.
.
.
Pagi yang hangat mengetuk jendela Narel lembut. Mengantarkan kasih tak tampak pada sang penghuni yang pada kenyataannya kesulitan tidur sejak semalam. Lelaki itu menarik senyum tipis ketika menemukan setetes embun menetes dari daun di balik jendela kamarnya. Hingga pada helaan napas ke berapa, Narel memilih untuk membangkitkan tubuh, menyugar surai gelapnya dan diam-diam berucap penyesalan dalam hati.
Mengapa aku masih di sini?
Kendati ia paham betul suara itu bukan darinya, namun sayang dalam hatinya ia menyadari bahwa itu terdengar seperti miliknya. Dengan langkah gontai, Narel membawa tubuhnya menuju ke kamar mandi. Membersihkan diri dengan air dingin mungkin mampu mengawali harinya dengan hati yang beku. Sudah lama Narel bahkan tak pernah lagi mampu merasakan hatinya.
Menghabiskan menit-menit yang berlalu terbuang, Narel menatap bayangan tubuhnya pada cermin. Diam-diam menyadari bahwa tubuhnya kini menjadi jauh lebih kurus juga dengan pada tiap luka yang terhias di permukaan kulitnya. Luka yang nyata, entah itu yang ia buat sendiri atau yang di torehkan orang lain padanya. Namun Narel tak pernah menyesali hal itu, toh ia ingin, sakitnya butuh wujud dan semua bentuk bekas itu setidaknya mampu sedikit menenangkan hatinya.
Helaan napas terakhir, Narel beranjak dari sana. Melangkah malas demi bersiap kembali bertemu pada kehidupannya yang keras. Ketika kakinya menapak pada lantai di mana sang Papa dan Hara tengah sarapan bersama, Narel mencoba untuk tak peduli. Kendati dalam benaknya ia meraung keras, memohon pertolongan atas perhatian yang sama. Namun aliran darahnya bahkan tau bahwa semua pintanya tak akan menjadi kenyataan.
Langah yang berbayang membawa Narel pada halte bus yang sepi. Ketika busnya datang, Narel seolah hanya berjalan di atas angin. Pagi hari tak pernah menyenangkan baginya. Penyesalan yang muncul ketika ia membuka mata. Kilas buruk yang terputar acak di kepala. Benar-benar mampu merusak hari-harinya sejak kelam di masa lalu.
Semua usahanya kini untuk menjadi yang pertama seakan tak pernah mampu ditangkap siapapun. Papa dan Hara tak pernah menangkap eksistensinya dan Narel sudah tak ingin berusaha mencari lagi. Ia ingin menyerah sejak lama, sejak semua pengabaian yang ia terima. Namun ada secercah harap semu yang ia miliki, tentang ia yang akan lagi dilihat. Ia ingin membangun semua harap itu dan jika memang bukan untuknya, Narel mungkin akan menyerah dan menyusul sang Mama mungkin menjadi pilihan yang terbaik.
Tenggelam dalam lamunan membuatnya tak menyadari langkah yang telah membawanya menuju gerbang sekolah. Menerima rangkulan hangat dari dua orang yang mampu membuatnya tetap sadar di mana ia berpijak. Mereka Abyaz dan Abisatya. Dua sejoli yang memaksanya untuk menjalin pertemanan di hari pertamanya menginjak SMA ini. Narel tak pernah tahu jika Tuhan ternyata masih baik untuk memberinya kesempatan untuk setidaknya merasa benar.
Kendati berisik yang mereka bawa mampu membuat telinga Narel pengang, namun mereka juga yang tak membuatnya hilang arah. Narel menarik senyum tipis sembari diam-diam mengucap banyak terimakasih pada langit yang memeberinya sedikit harapan.
Terimakasih banyak…
.
.
"Gila lo, Rel. Woy, ini masih pagi banget dan lo bilang lo udah sarapan? Heh, kambing tetangngga gue aja belum di kasi minum masa lo udah makan, sih?" geger Abyaz sembari menyantap semangkuk soto ayam di hadapannya. Tatapan tajamnya tak pernah beralih dari Narel yang dengan tidak berdosanya malah menatap hamparan langit bersama airpods yang menyumpal telinganya.
"Dasar batu,"
Narel melepas sebelah airpodnya, menatap Abyaz yang kini sama menatapnya tajam. "Lo yang gila kali, Yaz. Gantengan gue daripada kambing, tau,"
Lelaki itu berakhir mencomot sepotong perkedel dari mangkuk Abyaz mengundang pekik keras bersama rentetan penghuni kebun binatang yang siap ia muntahkan. Narel menarik senyum tipis, diam-diam merasa senang akan bahagia yang tak pernah ia dapatkan di manapun.
"Masih pagi, Yaz. Jan berantem sama Narel. Kalo dia yang ilang mood lo yang kelimpungan," Abisatya berkata setelah menyeruput teh hangat di dekat mangkuk sotonya yang sudah kosong. Ucapan Abi membuat Abyaz menghela napas benar. Membenarkan kenyataan bahwa ia pun beruntung akan keadaan mood Narel pagi ini. Narel yang merebut makan sangat jauh lebih baik dibandingkan harus menemukan Narel yang terus diam sepanjang hari.
"Awet-awetin ini, Bi,"
.
.
Hari-hari di sekolah berjalan sebagaimana mestinya. Dan selama itu juga, Abyaz tak henti-hentinya menatap pada Narel yang bagi mereka terlihat mengganjal. Narel nampak abu-abu jika dilihat dari posisinya, namun ketika mereka membawanya dalam obrolan Narel terlihat begitu cerah. Entah Narel yang begitu manipulatif ia yang terlalu bodoh karena tak berhasil menerjemahkan akan apa yang terjadi padanya.
"Gimana ni, Bi? Gapaham lagi gue,"
Abyaz menghempas tubuh pada sandaran kursi. Menghela napas keras ketika otaknya tak berhasil menemukan apa yang sebenarnya dirasakan Narel saat ini. Usaha yang membuatnya tak memperhatikan guru yang menjelaskan di depan. Tapi masa bodoh baginya, Narel lebih penting dari apapun.
Sedang Abisatya di sisinya sama berpikirnya. Abi diam berpikir ketika penglihatannya menangkap eksistensi Narel yang terpekur menatap hamparan langit dengan artian tatap yang tak ia pahami. Hingga pada ide yang tiba-tiba terlewat Abisatya menjentikkan jarinya keras.
"Bawa aja dia main. Kalo andaikan dia lagi di posisi nggak baik, kalo dia kita bawa ke tempat main setidaknya dia bisa lepasin bebannya sebentar sama kita,"
Abyaz terkesiap. "Nggak main-main lo, Bi. Jenius banget, gila,"
.
.
Setelah melalui pergulatan panjang, Abisatya dan Abyaz berhasil membawa Narel menuju pusat permainan di kota. Narel bersama langkah yang dipaksa mengikuti ajakan dua teman hiperaktif mencoba menerima dengan lapang dada. hingga mereka berhenti pada sebuah tempat permainan yang kebetulan tidak begitu ramai. Jika tempat itu ramai, sudah dipastikan bahwa Narel akan memaksa pulang saat itu juga.
"Udah lama banget sejak kita main di sini, kan? Kuy lah,"
Abyaz menarik Narel menuju salah satu permainan di sana. Terus memandang bagaimana raut wajah yang semula nampak terpaksa itu sedikit mengendur. Dalam hati, Abyaz memekik bangga dengan perubahan raut Narel yang lebih cerah dari sebelumnya.
Pada waktu-waktu yang berlalu membahagiakan, Abyaz dan Abisatya bersumpah bahwa seumur hidup pertemanan mereka, raut Narel tak pernah terlihat secerah ini. Narel nampak begitu ringan bersama langkahnya yang riang kesana-kemari. Juga ocehan yang tak henti keluar dari bibirnya. Berusaha tak ingin membuang kesempatan, Abi dan Abyaz terus mengajak Narel ke tempat kemanapun ia nampak lebih cerah.
Narel tak pernah sejujur ini tentang bahagia yang ada di rautnya. Jika biasanya hanya senyum tipis yang hampir tak terlihat, untuk hari ini topeng bahagianya terlihat begitu jujur. Tak ada lagi yang berusaha di tutupi dari setiap tarik tawa yang ia miliki. Dua sejoli itu membawa Narel pada ringan yang tak pernah lagi ia rasakan. Mengucap begitu banyak terima kasih pada ide Abisatya yang ternyata sangat cemerlang.
Pada tiap permainan yang ia coba, meski kalah, Narel nampak ceria. Sebuah kelangkaan jika pada tawa gigi rapi Narel terlihat. Namun untuk hari ini, Narel tak peduli. Narel menatap orang asing di sekitarnya, baru menyadari bahwa kebisingan nampak tak semengerikan itu. Orang-orang memang tak peduli, namun ia memiliki Abyaz dan Abisatya yang ia percaya bahwa ia tak lagi di tinggalkan.
Waktu berlalu begitu cepat. Bahagia memang terdengar sesingkat itu. Namun ringan yang tersisa tak pernah terasa singkat. Diam-diam bersyukur bahwa jiwanya yang mati rasa masih mampu tersentuh bahagia. Mengucap beribu syukur tentang Abi dan Abyaz yang masih menyadari eksistensinya.
Hari yang semakin menggelap, Narel menatap hamparan senja yang tercipta. Tersenyum pada langit tentang ringan yang lagi ia rasakan. Berharap untuk tak lagi diingatkan tentang pilu yang ia miliki di masa-masa hidupnya. Harap tentang bahagia yang tak lagi beranjak pergi dari hidupnya.
Naun untuk saat ini Narel sedang tidak ingin peduli. Kendati perih mungkin akan ia terima lagi, yang terpenting untuk sekarang, bahagia mengisi lembar hidupnya yang hitam.
Terimakasih…