Part. 1
Tahun 2010....
Derrrt....
Derrrt....
Derrrt....
Ponselku bergetar membangunkanku dari mimpi tidur siang. Tanpa nama tertera di layar.
"Hallo..." Sapaku
"Hallo, Dek...."
Ah! Suara ini. Suara yang masih ku rindukan. Terakhir kali aku mendengarnya beberapa bulan yang lalu. Setelah ia meninggalkanku demi seorang gadis--Denada. Ia pergi menyisakan luka yang sampai saat ini masih menganga.
Ck. Kalau saja aku tau itu kamu, tak akan pernah aku mengangkatnya.
"Hallo, ada apa mas?" Tanyaku to the point, tak ingin menghabiskan waktu untuk mantan yang tak punya hati seperti dia.
Yah memang bukan sepenuhnya salahnya, karena sikapku turut andil atas luka ini. Andai selama menjalin hubungan dengannya aku tak pernah selingkuh, mungkin ia tak akan meninggalkanku begitu saja saat aku mulai menyadari kesalahanku.
"Kamu dimana? Apakah sibuk?" Tanyanya
"Ck! Aku dirumah, apa kamu lupa ini hari apa?" Aku tertawa getir menanggapi pertanyaannya. Mulai muak akan sikapnya yang terlalu basa basi.
"Aku fikir kamu di Kota." Hening. "Ehm.. Ada yang ingin aku sampaikan sama kamu."
Aku hanya mampu menahan gejolak rasa rindu dan amarah yang menjadi satu. Ku remas sprei tempat tidur menjadi kusut. Mengatur nafas untuk sedikit meredam hatiku.
"Setelah beberapa bulan pergi, kamu mulai lupa kebiasaanku Mas. Ada apa?"
"Aku rindu." Aku bangkit duduk menyandarkan diri di tepi. Tak percaya akan kalimat yang terucap dari mulutnya. Satu kalimat lagi mampu membuat amarahku meledak.
"Basi! Kamu merindukan aku, saat aku berusaha sekuat hati melupakanmu. Kamu bukan rindu, kamu hanya jenuh dengan pacarmu itu!" Kalimat ini yang ingin aku katakan, tapi tak mampu seperti tercekat di tenggorokan.
" Owh...." Akhirnya satu kata balasan yang berubah haluan.
"Dek, sungguh aku rindu. Setiap tempat yang pernah kita kunjungi, selalu mengingatkanku akan dirimu. Makanan favoritmu, sengaja aku ke tempat Subhan hanya untuk mengingat nasi goreng kesukaanmu. Nasi goreng tanpa sayur, tanpa saus, dan telor ceplok yang garing. Aku menanyakan kabarmu ke Subhan, apa kamu masih sering kesana. Ternyata sama sekali kamu tak pernah mampir ke warungnya."
"Saat kamu pergi dari hidupku, aku membenci setiap hal tentang kita. Apapun itu. Meski aku rindu, aku mencoba berdiri dan bahagia." Ucapku penuh penekanan. Sungguh hati ini teriris akan kejujuranmu, tapi semua sudah terlambat.
"Maaf dek."
Tut..
Tut...
Sambungan telfon terputus.
Mas, harusnya kamu tau bagaimana perasaanku. Sekuat tenaga aku berusaha melupakanmu. Mengingat semua kenangan buruk tentangmu agar aku membencimu. Lalu, saat aku mulai melangkah, kenapa kamu harus bicara tentang rindu? Bukankah kita sama-sama saling menyakiti saat ini?
Lagu Anima Bintang mengalun, lagu favorit Melodi dan Mas Wildan-- seorang laki-laki yang terpaut usia empat tahun lebih tua dari Melodi. Laki-laki yang menjadi cinta pertamanya.
Kan 'ku abaikan
segala hasratku
Agar kaupun tenang dengannya
'Ku pertaruhkan semua ragaku
demi dirimu, bintang
Biarkan 'ku menggapaimu,
memelukmu, memanjakanmu
Tidurlah kau di pelukku,
di pelukku, di pelukku
Biar 'ku tunda segala hasratku
'tuk miliki dirimu
Karena semua telah tersiratkan dirimu
'kan milikku
Biarkan 'ku menggapaimu,
memelukmu, memanjakanmu
Tidurlah kau di pelukku,
di pelukku, di pelukku
Biarkan 'ku menggapaimu,
memelukmu, memanjakanmu
Tidurlah kau di pelukku,
di pelukku, di pelukku
Masih termangu menatap ponsel di tangan. Seakan mimpi jadi kenyataan. Mendengar suaranya mengucap rindu.
'Baru bilang rindu udah luluh! Hello apa kabar nangis sampek gulung-gulung ngerepotin orang sekostan, ngerepotin semua sahabatmu?'
Kata hati mulai bersenandika. Aku harus tetap mengingat rasa sakitnya agar tak terbuai dalam pelukannya. Kembali mengais cinta.
Melodi mengacak rambutnya, selalu seperti itu. Sikap tak enakan membuatnya tersiksa. Baru berfikir setelah berbicara bukan malah sebaliknya.
'Mas Wildan gak bakal ninggalin kamu, kalau kamu nya anteng. Coba hitung berapa selingan selama kamu menjalin hubungan?'
Lagi, hati tak mau mengalah dengan fikiran.
Jemariku mulai menghitung, mulutku menyebut nama sejumlah lelaki. Dari Soni, Anda, Kholid, Sadam, Firman, Agung, dan entah aku lupa lainnya. Yang mungkin ku jalin karena terpaksa. Haha...
'Bukankah wajar, kalau Mas Wildan lelah dengan sifatmu yang gemar selingkuh?'
CUKUP! HENTIKAN!
Seperti orang tidak waras berbicara dengan hati sendiri. Tak mau mengingat tentang kenangan masa itu. Memang salahku, lalu kalau Mas Wildan lelah tandanya ia tak mencintaiku. Itu saja.
Bagaimana aku bisa berdiam diri saat banyak lelaki tampan mendekati. Wajahku yang rupawan oriental asia, rambutku yang panjang alami, dan punya lesung pipi. Jelas... Hampir sempurna dengan tubuhku yang tinggi.
Meski usia delapan belas tahun, wajahku masih begitu alami. Mulus, putih dan bersih. Tak pernah pakai makeup yang macam-macam hanya cukup bedak bayi.
Eit... Jangan salah mengira kalau Melodi gadis yang anggun dan lemah lembut. No! Melodi gadis periang banyak tingkah. Bawel, manja, jutek, ceplas ceplos, dan pemarah. Meski sikapnya gampang berubah-ubah dan sering marah tapi ia punya sifat tak tegaan. Lebih memikirkan kebahagiaan orang lain daripada dirinya sendiri. Menjunjung tinggi nama persahabatan. Semua seimbang.
Dibalik sikapnya yang periang, ia menyimpan luka yang mendalam. Melodi Falenda, berasal dari keluarga broken home. Orang tuanya bercerai saat usianya tiga tahun. Papanya tak pernah mengunjunginya lagi-- terakhir saat usianya lima tahun. Ia tinggal bersama Nenek , Om dan Tantenya. Mamanya bekerja di Luar Kota. Setelah usia tujuh tahun, Mamanya menikah lagi dengan duda beranak tiga. Melodi akhirnya tinggal bersama Mama dan Papa tirinya. Hidupnya mulai berubah. Kejadian demi kejadian masa kecil membuatnya semakin terpuruk. Hidup penuh tekanan dan penderitaan. Pilih kasih, disiplin dan kekerasan menjadi makanan sehari-hari.
Flashback...
"Aku kemarin abis dari Tempat Wisata Pemandian lo." Ucap Seli membuka percakapan.
"Aku kemarin di beliin mainan baru sama ayahku" Line menimpali
"Aku tadi dianter ayahku." Sahut Indar
'Aku terdiam. Apa yag bisa aku banggakan? Bahkan aku tak tau rasanya pergi bersama papa atau diantar ke sekolah.' Batinku dalam hati.
Saat mereka semua pergi istirahat sekolah, aku hanya mampu membenamkan wajah di meja dengan ke dua tangan menangkup wajah. Menahan suara isakan tangis agar tak terdengar siapapun. Air mata mengalir menganak di pipi. Menyisakan bekas di meja.
Betapa mirisnya hidupku. Walau semua terpenuhi oleh Mama, aku tak tau rasa kasih sayang seorang Papa.
Sesat kemudian kurasakan jemari hangat membelai rambutku. Mendongakkan kepala melihat siapakah itu.
"Nduk.. Kok nangis?" Tanya Pria paruh baya yang ku kenal sebagai Guru Agama--Pak Djati.
Aku menggeleng.
"Kenapa?"
Pertanyaan Beliau mampu menerobos pertahananku. Yang membuatku semakin terisak pilu.
"Mel-melodi.. " Tak mampu melanjutkan apa yang ingin aku ucap. Dadaku sesak. Menahan segala rasa yang ingin aku lepas.
"Siapa yang nakal?"
Aku menggeleng.
"Terus kenapa nangis?" Kali ini, Beliau duduk di sampingku memutar posisiku menghadapnya, mengusap lembut air mataku.
"Melodi.. Pengentau rasanya punya Papa!" Satu kalimat yang terucap dari mulutku membuat Beliau terkejut.
Semua Guru tau bagaimana statusku, tapi tak pernah tau sedalam apa perasaanku. Difikir semua baik-bak saja.
"Cup..Cup.. Ceritakan sama Bapak!"
Aku menghapus sisa air mata di pipi, dan mulai mengutarakan isi hati.
"Tadi Mbak Seli, Line dan Indar cerita tentang ayah mereka. Pergi berlibur, diantar sekolah bahkan dibelikan mainan baru." Aku terdiam mengambil nafas dan membuangnya kasar. Kulirik beberapa teman mendekat.
"Terus Melodi cuma bisa diem aja mendengarkan. Karena Melodi gak tau gimana rasanya seperti mereka. Papa Melodi enggak pernah datang atau telfon. Mungkin sudah lupa sama Melodi. Kalau Papa tiri, Mama sama Papa lebih sayang adek, Pak. Melodi selalu salah di rumah. Selalu di marah Mama."
Lagi, pandanganku kabur terhalang embun yang akan mengalir.
"Melodi pengen diantar sama Papa, pengen di ajak berbicara, di ajak bercanda seperti anak yang lainnya."
Aku tergugu mengingat semua perlakuan Mama dan Papa yang berbeda. Saat itu usia Melodi sepuluh tahun, beban berat sudah ia rasakan.
Pak Djati memeluk era Melodi, mengusap lembut punggungnya. Menenangkan gadis mungil yang telah terpuruk rasanya jadi korban perceraian.
"Nduk ayu... Mama sama Papa sayang sama Melodi. Buktinya mereka nyekolahin Melodi, kasih makan, Mama masih belikan apa yang Melodi mau. Kan tandanya Mama sayang sekali sama Melodi. Melodi harus nurut, harus jadi anak yang berbakti, sholat dan berdoa biar Papanya Melodi datang nemuin Melodi."
Flashback off ..
Mengingat itu, air mataku kembali menetes. Segala ucapan almarhum Pak Djati memberiku semangat untuk berjuang. Bahwa deritaku dulu akan berbuah manis di masa depan. Allah tak akan membiarkanku hidup penuh keterpurukan.