Malam ini bulan terlihat mempesona. Melodi menatap lekat ke atas sana. Berharap rindu nya mampu bersuara. Menyisakan setitik kenangan tentang dia.
Jaket Hodie putih pemberian nya yang masih melekat pada tubuh Melodi, menjadi saksi bisu rindu. Melodi hanya mampu membendung rasa yang membuncah, tapi tak mampu bersua.
Malam semakin larut, pekerjaan nya baru selesai. Entah mengapa perasaan malas bergelayut. Melodi memutuskan untuk ke Counter. Mungkin, disana Melodi berhasil mengusir kegundahan.
Benar saja baru masuk pelataran tawa riuh beberapa karyawan terdengar. Melodi tersenyum simpul. Di dorongnya pintu kaca, dan masuk. Semakin terdengar jelas inti dari bahan pembicaraan mereka. Bang Tono. Lelaki itu menjadi bahan bullyan para karyawati.
"Kok kan Bang Tono. Ayo milih Maya apa Echa?"
"Lo ayo Bang, lampu ijo!"
"Iyo Bang agek (ayo) wes di tembak!"
"Dorr... Dorr.. udah kan tak tembak! Haha.." Bang Tono tergelak tawa.
"Banyak nih pilihannya selain mereka!"
"Bang Tono malah njegigis (ketawa) ae."
Para wanita berkerumun mengitarinya dan mencecar dengan pertanyaan seputar perjodohan.
"Haha.. Apa seh?" Bang Tono hanya tersenyum malu menanggapi serbuan pertanyaan.
"Kok ada Melodi juga, sampean (kamu) kan deketnya sama Melodi." Seseorang menunjuk ke arah Melodi dan membuat perhatian mereka teralihkan menatapnya.
Melodi hanya tersenyum malas.
'Terserah lah suka-suka mereka, aku hanya ingin jadi penonton!'
Melodi duduk di sofa biru pojokan menghadap jalan raya. Memandang jauh di luar sana, kendaraan berlalu lalang dengan tujuan berbeda. Lampu-lampu dari kendaraan membuat hati sedikit berwarna. Melupakan sejenak gundah gulana.
Di tengah hingar bingar tawa, pria ini melihat suasana suram di pojok kursi berwarna biru itu.
Suasana suram apa yang dilihatnya? Apa dia melihat tayangan film horor dengan tokoh legendaris Suzanna di televisi?
Pria ini melihat sosok bunga sedap malam yang sedang layu. Bukankah bunga itu harusnya mekar di malam hari? Kenapa harus menguncup?
Tergeraklah pria ini untuk mendekatinya. Ya, sosok bunga sedap malam itu adalah Melodi yang murung karena ditelan rindu oleh sang rembulannya, pria yang dicintainya.
Derap langkah pria ke arah Melodi, yang langsung duduk di sampingnya, menatap penuh heran. Tangannya mengibas di wajah Melodi.
"Apa'an sih Bang?" Tanya Melodi kesal. Bukan waktu yang tepat untuk bercanda.
"Ngelamun? Takutnya kesambet." Jawabnya. Ia memandang ke arah luar mengikuti arah pandang Melodi. Menyandarkan diri ke sofa sama seperti Melodi.
"Tau ah!" Melodi semakin mendengkus kesal.
"Lagi kesel banget ya?" Tanyanya, menelisik setiap raut wajah Melodi.
"Aku rindu seseorang Bang." Terlontarlah kalimat yang sengaja di tahan. Semakin beringsut ke sisi sofa dengan tangan menopang kepala. Tak di hiraukan beberapa pasang mata melihat ke arah Melodi dan Bang Tono.
"Cie.. Rindu siapa tuh?" Kali ini Bang Tono menatap lekat.
Melodi memandangnya sekilas. Sorot matanya menilisik keraguan.
"Mantan!" Jawabnya singkat.
"Ooh."
"Kok ooh sih.. Kasih masukan apa kek gitu." Katanya semakin kesal. Hanya satu kata tanggapan dari Bang Tono. Sedangkan ia ingin bercerita panjang lebar.
"Ya kalau rindu temui. Kok di bikin susah sih!"
Benar apa yang di katakan Bang Tono. Kalau rindu ya bertemu.
"Enggak ah.." jawabnya malas
Ia melirik ke arahnya, Bang Tono sibuk berkutat dengan ponselnya. Semakin di tahan rindu ini, semakin menyesakkan. Tak terasa buliran bening menganak di pipi. Tak bisa lagi di tahan, Melodi sesenggukan.
"Ih kok malah nangis. Malu-maluin ah!" Ucap Bang Tono.
"Duh.. gak bisa nih di rem. Udah loss air matanya!" Jawab sekenanya. Tangannya terus menyeka.
Bang Tono beranjak dari sofa dan berlalu. Tak di hiraukan kemana ia pergi. Tangannya sibuk menulis pesan dan langsung menghapusnya, menulis lagi di hapus lagi begitu seterusnya. Tak ada yang ia kirim sama sekali.
Tak berselang lama Bang Tono datang dengan sekotak tisu di tangannya.
"Nih...!" Ia menyodorkan sekotak tisu itu.
"Makasih...." Melodi meraihnya, dan menghapus air mata yang tersisa di pipi.
"Jangan nangisin yang gak penting!" Ia membuang nafas kasar, "
Ayo ikut...!" Tangannya langsung menarik lengan Melodi.
"Mau kemana sih?"
"Makan..." Ia mendorong pintu kaca, lalu menghidupkan motor Thunder biru.
Melodi masih mematung di tempat. Malas untuk beranjak. Dengan mata yang sembab seperti ini membuatnya enggan untuk keluar. Terlebih sebenarnya ia merasa malu akan respon Bang Tono tadi.
"Ayo...!" Teriaknya.
Ia menggangguk dan menghampiri, memasang helm dan naik motornya.
Udara malam ini begitu dingin, sedingin hatinya merindu sang mantan. Bang Tono melaju dengan kecepatan sedang, beberapa kali mendapati Bang Tono senyum-senyum sendiri dari kaca spion. Entah apa yang ada di fikirannya? Bukankah tak pantas saat sahabatnya susah, ia malah bahagia?
Motornya menepi di sebuah warung Bakso daerah simpang lima Kota. Warung Bakso Solo, selau ramai pembeli. Ia turun dari motornya dan melepas helm.
"Udah pesen gih sana... !"
"Ah! Aku gak mau makan... Enggak lapar. Sampean (kamu) aja yang pesen!" Ia duduk di bangku tengah bagian belakang dekat jendela.
"Kalau rindu mantan tuh harus makan, biar punya tenaga buat mikirin."
"Hemm..."
"Mas pesen Bakso campur dua mangkok, es teh satu, es jeruk satu ya?" Ucapnya pada salah satu penjaga warung.
"Enggeh Mas, ditunggu ya."
Bang Tono duduk di depanku, tangannya langsung mengambil beberapa tahu pentol yang tersedia di meja sebelum melepas jaketnya. Ia merogoh ponsel di saku jaket yang terus berbunyi.
"Bang, siapa sih yang telfon terus? Ceweknya ya?" Tanyaku penasaran. Heran karena sedari tadi ponselnya tak mau diam.
"Enggak.. aku enggak punya pacar! Nih mantanku, biasa minta pulsa." Ia menyodorkan ponselnya ke Melodi, memperlihatkan isi pesan dari mantan Bang Tono.
"What!.... Kok enak banget Bang minta pulsa sih. Padahal udah mantan lo." Kataku tak percaya. Baik banget sih Bang Tono, mantannya aja dibeliin pulsa, apalagi pacarnya.
Baru saja aku melihat pesan-pesannya, sang mantan memberi panggilan telefon.
"Bang telfon nih!" Aku memberikan ponsel tersebut ke Bang Tono.
"Angkat aja, bilang aja kamu pacarku ya? Please....!" Pintanya, tangannya enggan menerima panggilan.
'kitty' memanggil..
"Hallo, asslamualaikum... "
"Hallo, Tono nya mana ya?" Tanya wanita di seberang sana.
'Balas salam kek gitu... Eh nyelonong aja..' gumamku
"Ehm.. Mas Tono nya enggak ada Mbak, ada perlu apa ya?" Tanyaku, dari suaranya sepertinya aku mengenalnya.
"Oh! Ini siapa?" Tanyanya.
"Aku Melodi, pacarnya." Jawabku singkat. Mataku menatap Bang Tono, pandangan kami bertemu. Ia tersenyum sumringah dengan jawabanku. "Mbak, tolong ya jangan minta-minta pulsa lagi ke pacarku. Aku enggak suka!" Imbuhku.
"Idih... Baru juga pacaran udah main larang-larang. Belum juga jadi istrinya!"
"Terse____"
Tut
Tut
Tut
Sambungan terputus. Aku menyebik kesal. Bisa-bisanya status sudah jadi mantan masih minta seenaknya. Huft... Entah kenapa aku merasa kesal akan kalimat yang ia ucapkan barusan.
"Nih Bang... Dia ngamuk (marah)!"
"Haha... Biarin aja. Makasih ya?" Ia meraih ponselnya, lalu membuat panggilan.
"Hallo...Le... Isikan pulsa dua puluh ribu ya. Nomernya aku kirim setelah ini."
Hah.. ngisi pulsa siapa nih Bang Tono. Bang Tono memutus panggilan telfonnya.
"Bang ngisiin pulsa siapa sih?" Tanyaku penasaran,
"Ngisiin kitty, untuk yang terakhir kalinya."
"Ini baksonya Mas, monggo..!" Ucap pelayan warung, menyela pembicaraan kami. Dua mangkok bakso dan pelengkapnya dihidangkan.
Aku melongo keheranan dengan sikap Bang Tono. Tak habis fikir, ia masih begitu simpati terhadap mantannya. Apa segitu cintanya sama mantan. Sampek pulsa masih sering diisi.
"Bang, sampean kok masih baik gitu sih sama mantan? Begitu cintanya kah?" Bukan Melodi namanya kalau bisa menahan rasa penasarannya.
"Haha.. Kasian Mel, dia dari keluarga brokenhome. Udah makan tuh baksonya keburu dingin enggak enak nanti."
"Eh.. bentar deh. Tapi kok kaya'nya aku kenal ya sama suaranya. Emang sekolah mana sih dulu? Terus alamatnya mana?" Aku mencecar segala hal yang menelisik di benak. Aku merasa memang mengenal mantannya.
Bang Tono menyuap potongan-potongan baksonya sebelum menjawab pertanyaanku. Ia masih asik dengan makanan yang ada di hadapannya dan aku enggan mengganggunya.
Setelah suapan terakhir, lelaki yang berada dihadapanku mulai bercerita.
"......., jadi ya gitu deh. Gak lama pacarannya."
"Tuh kan bener feeling aku tadi, kalau aku kenal dia. Ternyata Dunia itu sempit ya, temen SMP ku adalah mantanmu." Melodi dan Bang Tono beranjak dari tempatnya dan hendak membayar. Di berikannya lembar uang lima puluh ribu.
"Bang, makasih ya?" Kata wanita dengan rambut kuncrit ekor kuda.
Bang Tono hanya balas tersenyum dan mengangguk.