"Deposit lagi Mas?" Tanya Mbak Citra pada seorang lelaki muda yang baru turun dari mobil Opel merah.
"Iya Mbak. Kebetulan counternya ramai, jadi depo yang kemarin udah habis." Jelasnya
Setelah kelulusan sekolah, aku mulai bekerja di sebuah perusahaan elektronik milik keponakan Papa tiriku. Ada empat divisi dan beberapa cabang tersebar di beberapa kota. Aku bekerja sebagai Frontliner Grapari. Divisi yang lain yakni Counter Hp ( penjualan Hp , pulsa , dsb ) , RGS, dan RSO ( semacam dompet pulsa untuk counter-counter kecil).
Ingin sekali melanjutkan kuliah padahal aku termasuk anak yang berprestasi. Karena situasi dan kondisi akhirnya pupus sudah impianku.
"Ekhem... Ekhem.. Fitri, ini lo Farel deposit." Mbak Citra memanggil Fitri--karyawan RGS.
"Ah! Apaan sih, nanti ada yang marah." Jawab Fitri menepis godaan Mbak Citra.
Bukan tanpa sebab mereka menggoda Fitri saat lelaki muda itu--Farel Cell, nama counternya--datang untuk deposit. Kala itu booming sinetron Cinta Fitri--yang diperankan Shireen Sungkar dan Teuku Wisnu-- dengan nama Fitri dan Farel.
"Haha... Cie.. Cie... Fitri oey!" Mbak sayu menimpali sesekali tertawa menggoda.
"Uwes (sudah) to mbak!" Pinta Fitri. Matanya mengerjap beberapa kali, dengan senyum malu-malu.
Aku hanya diam memperhatikan sambil mengetik laporan. Karyawan bagian Frontliner memang cewek semua. Ada aku-- Melodi-- Mbak Citra, Mbak Sayu, Anggun, dan Lila. Tak heran kalau ada lelaki muda yang ramah pada salah satu cewek, pasti semua akan menggoda.
"Udah Mbak Say. Tuh Fitri ketakutan, nanti Babang tampan di belakang marah tuh." Aku menunjuk bagian pintu, terlihat seorang lelaki mengintai--Mas Reno. Mas Reno, seseorang yang sedang dekat dengan Fitri.
Gelak tawa semakin terdengar, samar aku mendengar perdebatan Fitri dan Mas Reno.
"Lo! Ton... " Pak Joko tiba-tiba menyapa lelaki-- Farell Cell. Seperti seorang teman lama yang baru bertemu. Pak joko menepuk bahu Tono.
"Lo, Joko.."
Mereka tertawa bersama.
"Ini ya Mas print outnya. Terimakasih," Begitu ucap Mbak Citra. Tangannya memberi selembar kertas print hasil pembelian depo.
"Sama-sama." Pak Joko menggiringnya berlalu dan duduk di sofa tunggu. Entah apa yang mereka bicarakan.
Aku hanya mengamati dari balik meja frontliner tanpa bisa mendengar percakapan mereka.
"Mel, enggak istirahat nih?" Tanya Mbak sayu yang duduk di sebelahku, mulai menghidupkan komputer.
"Bentar Mbak, nanggung nih." Tanganku membuka beberapa lembar print out hari ini dan mencocokkan dengan data di komputer. Agar tidak terjadi selisih saat rekapan nanti.
[ Hey... Nanti makan dimana?]
Satu pesan masuk di yahoo messengger.
Apalagi sih ini! Aku menutup pesannya tanpa membalas. Malas.
Beberapa menit kemudian,
[ Woy Mel.. Balas!]
Lagi, pesanmasuk dari seorang laki-laki karyawan RSO bagian belakang.
Hemm.. aku hanya bisa menggeleng.
[ Aku makan di rumah.]
Balasku.
Rupanya, lelaki ini pantang menyerah. Padahal aku hanya menanggapi iseng kelakuannya yang sering menggoda.
Saat ini lebih baik aku fokus meniti karir, mencari pundi-pundi masa depan. Banyak hal yang harus aku wujudkan. Terlebih baru saja hubunganku dengan Ivan kandas. Tak ingin secepat itu menjalin hubungan yang baru.
"Eh.. Mas Sandy nge-YM?" Tiba-tiba tubuh Mbak Sayu condong ke arahku menghadap layar komputer. Mbak Sayu membaca pesan baru dari laki-laki itu.
[ Makan bareng yuk!]
Tanpa ku balas langsung ku tutup segera. Tak ingin terjadi pembullyan berikutnya.
"Apaan sih Mbak." Aku mendorong Mbak Sayu kembali ke posisinya. Ku tepis tangannya yang berusaha untuk membuka pesan dari Mas Sandy.
"Cie... Bentar lagi ada yang jadian." Suara Mbak Sayu terdengar lantang. Aku hanya bisa menatap tajam.
Iiiih.... Tuh kan jadi bahan olokan!
Leli melihat ke arahku, matanya membulat. Memastikan siapa pacarku berikutnya. Setelah sahabatnya terluka karenaku. Yah, Sahabat Leli--Libe dulu adalah mantanku. Seorang pemuda yang mencintaiku dengan tulus. Tak tahu mengapa pemuda sebaik dan sesabar dia tak mampu menaklukkan hatiku. Dengan gampangnya aku berselingkuh. Saat menjalin hubungan dengan Libe aku pun menerima Ivan. Aku jujur pada ke dua nya, tanpa ada kebohongan. Mereka pun tak mempermasalahkan. Mereka berlomba mendapat perhatian dan cintaku. Sayangnya aku tak mau terus menyakiti. Ku putuskan Libe dan tetap bersama Ivan.
FLASHBACK....
"Mel.. ini gak adil bagi aku. Kamu gak bisa mutusin aku hanya karena jarak rumahku yang jauh. Sedangkan Ivan dan kamu sekolah di Kota yang sama. Aku enggak mau!" Ucapnya dengan tegas tangannya menggenggam tanganku. Memohon agar hubungan ini tetap bertahan.
Aku menggeleng pelan, tak mampu memandangnya. Aku pun tak tega menyakitinya.
"Mel.. tolong kasih kesempatan sekali lagi. Aku gak bakal kuliah di Kota sebelah. Aku bakal pilih deket kamu!"
Bagaimana bisa aku dicintai dengan tulus olehmu. Sedangkan aku tak baik bagimu. Sampai detik ini, sosok Mas Wildan belum tergantikan bahkan oleh Ivan ataupun dirimu. Menjalin hubungan denganmu atau Ivan tak lebih sebagai sahabat.
"Raihlah mimpimu Be.. jangan pedulikan aku. Kamu pun tau bagaimana rasaku. Ini bukan tentang jarak dan siapa yang paling sering bersama. Bukan. Ini karena aku tak mau lebih lama menyiksamu. Anggap saja begitu. Aku terlalu jahat kalau terus bersamamu." Aku tersenyum memberinya pengertian, kulihat ada yang mengembun di matanya. Sudah berapa kali aku membuatmu menangis Be.
"Enggak Mel.. ini pilihanku menerima rasa yang kau bagi. Aku hanya ingin kesempatan mendapatkan cintamu seutuhnya. Aku yakin suatu saat rasa itu akan singgah dengan sendirinya." Pintanya
Entah harus bagaimana menjelaskan agar diamau mengerti. Ku putuskan untuk menjauhinya perlahan.
FLASHBACKOFF..
Sepintas kenangan terakhir kali bersama Libe muncul di benak. Membuatku semakin bersalah. Sudah berapa orang terluka karena keegoisanku.
🌺🌺🌺
Beberapa hari berlalu. Tak lagi ku tanggapi pesan dari Mas Sandy atau lelaki lainnya. Apalagi Ivan masih saja menghubungiku meminta kembali. Sayang, rasa ini enggan kembali memilih menyendiri.
Santer terdengar akan ada karyawan baru di Kantor bagian driver merangkap asisten Pak Joko. Beberapa karyawati berbisik saling menebak. Maklum, cewek disini lebih banyak dari bangsa cowoknya. Tak heran juga Kantor menjadi ajang mencari jodoh, buktinya beberapa karyawan menikah dengan teman kantor mereka sendiri.
Terlihat Pak Joko masuk ke ruang Rapat dan seorang lelaki mengekori di belakangnya. Lelaki yang kami kenal dengan Farel Cell.
'Oo ternyata dia karyawan barunya.' Gumamku
"Ayo Ton.. perkenalkan diri!" Pinta Pak joko mempersilahkan karyawan baru maju selangkah.
"Perkenalkan nama saya Tono, Tono Nitoharjo. Saya akan bekerja sebagai driver khusus dan asisten Pak Joko. Terimakasih dan mohon kerjasamanya." Ia memperkenalkan diri dengan senyum malu-malu kucing di hadapan semua karyawan. Wajar lah ya, yang memperhatikan 70% cewek semua.
Bang Tono biasa kami menyapanya. Termasuk sosok yang humoris, baik, suka membantu, dan pemalu. Lelaki yang tingginya hanya 165cm berkulit putih itu berusia 20 tahun. Selain bekerja sebagai driver di Kantor, ia juga mengenyam bangku kuliah. Setelah bekerja, ia langsung bergegas menimba ilmu di Universitas swasta fakultas Tekhnik sipil.
"Setauku Bang Tono itu kan punya mobil, punya Counter terus kuliah pula. Kok mau sih jadi driver?" Mbak Citra memulai pembicaraan menjadi bahan gosip siang ini.
Aku hanya menaikkan bahu tanda tak tau. Lagi pula aku tak begitu peduli akan kehidupan pribadi Bang Tono.
"Hayo... Rasan-rasan (gosip) opo?" Pak Joko tiba-tiba berada tepat di belakang kami.
"Hehe.. enggak Pak." Wajah Mbak Citra memerah menahan malu.
"Itu lo Pak, penasaran sama Bang Tono."
"Oo.. Tono ta. Kenapa bahas Tono, ada yang naksir?" Tanya Pak joko menatap Mbak Sayu curiga disertai senyum menggoda.
"Uduk (bukan) aku Pak!" Mbak Sayu membantah tuduhan Pak Joko.
"Eh.. Ngomongin Tono, emang siapa yang naksir? Wah bisa saingan sama Maya." Kali ini Pak Teguh menimpali.
Seketika kami-- Melodi, Mbak Sayu, Mbak Citra--terbelalak kaget atas penuturan Pak Teguh.
"Mbak Maya naksir Bang Tono?" Tanyaku menahan tawa langsung membekap mulut dengan kedua tanganku.
"Haha... Bukan, maunya tak comblangin!" Jelas pak Teguh yang berlalu di balik pintu.
"Eh Bang Tono itu mandiri lo, suka kerja keras. Enggak mau gantungin ke orang tua." Jelas Pak Joko yang membuatku tertegun. Hebat. Jaman sekarang mana ada anak orang kaya mau kerja jadi driver. Bayangin!
Karena satu hal yang disampaikan Pak Teguh kala itu, beberapa cewek di Kantor membully Bang Tono. Mengaitkan dengan Mbak Maya atau beberapa cewek jomblo di Kantor. Menyerang Bang Tono tanpa ampun.
Suatu ketika...
"Bang Tono, minta tolong perbaiki chargerku bisa? " Pintaku dan langsung menyerahkan chargel motorola yang kabelnya sudah berantakan.
"Ehmm... Bisa Mbak, tapi tak bawa pulang ya, disini gak ada alatnya."
"Iya Bang, "
Dia masih duduk di sofa, karena memang siang ini grapari lumayan sepi. Ia mulai mengajak ku mengobrol.
"Mbak , aku kaya ' pernah tau kamu. Tapi dimana ya?" Ia mulai mengeluarkan seluruh isi memory di kepalanya.
"Banyak yang bilang gitu Bang, tapi dimana ya?"
Hening, Ia tampak berfikir. Dan aku mulai menerka-nerka isi fikirannya.
"Bang Tono pernah titip motor gak? Di daerah selatan. Soalnya dulu kalau libur sekolah aku bantu jaga penitipan motor. " Aku coba memberi petunjuk, yang mungkin bisa mempermudah ia mengingatnya.
"Pernah Mbak, sudah lama sekali." Jawabnya
Aku tersenyum, sedikit lagi mungkin akan mengingat lebih jelas.
"Iya Papa tiriku yang penanggung jawab di sana Mas."
Sebelum melanjutkan aku tampak berfikir, benarkah dia lelaki yang dulu itu? Lelaki gaya nyentrik sapu lidi, yang sempat aku ejek dalam hati? Kalau memang benar, tamatlah riwayatku.
"Dulu aku tanya nomer telfon Mbak, setelah turun dari Bus, aku coba telfon tapi enggak aktif." Ia tersipu malu dan menahan senyum. Tangannya menulis coretan-coretan tak jelas di kertas. Terlihat gugup. Aku hanya melirik dan mengangguk , meneruskan pekerjaanku menatap layar monitor komputer.
"Haha... Iya Bang memang udah enggak aktif. Maaf ya bohong."
Masyaallah dunia ini begitu sempit. Ternyata memang benar itu dia. Kenapa bisa dipertemukan lagi seperti ini.
"Dulu sekolah dimana Mbak?" Tanyanya lagi
" Di Kota Bang,"
" Berarti dulu pulang pergi?"
" Enggaklah bang, bisa pingsan dijalan aku pulang pergi. Haha..."
"Hahaha.. Bisa aja mbak, hahaha..
Terus ngekos?"
" Iya Bang, aku ngekos di Anu***h."
"Hah.... Aku punya temen disitu, namanya Santi sekolah Smada senja. Kakak kelasmu sepertinya Mbak. "
"Hah!... Mbak Santi yang sexy itu? Rambutnya pirang, terus rumahnya di desa kan Bang?" Tanyaku yang sedikit terkejut, aku mulai mengingat sesuatu.
Masyaallah... Lagi dan lagi ternyata dia orang yang sama. Orang yang beberapa tahun lalu aku ejek di hati.
"Nah.. nah iya itu mbak. Sekarang aku baru inget, kalau gak salah Mbak Melodi pernah tak suruh manggil Santi ya?"
Bisa dipastikan bagaimana wajahku saat ini, sudah seperti tomat, merah merona akibat menahan malu. Lebih baik mengalihkan pembicaraan sebelum wajahku semakin padam.
"Gimana Bang, masih sama Mbak Santi? "
"Uh ngawurrr.... Aku temennya Mbak, bukan pacarnya. Pacarnya Santi ya temenku juga. Karena rumahnya searah, jadi suka nebeng." Jelasnya
"Oalah.."
"Aku dulu sempet marah dan kesel gara-gara kamu ngomongnya ceplas ceplos."
"Maaf Bang, itu kelepasan. Maklum mulutku gak ada remnya, blong loss deh." Duh sumpah ngerasa bersalah banget, seharusnya aku mengenalnya dulu baru berkomentar. Terlepas dari gayanya yang nyentrik, ia termasuk pemuda yang baik.