Ehm... Baiklah, bukan itu yang ingin aku bahas" ucap Kirana lalu tertunduk. "Raden... Boleh aku tau, seperti apa sosok yang bernama Birok Ireng? Aku ingin mendengar langsung darimu" tanya Kirana menatap lekat pada Raden, sesaat ia melihat alis Raden Sastra merenyit mendengar pertanyaan itu.
"Ada hubungan apa kau dengan Birok Ireng? Kenapa kau ingin tau tentangnya!" tiba-tiba saja Raden mencengkram erat rahang Kirana. "Dia pamanku, ada hubungan apa antara kamu dan Birok Ireng!!!?" Ekspresi Raden berubah drastis, yang tadinya terlihat tenang kini terlihat memerah memendam amarah.
Raden tidak memberi kesempatan pada Kirana untuk menjelaskan, belum cengkraman tangan Raden lepas dari rahang Kirana, tiba-tiba saja suatu getaran kuat itu mulai terasa kembali, hawa panas menyeruak di setiap otot dalam tubuh Kirana. Gadis itu masih sadar, tapi tidak mampu mengendalikan tubuhnya. Entah apa yang sedang merasukinya.
"Dia telah membunuh kedua orang tuaku!" ucap Kirana dengan suara yang berat.
"Apa?" Raden terkejut.
"Kau adalah keponakan dari Birok Ireng!" Raden terdiam dan menatap Kirana dalam, cengkeraman tangannya perlahan terlepas.
"Sekar, hentikan! Aku mohon hentikan!" jerit Kirana dalam hati, mencoba meredam amarah dari arwah asli Nyimas Sekar yang masuk kedalam tubuhnya.
"Kirana... " Raden bergumam lirih. Sedangkan Kirana semakin tidak terkendali.
"Saat aku berumur 10 tahun aku harus menanggung kepedihan hidup sendiri, aku harus menjadi saksi atas kematian ayah, ibu! Birok Ireng memenggal mereka di hadapanku dan bahkan mereka membuang mayat orang tuaku untuk dijadikan makanan binatang buas!" ucap Kirana dengan suara yang mengerang.
"Kirana kendalikan dirimu!" Raden mencoba menenangkan.
"Kau sama persis dengan Birok Ireng bukan? Kau tidak berperasaan, dan tidak pernah memikirkan nasib rakyatnya!"
Raden hanya terdiam, sedangkan Kirana? Berusaha untuk bebas dari amarah Sekar, mencoba untuk mengambil alih tubuhnya.
Tapi dorongan amarah terlalu kuat untuk dilawan. "Birok Ireng harus mati! Dia harus MATI!!!" jari jemari Kirana mulai kaku membentuk cakaran dan siap menyerang siapapun yang ada di dekatnya, bahkan Raden Sastra sekalipun.
"Sekar. Aku mohon hentikan! Bukankah kamu menyukainya? Apa kamu juga akan menyakitinya?!" bisik Kirana dalam hati mencoba untuk berontak dari dalam.
Raden Sastra mendekat perlahan, tanpa mengalihkan sekedip mata pun dari Kirana.
"Aku tau kesedihanmu, tapi jangan seperti ini, Sadarlah..." ucap Raden dengan suara yang sangat lembut dan menengangkan.
"Meskipun sekarang aku tidak bisa berbuat apa-apa, tetapi aku bersumpah akan membantumu membalas dendam kepada Birok Ireng. Bersumpah untuk orang tuamu dan juga ayahandaku"
Sekar mulai terlihat tenang, hanya saja tubuh Kirana masih gemetar kuat. Antara luluh dan juga amarah, mata yang berair masih menatap lekat Raden Sastra. Antara benci dan juga harapan, meskipun Sekar sangat membenci orang-orang istana semasa hidupnya, tapi dia juga sebenarnya berharap penuh pada Raden Sastra.
Mengetahui Sekar yang mulai mempercayainya, Raden langsung memeluk dengan raga Kirana dengan erat. Sekar yang masih merasuki berusaha berontak dan melepaskan pelukan itu, namun dekapannya begitu kuat.
Sampai pada akhirnya Sekar merasakan hawa dingin yang masuk kedalam dadanya, tenaganya semakin melemah seperti ada sesuatu yang menyerapnya.
"Sekar... Tenanglah" bisikan Raden terdengar begitu lembut membuat mata Kirana terpejam dan iapun jatuh di dalam dekapannya.
*****Keesokan Harinya*****
Suara ayam berkokok dan burung-burung hutan perlahan mengumpulkan kesadaran Kirana, ia membuka mata perlahan, lalu melirik ke arah jendela yang sudah terbuka lebar. Meskipun matahari telah terbit terang, rasanya enggan beranjak dari tempat tidurnya.
"Aduh... Badanku rasanya linu sekali" keluh Kirana, di setiap persendian tulang rasanya seperti kaku jika digerakkan.
Kirana duduk dan mengingat-ingat apa saja yang terjadi semalam. "Kenapa aku bisa tidur di tempat tidur? Hah, Raden?!" Kirana terperanjat, ia berusaha turun dari tempat tidur dan berusaha keluar untuk mencarinya. meskipun kaki rasanya gemetar, tidak mampu menopang tubuhnya.
"Aku harus mencarinya. Bagaimana jika para prajurit itu sampai menemukannya dan melukainya!" ucap Kirana berusaha berjalan keluar sambil berpegangan pagar.
"Aku baik-baik saja" tiba-tiba terdengar jawaban dari arah dapur. Raden langsung menggendong Kirana.
"Raden! Apa yang kamu lakukan" protes Kirana.
"Tenanglah aku hanya ingin membantumu, tenagamu belum pulih bukan?" ucap Raden menatap dalam.
Deg, deg, deg.
Jantung Kirana mulai berdegup kencang, ia bahkan sama sekali tidak berani bergerak sedikitpun. Malu, gugup, telinganya menempel di dadanya yang bidang, hingga ia bisa mendengar detak jantung Raden Sastra yang berirama tenang.
Gugup, canggung... Tapi ada perasaan nyaman dan hangat yang belum pernah Kirana rasakan sebelumnya.
"Raden maaf, saya sudah menyusahkan" ucap Kirana mencoba untuk mengalihkan perasaannya.
Raden terdiam, tiba-tiba pandangan matanya beralih pada pada Kirana. Gadis itu terpaku saat bertatapan dengannya sedekat ini, dadanya semakin berdebar kuat.
"Wajahmu merah" ucap ucap Raden kemudian tersenyum tipis.
"Mu... mungkin karena panas" jawab Kirana gugup.
Setelah sampai di tempat tidur, Raden Sastra masih menopang dan meletakkan Kirana di atas pangkuannya. Kirana tidak mengerti, kenapa Raden Sastra tidak langsung menaruhnya di atas dipan saja.
"Raden letakkan aku di dipan saja" ucapnya kemudian.
"Aku masih nyaman seperti ini Kirana, apa kamu gugup? Aku bisa merasakan debaran jantungmu" ucap Raden dengan nada tenang.
Apa yang harus dijawab, jika jujur... Kirana tidak berani, jika berbohong... Ia benar merasa gugup. Kirana terdiam tidak menjawab, situasi itu membuat dirinya serba salah tingkah.