.
.
"Dhita, saya rindu kamu. Hara sudah besar sekarang, dia sangat tampan seperti ayahnya,"
Wayan Nagarjuna bersimpuh di hadapan nisan istrinya, Jagaddhita Nagarjuna, dengan sendu. Air matanya perlahan luruh bersama ingatan yang perlahan-lahan menyapa. Dhita telah pergi begitu lama dan ia rindu dengan segenap hatinya. Wayan mengusap nisan itu lembut seakan ia mengusap wajah cantik istrinya.
Semua berubah hitam sejak sepuluh tahun yang lalu. Ketika peristiwa mengerikan yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya. Ketika Dhita yang melemah memilih untuk pergi meninggalkan semua hal. Saat itulah Wayan tak pernah lagi merasakan warna. Wayan tak pernah mengerti jika kehilangan terasa begitu menyakitkan.
"Kamu nggak pernah datang ke mimpi saya. Apa kamu nggak rindu saya?"
Wayan mengusap air mata di wajahnya dengan tangan bergetar. Luka lama itu datang lagi dan Wayan masih belum mampu untuk menerima semuanya. Sebelah tangannya yang lain bergerak untuk meraih satu ikat bunga mawar merah kesukaan istrinya. Meletakannya di gundukan bersih itu dan kemudian menyiramkan air di atasnya.
"Mawar merah kesukaanmu nggak pernah saya lupakan. Sudah hamper petang, saa pulang dulu, ya. Baik-baik kamu di sana,"
Pria paruh baya itu bangkit, menatap peristirahatan terakhir Dhita dan melayangkan sebuah senyuman sedih untuk beranjak dari sana. Hingga pada langkah kesekian, arah pandang Wayan belum beralih dari sana, seolah berat untuk meninggalkan istrinya sendirian di sana.
"Saya pergi," Langkah berat itu memberanikan diri untuk pergi dari sana. Tersenyum untuk yang terakhir sebelum berbalik pergi.
Tanpa ada yang pernah menyadari, Narel ada di sana. Di balik pohon, menyaksikan semua hal yang terjadi dan menyadari bahwa namanya bahkan tak pernah di sebutkan di percakapan sepihak papa dan mamanya. Narel tersenyum sedih. Kembali mengurungkan niat untuk mengunjungi mamanya. Niat hati ingin melepas rindunya terhadap sang mama, namun kenyataan bahwa Wayan tak pernah memberi tempat sedikitpun di hatinya membuat Narel tak ingin lagi berharap.
"Narel rindu Mama, tapi maaf Narel nggak bisa kunjungin Mama,"
.
.
Pintu rumah besar itu menjeblak terbuka. Menampilkan eksistensi Wayan dengan wajah lelahnya. Langkah besar Wayan perlahan memasuki rumah yang tak pernah lagi hidup itu. Menghela napas pelan ketika kenyataan ini benar mencekik napasnya. Sudah lama sekali sejak kebisingan menyambangi rumahnya. Kini yang ada hanya hening yang tak pernah lagi terasa nyaman.
Langkah beratnya ia bawa menuju lantai dua, tempat dimana kamar Hara berada. Wayan mendekat, menemukan kamar putranya kosong tak berpenghuni. Ah, ia baru ingat, Hara tak akan berada di rumah jika waktu belum menunjukkan tengah malam. Keadaan memaksa Hara untuk menjadi demikian. Haranya yang baik telah menjadi begitu liar dan ia mencoba untuk memahami itu.
Hara mungkin sama terlukanya
Langkahnya berlanjut berniat untuk kembali ke kamarnya sendiri. Namun pada langkah ke lima, matanya terpaku pada kamar seseorang yang lain. Itu Narel, putranya yang lain. Dengan rasa marah yang lama terpendam, Wayan mencoba masuk dengan tergesa. Membuka paksa pintu coklat itu dan berdecak marah ketika tak menemukan siapapun di sana.
"Dasar anak-"
"Papa,"
Mengapa tak coba ia pahami juga?
Itu Narel. Berdiri di ambang pintu dengan wajah yang lama tak pernah ia perhatikan. Ada gurat lelah di sana. Namun Wayan tak pernah mencoba untuk peduli. Narel memandangnya dengan tatapan aneh, sekan ada begitu banyak hal yang tak pernah mampu ia sampaikan. Wayan sejenak terpaku, namun untuk yang kesekian kali, Narel bukan lagi urusannya.
"Papa ada perlu apa di kamar Narel?"
Wayan maju tergesa. Memangkas jarak demi bersitatap dengan wajah putra keduanya yang ternyata sudah setinggi ini. Narel mundur satu langkah, merasa takut bahkan hanya dengan layangan tatap seperti itu. Pria paruh baya itu mengangkat tangannya pelan memberikan reaksi takut dari Narel di sana.
Hingga hal yang tak terduga terjadi. Wayan dengan kesadaran penuh menarik helaian rambut gelap Narel keras. Mengundang desis lirih dengan raut yang mengerut sakit. Narel tak pernah mengira hal ini akan terjadi. Kendati dengan segala benci yang ia terima, anak itu tak pernah menerima perlakuan kasar yang ayahnya lakukan. Ini yang pertama dan ia jelas terluka.
"Kenapa kamu masih hidup?"
Telak. Pandangan mata sewarna itu tak mencoba diputuskan. Wayan dengan manik yang mulai memerah menatap nyalang Narel yang hanya diam dalam genggamannya. Pria paruh baya dengan segala benci yang tertumpuk begitu lama itu sedikit banyak merasa terkejut dengan apa yang telah ia lakukan. Yang lebih tua tersentak pelan ketika pandangnya menangkap senyuman tipis yang putranya layangkan. Kendati demikian, setitik air mata turun melewati pipi pucatnya, menjadi perantara kata tentang kesakitan yang tak pernah mampu Narel utarakan.
"Kenapa aku masih hidup,"
Lirih itu terdengar sampai ke telinga Wayan. Cengkraman tangannya menguat dan Narel tak mencoba untuk meredakan sakitnya. Hingga cengkraman menyakitkan itu terlepas tanpa aba-aba. Namun belum sempat Narel mampu menarik napas, sebuah dorongan kuat menyapa membuat punggungnya terhempas membentur dinding keras di belakangnya. Tubuh lelahnya terasa berkali lipat begitu sakit hingga membuatnya mengeluarkan ringisan sakit.
"Kamu nggak ada sopan santun-"
"Papa harus istirahat. Sekarang udah malem,"
Tangan kurus Narel terangkat pelan. Meraih tangan sang ayah yang mencengkran bahunya keras. Mengusap tagan kasar itu lembut bersama layangan senyum yang tak coba ia lunturkan. Wajah Wayan mengeras bersama desis marah yang seperti siap untuk meledak. Hingga pada kesempatan yang terlupa, tangan kasar Wayan menghempas tangan yang lebih muda. Walaupun begitu, senyum itu masih ada di sana, bersama raut sedih yang tak coba Narel sembunyikan.
"Bodoh,"
Narel menatap punggung lebar sang ayah yang beranjak tergesa meninggalkannya, sendirian. Pada sisa perih yang ada, Narel jatuh terduduk. Bergetar pelan bersama usapan keringat dingin di dahi yang berusaha ia coba sembunyikan. Helaan napas terdengar keras ketika menyadari bahwa ia menjadi begitu lemah.
Suara-suara tak bertuan itu datang lagi. Menyakiti pendengaran karena terdengar begitu berisik. Narel beringsut mundur dan tersentak ketika menemukan punggungnya membentur tembok di belakangnya. Tubuh tingginya meringkuk membuatnya terlihat begitu kecil dan lemah. Hingga pada kepedihan yang tak lagi tertahankan, isakan pelan terdengar.
Ketakutan yang lama coba ia sembunyikan, kini mendatanginya lagi. Hanya dengan sebuah 'sapaan' sederhana dari ayahya, kini Narel berakhir meringkuk sendirian di kamarnya yang dingin. Narel menggigil pelan dengan sebelah tangan yang kini menarik kasar helaian rambut yang kini berubah kusut.
Tidak berguna
Dasar lemah
Mama mati karenamu
Kau yang membunuh Mama
"H-hentikan,"
Kau tidak seharusnya hidup
"Berhenti,"
Seharusnya kau yang mati
"BERHENTI!"
Pada malam yang dingin, Narel tenggelam dalam ketakutannya seorang diri. Menggigil bersama gelenyar rasa sakit yang membuatnya kesulitan menarik napas. Keringat dingin berlomba keluar dari setiap inci kulitnya yang memucat. Serangan panic itu datang lagi dan Narel tak menemukan cara untuk menghentikannya.
Sengalan napas Narel terdengar begitu nyaring di ruangan tak berteman itu. Ia bahkan terlihat begitu kesakitan bahkan hanya sekadar menarik napas. Air mata tanpa kata mengucur deras membuat wajahnya terlihat begitu kacau.
Mama tolong Narel.
Tak mampu lagi ia tahan, isakan tangis menyakitkan itu terdengar. Bersama bayang menyakitkan yang terlintas bak kaset rusak di kepalanya. Narel bahkan tak ingin lagi untuk bertahan. Ia berharap gelap menjemputnya dan membebaskannya dari belenggu rasa sakit yang tak beralasan ini. Tubuh ringkih itu bergetar hebat, menggambarkan bagaimana pemiliknya benar-benar kesakitan.
"Mama, seharusnya Narel yang ada di sana,"
Pada rasa sakit yang tak lagi mampu ia gambarkan. Gelap memahami bagaimana pemiliknya tersiksa. Tubuh Narel tersandar pada dinding bersama helaan napas yang melirih. Narel kelelahan dan ia tak sanggup lagi bertahan. Hingga pada dentang ke sekian, gelap datang memeluk tubuhnya erat. Membawanya pada mimpi yang mungkin lebih mampu membahagiakan ketika realita bahkan lebih menyakitinya.
Narel tertidur. Berharap akan kebahagiaannya esok hari.
.
.
Tanpa ada satupun manusia yang menyadari, Wayan ada di sana. Di balik pintu yang sedikit terbuka, menyaksikan bagaimana putra keduanya yang kesakitan seorang diri. Bersama ketakutan yang tak Wayan pahami. Bagaimana Narel harus kesakitan seorang diri.
Namun Wayan tak pernah mencoba untuk peduli. Untuk setidaknya menenangkan tubuhnya yang bergetar atau bahkan untuk menyeka air mata yang tak bisa dihentikan. Ada marah yang menahannya untuk bertindak juga kebencian yang tak pernah coba ia hilangkan.
Narel adalah pembunuh dan ia tak akan memaafkannya.
Biarkan Wayan menjadi keras hati. Jika bertinak demikian mampu membuatnya sembuh, Wayan tak peduli. Putranya hanya satu, Hara Nagarjuna. Tidak ada putranya yang lain dan ia tak mencoba untuk menariknya lagi. Narel bukan putranya, sampai kapanpun.
Biarkan Narel di sana. Tenggelam dalam kesakitannya yang mungkin adalah sebuah ganjaran atas perilakunya di masa lalu. Jagaddhita pergi karena Narel. Jika Narel akan pergi setelahnya, bagi Wayan itu adalah apa yang harus ia dapatkan. Wayan telah gelap mata.
"Nikmati itu. Saya tak akan peduli,"