.
.
.
.
"SELAMAT NANA!"
Pekikan dua remaja heboh mengalahkan hiruk pikuk salah satu ruang kelas SMA Putra Bangsa. Sang pelaku utama melangkah riang bak kembar Upin Ipin menuju salah satu bangku di ujung ruangan. Sedang yang dituju terlalu sibuk mengamati langit mendung di luar sana. Pandangnya tak beralih sedikit pun, kendati seisi kelas sudah melayangkan pandangan mengerikan pada dua manusia itu.
"Mohon maap, nama gue Narel, bukan Nana,"
Abyaz dan Abisatya hanya melayangkan cengiran tak berdosa ketika sang empu menatap datar sejoli itu. Narel memutar pandangannya malas dan memilih untuk menelungkupkan kepalanya di meja. Kepalanya pening sejak pagi ia menginjakkan kaki di sekolah dan dengan kedatangan mereka menambah penderitaannya.
"Lo juara satu lagi, loh. Yang bahagia, dong,"
"Bodo."
Dengan kesadaran penuh, Narel sang pemilik segala keberuntungan memilih bangkit, meninggalkan Abi dan Abyaz yang menatap prihatin ke arah sahabatnya yang satu itu. Narel dengan langkah pelan berjalan menyusuri koridor sepi menuju satu-satunya tempat yang selama ini menjadi tujuan pertama ketika suasana hatinya sedang buruk.
Halaman belakang sekolah.
Hanya ada sebuah bangku panjang tua tak terawat di sana. Tubuhnya ia hempaskan, menyandarkan kepalanya yang terasa berat sembari menatap pada langit yang menggelap, sepertinya sebentar lagi hujan. Kemungkinan-kemungkinan buruk mulai berdatangan dikilasan matanya. Menciptakan berisik yang semakin lama semakin menutup pendengaran. Matanya tanpa sadar terpejam erat, berusaha keras menyadarkan dirinya yang semakin berada di ambang batas.
Narel benci berada pada kondisi seperti ini. Seolah tubuhnya dikuasai hal lain yang membuatnya menjadi lemah. Ia mencoba membuka matanya pelan, meski buram tapi setidaknya lebih baik dibanding gelap yang mambawanya menuju hal-ha mengerikan yang lain. Senyumnya perlahan muncul ketika imajinasinya membentuk wajah orang yang selama ini ia rindukan.
"Kamu hebat, Nak,"
"Nggak ada kesempatan lagi buat Narel,"
.
.
Suara dentuman bola basket menggema di lapangan yang hanya berisikan tiga orang anak adam itu. Abyaz yang sudah kelewat lelah memilih mengistirahatkan dirinya di sisian lapangan. Sedang dua orang yang lain, Abisatya dan Narel masih sibuk mendribble bola basket merah tak jauh dari posisi Abyaz. Namun, Abisatya sudah mencapai batasnya, dengan napas terengah, pemuda yang kerap disapa Abi itu memilih berjalan menuju sisian lapangan dan mengistirahatkan tubuhnya di sana.
"Woy, Rel. Udahan yuk, udah ancur ni badan gue," Abisatya berucap terengah setelah meminum minuman isotonic dingin yang tadi mereka beli. Pandangnya masih tertuju pada satu-satunya pemuda yang masih setia bermain kendati peluh sudah membuat rambut dan seragamnya basah. Narel jelas sudah kelelahan, tapi Narel adalah Narel yang tidak semudah itu untuk mengistirahatkan tubuhnya.
"Entaran lagi. Gue masih belum berhasil cetak three point berturut-turut." Ucapan Narel berhasil membuat kedua sahabatnya melongo tidak percaya.
"Heh, Batu. Lo bahkan udah cetak three point udah seratus kali mungkin. Lo gila apa gimana sih, ini udah hampir empat jam lo main, gue sama Abi gak tanggung jawab ye, kalo misalkan lo kehabisan napas ntar," Abyaz berseru kesal sembari menata tajam Narel yang masih sibuk dengan teman bundarnya itu.
Narel menoleh dengan senyum lelah di wajah, menatap teduh pada dua teman dekatnya yang kini juga balik menatapnya. Bola basket itu ia lempar asal, beralih merebahkan diri di permukaan lapangan sembari menatap pada langit yang mulai menggelap. Maniknya mengerjap mencoba memfokuskan pandangannya yang memburam. Bulir-bulir keringat merembes di dahinya membuat rambut gelapnya basah. Narel terlihat begitu kelelahan dengan keadaan seperti itu terlebih napasnya terdengar begitu memburu.
"Pulang yu, Na," Suara Abisatya terdengar melembut sembari mendudukkan diri di sisian Narel, memerhatikan keadaan sahabatnya yang memprihatinkan.
"Kuy lah. Ntar orang rumah nyariin lo lagi,"
Mendengar itu Narel tertawa pelan, sedikit terdengar seperti menertawakan keadaanya sendiri. Sadar jika yang dibicarakannya salah, Abyaz kalang kabut menatap Narel yang kini beranjak duduk masih dengan pandangan yang menatap pada dedaunan yang kalah terbawa angin.
"Gue bukan kalian kalo pada lupa,"
Abyaz dan Abisatya saling berpandangan. Sedikit banyak merasa bersalah karena telah mengubah suasana menjadi semuram ini. Bukan menjadi rahasia tentang apa yang terjadi pada Narel. Tentang ambisi dan semua pencapaian yang telah di dapat anak itu.
Semua hal baik yang Narel dapat. Seakan tak pernah membuatnya benar-benar marasa puas. Bahkan ketika Narel terpilih menjadi juara bertahan olimpiade sains, binar bahagia tak pernah nampak di wajahnya. Ketika ucapan selamat ramai ia dapat, Narel hanya akan tersenyum tipis sekali, dan mengatakan,
"Bukan ini yang saya mau,"
Ketika ditanya mengapa ia selalu bersikap demikian, Narel hanya akan menjawab bahwa ia memiliki mimpi yang lebih besar dari ini dan ia tak akan pernah mendapatkannya kendati ia mati. Abisatya dan Abyaz tak pernah tahu tentang apa mimpi besar Narel, dan apa hal yang membuatnya tak akan pernah mendapatkan itu. Narel terlihat menutup pintunya terlalu rapat dan meletakkan banyak bunga indah dihadapannya, jadi orang lain hanya akan terfokus pada bunga indah itu tanpa berniat mencari tahu apa yang ada di balik pintu itu. Jadi Abisatya dan Abyaz tak memiliki jalan lain selain menunggu Narel membukanya sendiri, dan memilih untuk selalu berada di sisian tubuh anak itu.
"Pulang ke rumah gue, yuk. Bunda masak banyak , nih. Bisa mabok gue kalo suruh ngabisin." Abyaz berucap sembari merangkul bahu kedua sahabatnya itu. Menemukan Narel yang tersenyum tipis menatap langit senja yang mulai mneghilang.
Yang penting, kita nggak akan beranjak dari lo, Rel.
.
Terang telah beranjak tenggelam, kini gelap menguasai langit juga jiwa-jiwa di sana yang tengah mencari tempat untuk pulang. Waktu telah menunjukkan pukul delapan malam, namun Narel masih tersesat di sini. Kakinya masih enggan untuk berjalan pulang, kendati rasa lelahnya menguasai hampir keseluruhan tubuhnya.
Setelah makan malam hangat di kediaman Abyaz, Narel seperti tak ingin beranjak dari sana. Melihat semua warna yang tak pernah ia rasakan juga rasa dipedulikan yang telah lama ia dambakan. Namun ia masih sadar tentang apa realita yang sebenarnya ia miliki. Narel menolak untuk diantar pulang ketika Abi menawarkan tumpangan untuknya dan berakhirlah ia di sini.
Berjalan lama tanpa tujuan membuat kakinya perlahan kebas. Narel menghela napas berat ketika sebuah rumah putih menjulang tinggi di hadapannya. Itu rumahnya, ah bukan, itu rumah milik ayah dan kakaknya. Kekehan tipisnya terdengar ketika mengingat fakta itu. Ah, seharusnya ia tidak lagi menjadi bagian Nagarjuna, kan?
"Narel baru pulang?" suara yang familiar dan ia benci mendengarnya. Itu Narayana Dewari, gadis yang menjadi sahabat dekat kakaknya. Orang yang selama ini menjadi penengah ketika ia dan kakanya, Hara, tengah berseteru hebat. Orang yang mempedulikannya, tapi ia benci karena ia mencoba untuk selalu menutup mata tentang apa yang sebenarnya terjadi.
Tanpa menoleh, Narel terus membawa kakinya pergi dari sana. Ketika kakinya menapaki ujung tangga, manik coklat terang Narel menangkap eksistensi Hara yang tengah menyeduh kopi panas. Lelaki yang lebih tua satu tahun di atasnya itu tanpa sadar balik menatapnya. Melayangkan pandangan yang tak pernah berubah sejak semua gelap mengambil alih warna yang mereka punya.
"Kirain lupa jalan pulang,"
.