Chereads / You're Doing Well / Chapter 13 - Serpih ke Duabelas : TIDAK PEDULI

Chapter 13 - Serpih ke Duabelas : TIDAK PEDULI

TIDAK PEDULI

.

.

.

Kelopak itu mengerjap pelan bersamaan dengan ringisan pelan merasakan bagaimana kepalanya berdenyut. Hingga ketika jelas semakin ia tangkap, hela napasnya terdengar kemudian. Tidak ada siapapun di sini. Ah, memangnya ia bisa berharap jika Abi dan Abyaz ada di sini? ia kan menyusahkan. Senyum tipisnya terulas mengingat hal-hal yang terjadi sebelum ia berakhir di sini.

Narel memutuskan untuk bangkit dari sana. Menolak menyusahkan orang lain lebih jauh dari ini. Kendati tubuhnya masih begitu lemas, Narel tak ingin peduli tentang itu. Sebelum mereka datang dan ia akan menyusahkan lebih jauh lagi. Dengan langkah tertatih, Narel beranjak pergi.

Dengan penuh perjuangan, akhirnya Narel berhasil memberhentikan taksi yang kebetulan lewat di hadapannya. Taksi mulai berjalan dan Narel memilih menyandarkan kepalanya pada jendela. Ia lelah, sungguh. Namun lelahnya belum mampu membuat segala pikiran buruknya pergi begitu saja. Seakan segala lelahnya malah membuatnya kembali membuatnya mengingat segala perih yang ia sembunyikan. Jika biasanya, hari-hari yang melelahkan mampu membuatnya lupa, kali ini seakan menjadi sebaliknya.

Narel menatap hamparan langit luas. Menarik senyum tipis, berharap mampu menatap wajah Mama melalui arakan awan yang melewatinya. Narel rindu, sungguh. Mentalnya rusak sejak lama dan ia tak mencoba menyembunyikan jika keinginan untuk menemui Mama lebih besar daripada keinginannya untuk bertahan hidup.

Hingga pikiran liarnya terhenti ketika supir taksi menarik sadarnya tiba-tiba. Anak itu memilih tersenyum sembari menyodorkan lembaran uang untuk membayar. Bahkan ketika taksi tersebut sudah menghilang dari pandangan, Narel masih berdiri di sana. Menatap langit dan menarik senyumnya di sana.

"Mama,"

.

.

.

Sepi. Rumah besar tempat tinggalnya kini sepi. Ah, bukannya itu adalah hal biasa. Tidak seharusnya Narel merasa keberatan. Lagipula ia siapa di sini. Langkah beratnya ia bawa menuju satu-satunya tempat beristirahat yang ia miliki. Begitu pintu itu tertutup rapat, tubuh Narel merosot di sana. Menyandarkan seluruh beban tubuhnya pada sisian pintu yang dingin.

Bohong jika ia bilang ia lupa akan perkataan Abisatya di waktu lalu. Bahkan kini kepalanya terus mengulang bagian yang sama hingga membuat telinganya berdenging sakit. Ia tahu, Abi tidak berbohong tentang ucapannya. Karena bagi Narel, ucapan orang emosi lebih jujur dari apapun. Narel tak tahu lagi apa yang harus ia perbuat setelah ini. Karena setelah ia kehilangan rumahnya, hanya Abi dan Abyaz yang ia miliki untuk tempatnya pulang. Dan jika ia kehilangan mereka, kemana ia harus pergi?

Air matanya luruh perlahan bersamaan dengan ketakutannya yang semakin memeluk erat. Isakannya tak terdengar, namun basah wajahnya sudah mampu menjelaskan seberapa jauh ia terluka. Ringisannya terdengar begitu tiap tekanan terasa begitu terulang lagi. Hingga semuanya terasa terhenti begitu saja bersamaan dengan wajah basahnya yang terangkat tegang.

Pandangannya meliar bersamaan dengan tubuhnya yang terseok mendekat pada nakas di sisian tempat tidurnya. Geraknya begitu gelisah mencari sesuatu yang mungkin saja mampu membantunya. Hingga ketika pencariannya ditemukan, tanpa sadar menahan napas. Ragu yang awalnya menahan gerak, kini Narel membuang segala pertimbangan yang pernah ia buat. Toh, bahkan ketika ia memilih matipun tak akan ada yang peduli.

Kekehnya terdengar bersamaan dengan ujung tajam yang menggores lengan kirinya perlahan. Dalam pejam, Narel menemukan wajah sang Mama yang menatap sedih ke arahnya.

Satu.

Dua.

Tiga.

Gores tajam memerah basah itu kini tercipta di lengan kirinya yang semula bersih tanpa luka. Wajah Mama perlahan mengabur seiring dengan perih yang semakin terasa. Namun senyum di wajah Narel tetap di sana, menyadari sesak yang semula menghimpit dadanya, kini perlahan menghilang tergantikan oleh perih yang berdenyut di lengan kirinya.

Narel tak pernah tahu jika akan selega ini rasanya. Setelah sekian rasa sakit yang tak juga menghilang dari batinnya, kini semua seakan terangkat, akan visualisasi yang terbentuk di bagian tubuhnya yang lain.

Pandangannya tertuju pada tetesan darah yang kini mengotori lantai bersih kamarnya. Semakin banyak dan Narel bahkan tak berniat membersihkannya. Hingga pada kantuk yang perlahan menyelimutinya, Narel tak ingin mengelak. Tubuhnya lelah dan ia ingin tidur. Pada dentang yang terus berbunyi, tubuh itu meluruh bersama pejam yang lama. Mengistirahatkan setiap bagian dirinya yang seperti tak ingin lagi bangkit untuk bertahan.

.

.

.

"Mau makan apa, biar gue masakin,"

Itu suara Nara. Gadis cantik itu telah berada cukup lama di kediaman Nagarjuna demi menemani Hara. Tak mendengar jawaban apapun, Nara menoleh dan mendapati Hara yang sibuk mencoret-coret pekerjaannya di meja. Nara sudah cukup paham mengenai tabiat Hara yang kini menjadi semaunya sendiri. Yah, pada kenyataannya waktu dapat mengubah segalanya, kan?

Sampai akhirnya Nara memutuskan untuk membuat pasta berhubung hanya itu yang ada di kulkas sekarang. Tak membutuhkan waktu lama, dua piring pasta sudah berada di meja makan dengan bau yang semerbak. Namun, Hara sepertinya tak terganggu akan itu, karena ia masih berdiam diri di tempat tanpa menyadari apapun.

"Hara,"

Sentuhan lembut di tangannya yang dingin menyadarkan Hara dari lamunan panjangnya. Itu Nara, tersenyum lembut padanya. Di antara semua hal perih di hidupnya, Hara masih begitu bersyukur akan kehadiran Nara di hidupnya. Gadis itu mau menemaninya bahkan ketika semua hal baik terenggut dari hidupnya secara paksa.

"Makan dulu, lo belum makan dari pagi, kan?"

Senyum tipisnya terulas kemudian. Mereka makan dalam hening. Hanya terdengar denting sendok dan musik yang dinyalakan Nara sejak awal ia memasuki rumah. Diam-diam Nara sebenarnya menanyakan keberadaan Narel. Ia mengkhawatirkan keadaan Narel yang tak dilihatnya sejak ia ke sini. Perasaannya tak tenang, namun jika ia bertanya pada Hara, semuanya akan menjadi semakin buruk.

Daripada mengkhawatirkan Hara, Nara sebenarnya lebih mengkhawatirkan Narel. Karena ketika ia pertama kali melihat seberapa banyak luka yang berusaha ia sembunyikan, Nara tidak pernah bisa untuk mengabaikannya. Ia tahu, Hara dan Narel memiliki luka yang sama, tentang kehilangan yang tak pernah mereka bayangkan sebelumnya. Namun Hara masih memiliki Ayah Wayan dan ia sendiri, namun bagi Narel, semua orang seakan pergi darinya. Narel tak punya siapapun, dan jika ia memilih tak peduli, ia akan menjadi sangat jahat.

Hingga pada waktu yang tak pernah diharapkan, suara langkah pelan terdengar di telinga Nara. Dan benar saja, beberapa langkah di belakangnya, Narel ada di sana, menatapnya aneh tanpa ekspresi apapun. Demi apapun, Narel terlihat begitu kacau dengan apapun yang terjadi. Wajahnya pasi dengan lingkaran merah di bawah matanya. Ia terlihat begitu buruk. Nara berusaha menarik senyumnya, meyakinkan Narel bahwa ia tak sendiri. Namun Narel sepertinya tak peduli, karena ia hanya kembali melanjutkan langkah dan kembali pada tujuan awalnya.

Nara melirik pada Hara yang masih santai melanjutkan makan malamnya. Tak merasa terganggu atau bahkan mungkin sengaja tak menyadari keberadaan Narel di sana. Nara menghela napas pelan. Begitu prihatin dengan keadaan dua kakak beradik di hadapannya.

Narel berusaha tak menghiraukan apapun. Meski dalam hatinya, ia menyesal harus bertemu dengan mereka yang begitu ia hindari, namun hausnya tak mampu menunggu lebih lama. Demi apapun, ia hanya ingin minum dengan tenang, ia lelah dan ia sedang tak ingin mengundang kekacauan apapun.

"Narel belum makan, kan? Sini duduk dulu, biar kakak masakin, ya?"

Sial.

Narel sedang tak ingin menganggu, namun Nara yang kelewat baik malah menawarinya makanan. Dari tempatnya berdiri, ia bahkan mampu merasakan aura gelap yang dikeluarkan Hara. Pertanda buruk jika ia semakin lama berada di sini. Hara bisa membunuhnya kapanpun.

"Udah, kak.. Makasih. Aku ke kamar dulu,"

Dengan senyum yang berusaha mati-matian ia tunjukan, Narel dengan segelas air di tangan memutuskan beranjak dari sana. Namun sepertinya, takdir menginginkan sebaliknya. Karena pada langkah selanjutnya, perkataan Hara kembali membuatnya retak lebih dalam.

"Ngapain lo peduli sama dia, Ra? Biarin aja mati,"

"Hara!"

Itu Nara. Berteriak nyaring demi membelanya. Narel merasa semakin tidak berguna dengan apa yang telah Hara katakan. Seakan hidupnya menjadi tak seberarti itu hingga satu-satunya kakak yang seharusnya menjadi pelindungnya menjadi orang yang bahkan membiarkannya mati begitu saja. Setidakberarti itukah ia di mata Hara?

"Dia adek lo, Ra. Dia Narel, bukan orang lain. Nggak seharusnya lo bilang gitu,"

"Berapa kali gue harus bilang ke lo, sih, Ra. Gue nggak pernah punya adek. Dia yang buat Mama mati asal lo lupa!"

"Hara!"

"Apa?! Nggak usah belain dia! Lo nggak tau keadaannya!"

"Iya, gue emang nggak tau keadaannya, tapi Narel itu adek lo, lo seharusnya lindungin dia, Lo kakaknya, Hara,"

"Dia buat Mama-"

"UDAH!"

Itu Narel. Bersamaan dengan gelas dalam genggamannya yang meluruh membentur lantai. Menciptakan derak suara keras dengan serpihan tajam yang meruah di segala sisi. Tak peduli pada kakinya yang mungkin terluka. Tubuhnya bergetar dengan basah wajah yang tak coba ia sembunyikan. Anak itu berbalik, menatap dua manusia di hadapannya dengan sorot luka yang begitu kentara.

"Aku juga nggak pernah minta untuk tetap hidup, Kak. Kalo aku bisa, aku lebih milih ikut Mama, atau bahkan gantiin posisi Mama waktu itu,

… Aku minta maaf,"

Tubuh ringkih itu berbalik. Tak peduli kakinya yang menginjak pecahan kaca yang pasti akan berdarah setelah ini. Narel tak peduli apapun. Meninggalkan dua manusia berbeda emosi di belakangnya.

Nara terkesiap. Ia melihat semuanya. Bagaimana sorot luka yang begitu kentara, seakan menyatakan betapa kesakitannya ia. Nara meluruh untuk menangis kemudian. Ia menyesal, begitu menyesal. Seharusnya ia mampu menyelamatkan anak itu, namun hari ini ia malah membuatnya semakin kesakitan.

Hara terdiam di posisinya. Tak berbohong jika ia melihat dengan jelas tatapan yang Narel tunjukan padanya, juga pada tiap kata yang terucap dari bibirnya yang pucat pasi. Suara bergetarnya. Tangan juga bahunya yang bergetar. Mengapa ia begitu sakit melihatnya?

Mengapa?

Apakah Narel benar seterluka itu?