Melodi fikir semua berjalan semestinya, pernyataan Bang Tono kapan hari hanya berlalu begitu saja. Sekuat apapun untuk menghindar dari pria itu, semakin membuat Melodi merasa bersalah. Tanpa permisi pertanyaan itu menguat kembali.
"Mel... Mau kemana?" Tanya pria itu, sesaat memarkir motornya di samping motor Melodi.
"Ini Bang, mau beli makan." Jawabnya datar dan mengalihkan pandangan.
"Mel.... Ehm... Gimana jawabannya?"
"Jawaban..?" Gumam Melodi, tampak gelisah dengan pertanyaan Bang Tono.
"Jawaban... Ah! A-a-aku gak bisa jawab sekarang Bang, aku minta waktu."
Melodi berlalu meninggalkannya, pria itu tampak kecewa. Tak ada maksut untuk menyakiti, tapi Melodi bingung untuk menolak secara halus dan membuat Bang Tono mengerti. Bahwa Melodi tak pantas dicintai oleh pria sebaik dirinya.
Cahaya lampu temaram di tempat parkiran kantor menjadi saksi gusarnya perasaan Bang Tono. Ia nampak mematung di tempat, mencerna setiap kalimat yang di ucap. Bukankah selama ini perhatiannya berbalas? Lalu kenapa belum banyak waktu untuk segera menjawab?
Tangan Bang Tono mengusap kepalanya bagian belakang. Sedikit murung dengan sikap Melodi berbeda daripada yang lain. Biasanya, setelah mengutarakan akan mudah untuk menerima jawaban. Namun, kali ini butuh perjuangan layaknya kemerdekaan!
Bang Tono melangkah masuk. Mengedarkan pandangan saat pintu coklat menutup kembali. Ia mencari sosok yang membuat hatinya semrawut. Berjalan melontasi meja frontliner, hanya ada kawanan serigala disana.
Ia buka pintu koridor menuju area inti kantor. Tak ada siapapun. Sosok itu lenyap seketika. Bang Tono kembali melewati area frontliner dan hendak ke Counter lewat arah depan.
Saat pintu coklat kembali di buka, ia menemukan Melodi disana.
"Mel mau kemana?" Tanyanya bergegas menarik lengan Melodi.
"Ehm... Ehm... Ini nyari Fitri, Bang. Mau beli makan."
"Beli sama aku aja. Ayo!
"Enggak usah Bang, tadi udah janjian sama Fitri." Melodi menepis tangan Bang Tono dengan halus, berusaha untuk tak menyakitinya.
"Terus gimana jawabannya Mel?" Pria itu masih gigih memperjuangkan jawaban dari cintanya. Ditolak ataupun diterima.
"Jujur Bang, aku belum punya perasaan apapun." Melodi menunduk, mengalihkan rasa bersalah yang mampu membuatnya terluka juga.
"Aku bakal berusaha, Mel!"
"Ehm.. Ya.. Ya.. biarkan mengalir seperti air Bang." Kalimat ini untuk menolaknya, tapi tak mematahkan cintanya. Meski terlihat memberi harapan, suatu saat rasa itu akan pudar.
Melodi berbalik pergi, bukan lagi untuk mencari Fitri. Rasa lapar menguap begitu saja. Seketika mengalami perubahan mood yang turun drastis.
Melodi berjalan melawati koridor yang sepi. Mencari sosok yang bisa menenangkan hati-- Mbak Denny. Wanita berusia dua puluh lima tahun yang selalu menggunakan pakaian syar'i. Tutur katanya yang lembut dan apa adanya selalu menjadi penenang jiwa.
"Mbak Denn..." Sapa Melodi dengan lesu. Raut wajahnya begitu sendu menatap Mbak Denny yang tengah sibuk menghitung uang.
"Eh.. Mel, sini masuk. Kamu itu kenapa?" Mbak Denny melambai mempersilahkan Melodi masuk ke ruangan.
"Hiks...hiks..." Melodi ingin terisak, tapi urung karena setetes tak ada yang mengembun.
Memalukan! Melodi yang menolak, lalu kenapa ia yang berontak.
"Ada apa to, Mel? Wajahmu kuwi lo kok dotekuk-tekuk gitu. Hilang itu imutnya." Goda Mbak Denny, menyadari ada sesuatu yang salah dari sikap Melodi.
"Itu Mbak... Itu lo!" Melodi mendongakkan kepala, pandangannya bertemu Mbak Denny. Apapun yang ada di fikirannya akan segera meluap meluber kemana-mana. Tak mau ia tahan lagi seorang diri.
Derap langkah terdengar makin jelas ke arah ruangan Mbak Denny. Melodi mengurungkan niatnya. Ke dua wanita itu secara bersamaan menatap pria yang baru datang di ambang pintu. Dengan senyum sumringah tanpa cela.
"Mel, ayo makan dulu. Kamu belum makan, 'kan? Ini aku belikan sate, aku juga belum makan." Tangan kanannya membawa satu botol air mineral, dan tangan kirinya menenteng dua bungkus sate.
"Ehm.. Nggak usah Bang. Makasih."
"Ayo Melodi makan dulu! Nanti sakit lo, 'kan udah setor daritadi. Kerjaanmu udah selesai." Bujuk mbak Deni padaku, matanya mengerjap berulang kali.
Melodi mengangguk.
"Makan disitu aja Bang," Melodi menunjuk bangku kosong di depan ruangan RSO.
Bang Tino melangkah lebih dulu, Melodi megikuti setelahnya. Pria itu memperhatikan Melodi, walau Meldoi telah melukainya dan menolak cintanya, ia masih memberi perhatian.
Melodi semakin merasa bersalah. Ia mengedarkan pandangan ingin berbicara sesuatu. Sedang pria itu mulai membuka hidangan sate.
"Bang, kok masih baik sama aku?" Tanya Melodi yang tak dapat membendung rasa bersalah sekaligus penasaran.
"Hmm... " Bang Toni tersenyum malu, "Kan aku pacarmu, Mel!"
Deg.....
"Pa-pacar...? Bukannya tadi aku sudah menolakmu, Bang."
"Aku kan bilang bakal berusaha, kalau nggak dicoba mana tau kamu nggak ada rasa." Bang Tono menusuk lontong, akan menyuapi Melodi.
"Ck! Tapi bukan berarti kita pacaran, Bang!" Melodi mulai frustasi.
"Ini minum dulu, Mel."
"Bang, aku gak main-main lo!" Nada Melodi mulai mengancam. Matanya membulat.
"Aku juga gak main-main Mel, bukannya kamu bilang biar mengalir seperti air?"
"Tapi....nggak gitu mak--!"
"Aaaaaaaa.... Ayo buka mulutmu. Jangan banyak omong!" Bang Tono menyuapi Melodi, agar ia tak banyak bicara. Bang Tono sedang berusaha untuk memperjuangkan cintanya, meski dengan memaksa.