"perjodohan"
Kata-kata yang masih terngiang-iang di kepala kecil Bulan, untuk berpacaran saja rasanya sangat berat apalagi sekarang dia harus menikah dengan orang yang dia sendiri tidak kenal. Namun dia juga kasihan dengan ayahnya sampai memohon-mohon agara dirinya menerima perjodohan ini, karena hanya perjodohan ini yang menyelamatkan perusahaan keluarganya.
"Kenapa harus gue sih, kayak enggak ada yang lebih bagusan dari gue." Gumam Bulan yang heran dengan anak teman ayahnya, yang mengharuskan perjodohan ini di lakukan oleh dirinya dan anak itu. Padahal ibunya lebih menyetujui Mentari.
Bulan terus melamun di depan tv sambil membayangkan jika orang yang di jodohkan dengan dirinya om-om bagaimana nasib dirinya, dia tidak mau menikah dengan orang yang tidak dia cintai. Karena menikah bukanlah hal main-main dirinya ingin menikah satu kali seumur hidup.
Pusing memikirkan perjodohan gila tersebut Bulan lelah hingga tertidur di atas sofa ruangan tv, dirinya sangat lelah dengan kehidupannya hari ini kapankah dirinya bisa memilih kehidupan seperti orang lain yang bisa bahagia dengan pilihannya sendiri. Mungkin hanya dengan bermimpi dirinya bisa lebih tenang.
Sedangkan pukul 10 malam Devano baru pulang ke apartemen karena dirinya masih takut pulang, dirinya takut jika ayah Bulan mengetahui dirinya tinggal bersama anak perempuannya. Saat di depan ruangan tv Devano sangat terkejut melihat Bulan yang tertidur diatas sofa, sangat jarang jika Bulan tidur di sofa.
"Capek banget ya hidup lo," Devano mengangkat tubuh mungil Bulan menuju kamarnya.
Bulan tertidur sangat lelap hingga dirinya tak sadar jika di gendong oleh Devano. "Mimpi indah ya tuan putri," Devano mengecup kening Bulan, dirinya sangat menyayangi Bulan bagaikan adiknya sendiri, namun dirinya tak bisa berlama-lama disini dia harus pulang ke Nagara tempat tinggal orang tuanya.
Hari Minggu adalah hari kemerdekaan bagi semua siswa tak kecuali Bulan, karena Bulan bisa bangun siang dan santai-santai di rumah tanpa memikirkan rumitnya rumus-rumus. Namun tak untuk hari ini, karena ulah Reza yang datang ke apartemen Bulan pukul 5pagi hanya untuk mengajaknya pergi ke suatu tempat.
"Lo gila ya za, bangunin gue sepagi ini," Bulan tak henti-hentinya ngedumel di mobil.
"Kemarin kan lo udah janji mau temenin gue pergi," kemarin Reza sudah memberitahu Bulan bahwa hari ini dirinya akan mengajak Bulan pergi.
"Ya tapi gak jam gini juga, pangeran mimpi gue jadi ilang gara-gara lo yang bangunin gue sepagi ini." Bulan ngedumel tak henti-hentinya.
"Udah ada pangeran di dunia nyata di depan lo malah sia-siakan," gumam Reza.
"Pangeran bukan, malaikat pencabut nyawa yang ada." Ucapan Bulan tak di balas lagi oleh Reza dirinya masih fokus mengemudi.
Reza mengemudikan mobilnya ke arah pantai, Bulan sangat terkejut saat sampai di pantai dirinya tak menyangka jika Reza mengajaknya pergi ke pantai sepagi ini. "Lo emang gila Za, lo mau buat gue mati kedinginan disini." Bulan terus mengelus tangannya yang dingin, dirinya tak membawa jaket karena dia pikir Reza tak akan mengajaknya ke sini. Sedangkan Reza hanya berjalan mendahului dirinya dan tidak menghiraukan ucapannya.
"Dasar cowok gak peka." Gumam Bulan.
Reza terus berjalan ke bibir pantai, dia berharap angin pantai dapat menghilangkan masalahnya beberapa hari ini. Dia sangat lelah dengan kehidupan broken home ini, uang dan harta memang memenuhi kebutuhan dia namun tidak untuk kekosongan hatinya. Reza sangat merindukan kasih sayang kedua orang tuanya, kini mereka telah direnggut oleh pekerjaan mereka. Di tambah orang tua Reza yang akhir-akhir ini selalu berantem hingga kekerasan yang di lakukan ayahnya membuat dirinya tertekan.
"Bengong bae lo bang," Bulan menatap Reza aneh tak biasanya Reza melamun seperti ini.
"Gue enggak tau serumit apa masalah hidup lo, tapi kalau lo butuh telinga untuk mendengar keluh kesah lo atau bahu untuk bersandar lo tinggal balik belakang dan lo bakal lihat gue ada di baris terdepan,". Mendengar ucapan dari Bulan membuat suasana hati Reza mulai membaik, tak tahu kenapa setiap kali melihat gadis di depannya ngoceh tak karuan membuat dirinya senang.
"Ciee udah perhatian nih sekarang." Reza menaik turunkan alisnya berusaha menggoda Bulan.
"Apaan sih, gue cuma mau bantuin lo doang. Udah baik gue ini mah." Bulan mengalihkan pandangannya dari Reza yang terus menatapnya.
Keadaan di pantai sangat dingin, angin pantai bagai silet menusuk kulit lembut Bulan. Namun pemandangan pantai tak kalah indahnya, mungkin angin malam akan membuat Reza dan Bulan sedikit tenang dengan masalah yang menghampiri mereka akhir-akhir ini.
Reza menatap Bulan yang terus menggosok-gosok tangannya, Reza rasa Bulan kedinginan karena dirinya tak memakai jaket. Reza melepas jaketnya lalu dirinya memeluk bahu Bulan dan memakai jaketnya ke bahu dirinya dan Bulan. Serta Reza berusaha mengangkat kan tangan Bulan dengan menggosok-gosok tangan Bulan dan meniupnya.
"Masih dingin?" Pertanyaan lembut serta perlakuan Reza membuat jantung Bulan tak henti-hentinya berdetak, entah pipi Bulan sudah Semerah apa dirinya sangat malu di perlakukan lembut seperti ini. Dia hanya mampu mengangguk tak mampu menjawab pertanyaan Reza.
Reza dan Bulan menatap matahari yang baru terbit, matahari begitu cantik di pagi hari sangat mampu menghipnotis mata.
"Cantik ya," Reza lagi-lagi menatap Bulan serta tersenyum manis tidak lupa terus mengelus lembut tangan Bulan. Bukan hanya sampai disitu saja, Reza juga mengelus-elus rambut Bulan.
"Lemah gue lemah." batin Bulan.
Tepat pukul 8 pagi Bulan dan Reza sudah sampai di depan apartemen Bulan, mereka berdua tak henti-hentinya berbicara tentang keindahan pantai. Memang ciptaan tuhan amat indah.
"Za gak mau mampir dulu?" Tanya Bulan kepada Reza, dia hendak mengajak Reza untuk sarapan.
"Enggak gue langsung pulang aja," Reza lalu melajukan mobilnya setelah pamitan dengan Bulan.
Sedangkan di dapur apartemen Bulan abangnya Devano tengah sibuk menyiapkan makanan untuk Bulan.
"Anak gadis, anak cantik baru pulang dasar as--" belum sempat Devano melanjutkan ucapannya sebuah botol melayang di gidatnya.
"Ngomong apa lo, dasar abang kampret," Bulan hendak pergi ke kamarnya namun di tahan oleh Devano.
"Anak perawan gak baik ngambek, nih gue udah buat nasi goreng plus-plus telur ceplok 3 butir," terang Devano.
"Bisulan dong gue," gumam Bulan, namun Bulan tetap memakan nasi goreng buatan Devano. Walaupun rasanya asin Bulan tetap menghabiskan nasi goreng tersebut Bulan harus menghargai usaha Devano.
Sedangkan di sebuah rumah bak istana tengah terjadi keributan antara istri dan suami. Laki-laki tua tersebut melemparkan sebuah pas ke arah istrinya, namun lemparan tersebut mengenai kepala anaknya hingga darah segar keluar dari belakang kepala anaknya. "Dasar laki-laki kejam," maki-maki istrinya, lalu memanggil satpam rumahnya dan membawa anak semata wayangnya ke rumah sakit.