Chereads / You're Doing Well / Chapter 9 - Serpih ke Delapan : BENCI

Chapter 9 - Serpih ke Delapan : BENCI

BENCI

.

.

.

Pagi menyambut menjadi awalan yang buruk bagi Narel. Bagaimana tiap hela napas dan gerak tubuhnya menjadi begitu menyakitkan. Tak dipungkiri luka juga rasa sakitnya semalam akan sangat menyiksanya seperti ini.

Ringisan pelan keluar dari bibir pucat Narel. Sembari membawa tubuh untuk bangkit dan bersiap membersihkan diri. Namun belum sempat langkahnya menetap, gelenyar rasa sakit itu menyiksanya hingga membuat ia harus bersandar pada sisian nakas.

Narel tersiksa namun tak dipungkiri bahwa ia menyukai ini. Rasa sakit itu membuatnya tetap merasa hidup. Bagaimana semua tekanan dalam hidupnya membuatnya begitu kesakitan. Narel butuh wujud dari semua remuk

Dengan segala usaha Narel akhirnya mampu mencapai kamar mandi. Butuh waktu lebih lama untuk Narel menyelesaikan ritualnya. Lukanya semalam ternyata tidak main-main . Berterima kasih kepada yang pria besar semalam membuat tubuhnya begitu remubenci

Setelah bersiap, dengan tubuh tertatih Narel melangkah keluar. Pada langkah kesekian, ia terpaku menemukan seseorang lain yang begitu membencinya. Lima langkah dihadapannya, sang Kakek berdiri dengan tatapan paling mengerikan yang menatapnya penuh benci.

"Dia masih hidup ternyata,"

Ucapan dingin yang sama. Siratan kebencian yang sama. Narel tak ingin peduli, tapi lemah yang ia miliki ternyata membuatnya masih mampu mendengar retak yang nyata. Lelaki itu memejamkan matanya sebentar, mencoba tak terlihat ketakutan di hadapan pria tua itu.

"Selamat datang, Kek, "

Narel membungkuk sopan. Mengabaikan bagaimana retakan panjang itu terdengar jelas ditelinga. Tatapan benci itu masih sama dan Narel tak mengerti lagi bagaimana ia harus memberi pembelaan.

"Tidur di tempat lain. Ruanganmu dipakai Kakek mulai malam ini,"

Itu suara Wayan dan Narel tak ingin memberi bantahan. Ia tak ingin mengundang keributan di tengah tubuhnya yang seperti ini. Sedang jauh di belakang sana, Hara hanya berdiri menatapnya datar, tak lagi peduli.

Narel mengangguk kaku. Toh, bagaimanapun ia memberi pembelaan tak akan ada yang akan mendegarnya. Lelaki itu melangkah pelan, meninggalkan tempat dimana semua orang berada. Memilih pergi dari sana menyelamatkan retak yang tak ingin lebih panjang.

Langkah lelaki itu terlihat begitu berbayang. Bahkan saat tubuhnya ditelan pintu bus dan berhasil mendudukkan dirinya di sana, Narel seperti tak berada di tubuhnya sendiri. Pikirannya hanya terisi akan segala kemungkinan buruk yang akan terjadi. Tentang kakeknya. Tentang papa dan kakaknya.

Pada menit-menit yang berlalu, ketika bus itu telah mencapai halte terdekat dari sekolahnya. Narel menemukan kedua sejoli sahabatnya telah menunggu di gerbang bak sepasang pengawal setia.

"Pagi kesayangan Abyaz!"

Abyaz melompat riang bersama rangkulan di pundak. Namun Narel seperti tak ada di tubuhnya sendiri. Terlihat dari bagaimana kosongnya tatapan juga tubuhnya yang tak setegak biasanya. Abyaz dan Abisatya bertatap, menyadari jika Narel sudah seperti ini berarti masalah yang ia miliki cukup rumit.

"Rel, Lo denger gue?"

Itu Abisatya dengan khawatir yang tak mampu ia sembunyikan. Terakhir kali mereka biarkan Narel berada dalam kondisi seperti ini, mereka berakhir menemukan Narel yang menghilang berhari-hari.

Narel merasakan kepalanya semakin berisik. Segala kemungkinan buruk itu menghilangkan fokus yang ia miliki. Pikiran itu menjelma menjadi suara-suara tanpa wujud yang menjadi begitu keras dan bersahutan di kepalanya. Narel berusaha untuk tetap sadar, karena bagaimanapun ia sangat tahu jika Abi dan Abyaz sudah khawatir, semua tak akan berjalan mudah.

"Gue nggak pengen masuk kelas sekarang. Bawa Gue ke atap, ya. Kepala Gue berisik banget,"

Tanpa bantahan, Abisatya dan Abyaz membawa Narel menuju tempat yang ia mau. Tentang apa yang sebenarnya terjadi, itu bisa menjadi urusan nanti. Hal yang ingin mereka lakukan hanya untuk teris berada di sisi anak itu. Narel sangat lemah, dan mereka paham hal itu.

.

.

.

Matahari telah kembali pulang, menyambut datangnya bulan yang bersinar separuh. Dalam rumah megah yang tak lagi hangat, sesosok Narel kembali pada kondisi buruk. Bagaimana tubuhnya menunduk dalam bersama sosok sang Kakek yang berdiri mendominasi di hadapannya. Getar pada tangan juga hela napas yang memberat menambah penderitaannya kini.

"Setelah lama saya tidak datang ke rumah ini, ternyata mereka masih mengizinkan kamu hidup di sini."

Bara, pria tua itu menyesap kopi mengepul di sisian tubuhnya. Diam-diam menikmati bagaimana sosok lemah di hadapannya terlihat begitu ketakutan.

"Ah, kamu masih bodoh, ya. Pembunuh sepertimu, mana mungkin mengerti,"

Bara bangkit dan berdiri menjulang di hadapan Narel. Mengusap surainya demi menarik helaian rambut itu keras, membuat Narel terpaksa mendongak untuk bertemu pandang dengan netra yang sama persis dengan milik sang Mama. Narel rindu, rindu sekali.

"Nikmati segala kesakitanmu, Narel. Masih bagus aku mengizinkanmu hidup di sini,"

Pria tua itu meninggalkan Narel yang berdiri terpaku di sana. Hela napasnya terdengar begitu berat, seolah oksigen begitu jauh darinya. Narel jatuh terduduk, menunduk dalam dan bersandar lelah pada rak dapur yang gelap. Tangannya tergerak mengusap wajahnya yang basah akan keringat. Ia tak akan bisa tidur di kamarnya sendiri entah sampai kapan. Hidupnya akan menjadi sangat berat.

Berisik itu datang lagi. Suara-suara aneh itu terdengar bersahutan di telinganya. Juga visualisasi acak yang nampak seperti kaset rusak mengacaukan kesadarannya. Tentang kejadian berdarah yang menimpa Mama. Tentang setiap bentakan kasar Bara pada tahun-tahun setelahnya. Tentang pengabaian Papa dan Hara yang menyakitinya pelan-pelan.

Pada hening yang menyiksa, isakan Narel terdengar cukup nyaring. Menunjukkan betapa ia berusaha untuk tetap mempertahankan kesadaran. Kepalanya sakit, sakit sekali. Pandangannya memburam bersama visualisasi yang berputar tak pasti. Narel kesakitan, tapi ia tak memiliki siapapun sekarang.

"M-ma-mama,"

Rintihan yang sama, juga kesendirian yang sama. Keberadaan kakeknya di sini akan lebih memperburuk segalanya. Hidupnya akan berkali lipat lebih mengerikan. Entah sampai kapan Bara akan mengizinkannya hidup. Karena Bara dengan segala kewenangannya akan mampu membuat Narel hilang dari muka bumi ini.

Narel menggelengkan kepalanya brutal, menolak untuk dilenyapkan. Ia tak ingin pergi, setidaknya sampai Bara, Wayan, atau Hara mampu menerima keberadaannya. Entah sampai kapan, tapi yang terpenting, ia tak ingin pergi secepat itu.

Di dapur yang gelap itu, Narel melipat lututnya demi meletakkan kepalanya yang terasa berat di sana. Isakannya belum hilang juga denyut sakit di kepalanya pun masih sama. Ia tak ingin tertidur di sini, setidaknya agar esok pagi air dingin bukan menjadi alarmnya.

Hingga pada akhirnya, dengan segala usaha, Narel bangkit dari sana. Berjalan tertatih demi mencapai kamar kecil yang dulu digunakan untuk pegawai rumah Nagarjuna. Meringis menyadari betapa memprihatinkannya kamar ini. Satu ranjang kecil dengan selimut tipis yang ia jamin tak akan mempu membuatnya hangat.

"Mama,"

.

.

Tak pernah ada yang menyadari seseorang tanpa ekspresi mengikuti tiap gerak geriknya sejak awal hingga Narel pergi. Menikmati gelenyar rasa tak nyaman menatap sosok yang tak memiliki pegangan itu.

Itu seperti-

-rasa peduli?