TURNAMEN
.
.
.
Detik berjalan semakin cepat hingga akhirnya tertinggal di belakang. Waktu-waktu berlalu begitu saja mengalirkan lega yang selama ini jauh sekali bagi Narel. Seharusnya ia berterimakasih kepada Bima yang mengajaknya bergabung dengan klub basket beberapa waktu lalu. Karena sibuknya mempersiapkan pertandingan, membuatnya tanpa sadar kehilangan malam-malam berat yang selama ini membunuh tidurnya.
Narel menghabiskan minggu-minggu setelahnya demi berlatih bersama Abisatya dan anak-anak lain. Hingga terhitung dua bulan persiapannya untung mengikuti kompetisi besar itu. Bahkan ia tak lagi terlihat begitu cemas ketika orang-orang melihat permainannya di lapangan. Serangan paniknya juga tak pernah lagi menghampiri setelah permainannya berakhir.
Perubahan itu jelas dirasakan Abisatya. Berada di sisi Narel hampir setiap waktu membuatnya memahami dengan pasti apa yang anak itu rasakan. Tentang emosi yang selalu diam-diam ia rasakan. Abisatya paham betul tentang setiap ketakutan yang selalu mampu ia rekam pada tiap gerak-gerik anak itu. Namun kini ia tak menangkap tiap hal yang disembunyikan Narel di sisinya. Seolah anak itu benar-benar baik kali ini. Hela napas Narel tak pernah terdengar setenang ini dalam waktu yang lama. Hingga Abisatya hanya mampu berharap bahwa ia tak lagi dibodohi karena kemampuan berbohong Narel yang meningkat.
Hari ini adalah hari terakhir latihan rutin untuk mempersiapkan turnamen basket esok lusa. Dengan persiapan yang hampir menyentuh kata sempurna, membawa lega yang selama ini pelatih harapkan untuk tim basket SMA Putra Bangsa. Hela napas kasar bersama keringat yang mengalir membasahi tubuh yang kini saling merebahkan diri di hampir tiap titik di lapangan. Wajah mereka saling menunjukkan lelah yang begitu kentara namun tak mampu menutupi binar bangga yang terpancar di tiap manik mereka.
Abyaz bersama dua botol minuman isotonik berjalan menghampiri Narel dan Abisatya yang kini beristirahat di dekat tribun penonton. Menyodorkan minuman yang mereka terima dengan senang hati. Senyum Abyaz tumbuh setelahnya. Diam-diam menyadari perubahan yang Narel tunjukkan selama ini. Ada lega yang coba ia utarakan meskipun ia tak memiliki perasaan se-peka Abisatya, namun ia tetap mampu merasakannya.
"Habis ini rencananya gue mau ajak kalian ke rumah. Mama pengen kalian makan malam di sana,"
Abyaz berucap sembari menatap kedua sahabatnya yang kini balik menatapnya. Memang benar Mama mengajak mereka untuk makan malam bersama setelah Abyaz memberi tahu bahwa mereka mengikuti pertandingan basket esok lusa. Mama bahkan sudah menganggap kedua sahabat Abyaz sebagai sahabat putranya juga. Jadi kini ia hanya melakukan hal yang menurutnya sering ia lakukan.
"Iya, habis ini kita ke sana,"
Jika biasanya Narel hanya diam ketika Mama Abyaz mengajaknya makan bersama. Kini Narel bahkan menjadi yang pertama menjawab pertanyaan yang Abyaz layangkan. Ada sengatan bahagia yang coba Abyaz dan Abisatya sembunyikan di senyum yang mereka tunjukkan. Tentang Narel dan segala yang terjadi padanya.
Setelah waktu bergulir satu jam setelahnya, ketiga sejoli itu memilih untuk berlalu dari sana. Meninggalkan teman-teman juga pelatih yang masih setia dengan perbincangan panjang. Tak ada yang mereka ucapkan di dalam mobil yang membawa mereka ke rumah megah Abyaz. Hingga gerbang besar itu terbuka, Narel melayangkan senyum cerah yang terlihat begitu renang.
Langkah tenang mereka membawa tubuh pada pintu besar yang menunjukkan seorang wanita cantik bersama senyum cerah yang membawa begitu banyak damai. Jika biasanya Narel akan begitu cemas dengan eksistensi wanita itu, kini ia terlihat begitu tenang bersama senyum yang tak pudar dari wajahnya.
"Selamat datang, anak Mama,"
Rasanya seperti pulang dan Narel menyukainya.
.
.
.
Tiba dimana hari yang ditunggu semua orang. Hari dimana turnamen akan dilaksanakan dan SMA Putra Bangsa sebagai tuan rumahnya. Tim basket terbaik Putra Bangsa sedang menyibukkan diri dengan segala persiapan untuk menjemput kemenangan mereka. Mereka saling berkumpul demi melayangkan senyum terbaik yang mengantarkan banyak doa untuk turnamen yang kini mereka tunggu.
Di salah satu sisian ruangan ganti itu, Narel terdiam sembari menggenggam botol minuman isotonik yang Abyaz berikan tadi. Jantungnya berdetak menggila namun ia merasakan nyaman atasnya. Ia menyukai detaknya kini. Kendati temponya masih sama, namun ia tak merasakan ketakutan akan apapun.
Hingga lantang suara pelatih yang meminta mereka untuk segera berkumpul untuk memulai pertandingan. Berjalan dengan langkah yakin untuk menemukan diri kembali pada riuh yang menyenangkan. Tubuh tinggi Narel berbaur dengan tim. Manik coklatnya memandang riuh yang tercipta di tiap jarak pandangnya. Senyumnya terkembang mengantarkan riuh yang semakin panjang.
Ketika peluit panjang tertiup, tubuh-tubuh tinggi itu mulai bergerak lincah untuk saling memperebutkan bundar oranye itu. Saling menunjukkan permainan mereka yang paling indah. Sorak sorai para penonton membawa semangat yang semakin membakar masing-masing dari mereka. Pun pada teriakan lihai dari tim sorak yang menunjukkan permainan mereka di sisian lapangan.
Abyaz berdiri dengan ponsel di tangan. Merekam permainan sahabat-sahabatnya yang paling hebat. Senyumnya terkembang lebar sekali. Hingga terkadang terdengar sorak yang ikut meramaikan melihat permainan yang begitu lihai jauh di lapangan sana. Dari tribun, ia mampu melihat jiwa-jiwa yang bebas, beterbangan tanpa beban. Itulah mengapa ia memilih untuk merekam semua momen ini dalam ponselnya.
Narel berlari dengan kecepatan konstan demi merebut bola yang kini berada di tangan lawan. Tubuhnya membungkuk dan dengan gerakan yang begitu gesit akhirnya mampu membuat bola oranye itu berada di tangannya. Dengan langkah-langkah pasti, tubuh tinggi Narel menyelip di antara pemain lain hingga sampai pada waktu yang paling ditunggu semua orang, bola oranye itu berhasil masuk ke keranjang lawan tanpa perlawanan. Sampai pada poin kedua, ketiga, hingga poin-poin selanjutnya, semua poin-poin itu kembali pada tim kebesaran SMA Putra Bangsa. Bahkan tim lawan hanya mampu terdiam menelan kekalahan mereka bulat-bulat.
Semua orang berseru setelahnya. Melayangkan teriakan paling keras demi merayakan poin yang berhasil unggul dari tim lawan. Menjadi penyebab tawa pada hal baik yang baru saja terjadi. Di tempatnya Narel menarik senyum paling lebar yang ia miliki hingga rasanya bibirnya akan sobek begitu saja.
Narel menyukai bagaimana riuh yang terjadi di sekitarnya. Pada sorak sorai yang saling merayakan kemenangan yang mereka bawa. Bagaimana teman-teman satu timnya mengangkatnya tinggi-tinggi untuk menunjukkan kepada semua orang siapa yang mencetak poin paling banyak.
Sedang Abisatya di sisinya memilih untuk menarik tubuh Narel dalam dekap hangat miliknya. Menepuk punggung itu berkali-kali demi menyalurkan bahagia yang mereka kirimkan bersama-sama. Abi bersumpah bahwa ia harus mempertahankan bahagia yang selama ini tak pernah lagi tampak di wajah Narel. Seakan ia akan melakukan apapun untuk itu.
Manik coklat milik Narel terhenti pada hamparan langit yang membiru di atas sana. Seakan memberikan kabar baik bahwa bahagia itu akan terus ada pada dirinya sampai kapanpun. Langit itu seolah meyakinkannya bahwa tidak ada hal yang perlu ia khawatirkan lagi. Tentang ketakutannya. Tentang segala kekhawatirannya. Narel akan mencoba meyakini itu. Sampai semesta memintanya untuk kembali dalam dekapnya.