Chereads / You're Doing Well / Chapter 18 - Serpih ke Tujuh Belas : BASKET

Chapter 18 - Serpih ke Tujuh Belas : BASKET

BASKET

.

.

.

Hari ini menjadi hari yang cukup langka bagi para siswa di SMA Putra Bangsa. Terlihat dari banyaknya siswa yang berkerumun di sekeliling lapangan demi menyaksikan seseorang yang dengan lihai memainkan bola basket di tengah lapangan. Bel belum berbunyi, namun sorak sorai bahkan mengalahkan berisik yang biasa diciptakan di kantin sekolah.

Seseorang itu, Narel. Siswa jenius yang memiliki banyak prestasi di bidang akademik, kini dengan lihai memainkan bola oranye itu. Tubuh tingginya nampak seirama dengan pemain asli klub basket sekolah. Narel bukanlah pemain asli, namun ia kerap kali diminta untuk ikut bertarung dalam klub demi memenangkan juara.

Surai gelapnya lepek karena keringat, pun kaos pendek hitam yang ia kenakan. Napasnya terhela satu-satu bersama senyum yang tepatri karena ia berhasil menyumbangkan beberapa poin dalam tim.

"Keren, Rel. Liat, noh, anak cewek pada jejeritan,"

Itu Bima, ketua klub basket sekolah yang bersikeras memintanya untuk bergabung dalam tim, namun ia tolak. Narel mengedarkan pandang pada sisian lapangan yang berisi banyak siswa perempuan yang menatapnya takjub. Ia hanya tidak pernah habis pikir dengan apa yang mereka pikirkan sehingga mereka meyorakinya sedemikian rupa.

"Ikut laga bulan depan, ya?"

Hela napas Narel terdengar. Merespon bagaimana Bima sering kali memintanya untuk turut serta dalam pertandingan.

"Gue nggak enak sama anak-anak lain, Bim. Gue bukan bagian dari tim, masa iya gue ikut tanding?"

"Gabung klub aja,"

Itu bukan Bima, melainkan Abisatya yang entah sejak kapan muncul di hadapannya bersama minuman dingin di tangan. Abi menyerahkan minuman pada Narel, karena ia tahu jika Narel bahkan belum meminum apapun sejak permainan selesai.

Ucapan Abisatya tentu mendapat respon baik dari Bima yang kini menatapnya penuh harap. Narel hanya takut ia tak mampu mengikuti kegiatan klub dengan baik. Mengingat kegiatannya selama ini sudah cukup penuh. Jam belajar, persiapan, juga 'permainan' lain yang ia lakukan selama ini.

"Gue tahu lo orang sibuk. Andaikan lo punya kegiatan lain, it's okay, nggak masalah, kok,"

"Tu anak cewek bakal pada jejeritan kalo tau lo masuk klub,"

Narel mendaratkan pandang pada Bima dan Abi yang menatapnya penuh harap. Tidak enak juga membiarkan dua temannya ini banyak berharap padanya. Maka dengan hati yang coba ia mantapkan, ia akhirnya menyanggupi permintaan mereka.

"Iyadeh. Udah jangan liat gue begitu, geli,"

"Naah gitu dong, Rel,"

Bima melayangkan tepukan cukup keras pada bahu Narel bersama tawa yang menyembur setelahnya. Karena bagi Bima, mampu merekrut pemain terbaik adalah tujuannya selama ini. Semoga Narel mampu membawa timnya menang di permainan bulan depan.

.

.

.

Kantin lebih ramai hari ini. Terlihat dari banyaknya siswa yang saling mengantre untuk mendapatkan jatah makan siang mereka. Sama halnya dengan Narel dan dua kembarnya. Mereka kini tampak mengedarkan pandang ke seluruh penjuru kantin demi mencari bangku kosong yang pas bagi mereka. Hingga satu meja di dekat dinding kaca menjadi pilihan.

Begitu sampai di tempatnya Narel langsung memfokuskan pandangnya pada langit yang kini begitu terik. Ia adalah tipe yang jarang sekali ke kantin karena ia tidak pernah merasa nyaman dengan ramai yang mereka suguhkan. Telinganya kini bising sekali, ditambah dengan jantungnya yang entah kenapa berdentum keras sekali. Narel tidak pernah biasa, sungguh.

"Woy,"

Abyaz dihadapannya berusaha mengalihkan perhatian. Melihat bagaimana Narel nampak diam sejak memasuki area kantin membuatnya sedikit bingung. Sedang merasa terpanggil, Narel menolehkan kepalanya sembari melayangkan tatap tanya.

"Jangan ngelamun, denger-denger ni kantin banyak penunggunya,"

Jawab Abyaz santai untuk kemudian menyeruput es tehnya santai. Kekehan ringan Narel terdengar. Ia tak ingin berbicara apapun. Karena ia masih saja mencoba untuk fokus menghilangkan cemas yang tiba-tiba datang padanya. Ia tak ingin merusak ajakan Abyaz dan Abi. Ia hanya mencoba membiasakan diri.

Namun Abisatya memang pada kenyataannya kelewat peka dengan keadaan orang lain di sekitarnya. Benar saja karena ia sejak tadi terus saja memperhatikan Narel yang terus saja bergerak tidak nyaman sejak langkah pertama memasuki kantin tadi. Keringat dingin yang muncul tipis di dahi Narel pun tak sekalipun ia lewatkan. Entah sakit atau apapun, Abi belum menemukan jawaban.

"Kalo lo nggak nyaman, balik kelas aja. Makan di sana,"

Narel yang berusaha keras menelan makan siangnya, terkesiap. Merasa terkejut dengan pertanyaan yang dilontarkan Abisatya padanya. Ia ingin sekali pergi dari sini, namun sekali lagi ia tak ingin merusak apapun.

"Kenapa harus nggak nyaman? Elah, Bi, santai aja, gue nggak bakal mati gegara makan di kantin,"

Abisatya memutar bola matanya malas. Memiliki teman seperti Narel memang membutuhkan perhatian khusus. Narel terlalu banyak berbohong dan ia benci itu. Namun ia berusaha untuk tidak memaksakan kehendak apapun, karena ia tak ingin Narel semakin merasa tidak nyaman berada di kantin.

"Nggak usah tegang-tegang dah tu muka, Bi. Lo kaya mau makan gue tau nggak,"

Sanggah Narel setelah berhasil menelan suapan terakhirnya. Agaknya ia merasa sedikit bangga mampu menghabiskan makanan di tengah kondisi dirinya yang tidak stabil. Namun sungguh, Abisatya tampak benar-benar mengerikan dengan wajahnya yang super tegang itu.

"Ni orang dua, udah, deh. Makanan gue hilang nikmatnya kalo kalian berdua ngobrolin hal yang nggak jelas gitu,"

Gerutu Abyaz mengalihkan perhatian kedua orang di sana. Tidak tahu saja mereka jika Abyaz memperhatikan apapun yang mereka ucapkan sejak tadi. Namun sekali lagi, jika Abisatya adalah makhluk paling peka di muka bumi, maka Abyaz adalah sebaliknya. Bahkan sejak tadi ia mencoba mencari letak 'nggak nyaman' yang diucapkan Abi pada Narel, namun ia bahkan tidak menemukan apapun.

"Gitu juga lo abis,"

Sarkas Narel tidak mau kalah.

"Eh, btw, lo beneran udah jadi anak basket, nih, Rel?"

Abyaz bertanya setelah kejadian tadi pagi tiba-tiba terlintas di pikirannya. Dua temannya ini memang jago sekali bermain basket. Berbeda sekali dengan ia yang sangat-sangat buruk jika sudah bertemu dengan bundar oranye itu.

"Belum resmi. Baru setuju sama ajakan Bima aja. Anak-anak lain belum tahu,"

"Widih, keren banget ni. Dua sahabat gue jadi anak basket. Bisa naikin derajat gue, deh,"

"Ilangin dulu tu dosa lo, baru derajat lo bisa naik,"

Abisatya terkadang masih sering berpikir bagaimana bisa Abyaz menjadi sahabatnya. Terlihat bagaimana tengilnya sikap Abyaz benar-benar menguras segala sabarnya. Namun sekali lagi ia berpikir tentang hari-hari monotonnya yang hilang karena kehadiran Abyaz di hidupnya. Abyaz memang kurang dalam banyak hal, namun tidak dalam menemani.

.

.

.

"Bulan depan gue tanding, gue nggak mungkin ninggalin pertemuan besok,"

Suara Narel sampai pada pendengarannya mampu mengalihkan sedikit perhatiannya pada apa yang tengah ia kerjakan. Benar saja, tak lama kemudian Narel bersama ponsel di telinga muncul dari sisian ruangan lain.

Pandangan mereka bertemu dan terkunci untuk beberapa saat. Narel terdiam dengan pembicaraannya dan Hara yang berhenti melakukan pekerjaannya. Hingga akhirnya Narel lebih dulu mengalihkan tatapannya karena menangkap sesuatu yang tak nyaman dari bagaimana cara Hara menatapnya.

Tanpa berbicara apapun, Narel memilih untuk segera pergi dari sana. Melangkah menuju kamarnya sendiri sebelum Hara berucap apapun. Ia hanya tak ingin mendengar sesuatu yang menyakitkan hari ini setelah saat-saat baiknya di sekolah hari ini.

Hara yang melihat itu tak berusaha menginterupsi apapun. Ia hanya menatap bagaimana punggung itu menghilang di tangga. Hela napasnya terdengar kendati ia tak mengerti apa yang tengah ia pikirkan.

Narel mengikuti pertandingan entah apa bulan depan dan ia bahkan mengetahuinya karena tidak sengaja mendengar pembicaraan Narel tadi. Ia kembali berpikir tentang hal-hal yang selama ini dilakukan Narel tanpa pernah ia tahu keadaan aslinya.

Ia tahu pasti bahwa Narel banyak mengikuti banyak perlombaan selama ini. Namun entah mengapa ia sama sekali tidak pernah merasa tergerak untuk menengoknya lebih dalam. Tentang Narel, tentang apapun. Ia tahu bahwa ia buruk tentang ini. Namun lukanya di masa lalu kembali mengingatkannya.

Hara hanya perlu tidak peduli tentang Narel, kan?