BRAK!
Gebrakan keras di permukaan meja yang sedang ditempati Lova dan Lila membuat kuah bakso yang ada di dalam mangkuk keduanya bergetar hingga tumpah sedikit.
"Allahu akbar!" jerit Lila terlonjak kaget. Sementara Lova memegang dada dengan kedua tangannya dan memejamkan mata.
"Jadi lo cewek yang tadi pagi Axel samperin?"
Lova membuka kedua matanya dan melirik kearah perempuan, teman satu angkatannya yang berdiri di depannya sedang melipat kedua tangan di depan dada. Zayba, most wanted di Senior High Global Cetta School. Inilah yang Lova khawatirkan, buntut dari aksi Axel tadi. Akan ada yang datang menghampirinya dengan aura permusuhan serta tatapan tajam berusaha untuk mengintimidasinya.
"Apa-apaan, sih lo, Zay!" sentak Lila keras hingga berdiri dari duduknya. "Bar-bar banget jadi cewek!" Lila menoleh menatap Lova ketika merasakan tangan gadis itu memegang lengannya.
Zayba mengibaskan tangan kanannya. "Gue gak ada urusan sama lo!" Zayba mengalihkan pandangannya pada Lova. "Lo--" telunjuk Zayba menunjuk tepat di depan wajah Lova membuat gadis itu langsung mendongak menatapnya. "Jauhin Axel. Axel itu pacar gue. Ngerti lo!" bentak Zayba keras.
Lova mengerutkan keningnya dalam. Zayba bukan salah satu dari dua perempuan yang dia lihat bersama Axel di mall waktu itu. Lova menggelengkan kepalanya samar. Dasar buaya. Berapa banyak pacar yang Axel punya sebenarnya? Lova menghela nafas lelah.
"Aku gak ada hubungan apa-apa sama Axel, kok. Kamu tenang aja gak usah khawatir."
Zayba mengangguk. "Oke. Gue percaya. Tapi awas aja kalau sampai lo bohongin gue!" kata Zayba keras sambil menggebrak meja lagi. Langsung berbalik badan dan berjalan meninggalkan kantin diikuti kedua temannya.
Lila kembali duduk di kursinya sambil menatap punggung Zayba penuh kebencian. Sok iye banget!
Lova menepuk lengan Lila pelan. "Udah jangan dilihatin terus. Lanjutin lagi makannya, Lila."
Lila langsung menoleh menatap Lova. Memutar kedua bola matanya malas ketika melihat cengiran lebar di wajah sahabatnya itu.
-firstlove-
Lova dan Lila beriringan keluar dari kantin lalu berpisah di depan pintu kantin. Lila ingin membetulkan dandanan gadis itu di toilet lantai satu. Sebagai salah satu anggota team cheerleader yang sudah pasti dijadikan sebagai standar kecantikan, penampilan dari ujung kepala hingga ujung kaki dituntut harus selalu paripurna, itu kata Lila. Lova tidak mengerti sama sekali dengan konsep gadis itu.
Lova berjalan ringan melewati koridor-koridor yang masih sangat ramai karena bel masuk sepuluh menit lagi baru akan berbunyi menuju kelasnya yang ada di lantai dua.
Merasa sedang diperhatikan, perlahan Lova melirik ke kanan dan ke kiri. Dan benar saja, banyak pasang mata yang tengah menatapnya dengan tatapan sinis lalu berbisik-bisik. Lova berdecak kesal dalam hati. Semua gara-gara Axe. Hidup tenangnya menjadi terusik. Pergi kemana laik-laki itu? Tidak bertanggung jawab sekali. Setelah keributan yang berhasil Axel perbuat dan sialnya melibatkan dirinya juga, laki-laki itu menghilang begitu saya entah kemana.
Lova menghela nafas samar. Tangan kanannya terulur mengaitkan surai rambut yang jatuh ke belakang telinga mencoba menutupi kegugupannya. Lova mempercepat langkah kakinya. Jika saja Lova tahu, dia masih akan mendapatkan respon yang tidak enak dari mereka seperti ini, lebih baik tadi memaksa ikut menemani Lila ke toilet.
Langkah Lova terhenti di ambang pintu kelasnya ketika melihat mejanya sudah dikerubungi oleh teman-teman perempuan yang ada di kelasnya. Dia sempat merasa aneh dengan sikap tenang teman-teman perempuan satu kelasnya. Tapi nyatanya di balik sikap tenang itu, mereka hanya sedang menunggu waktu yang tepat untuk melakukan interogasi padanya. Waktu dimana dia sedang sendiri tidak bersama dengan Lila.
Lova menutup rapat matanya sebentar. Apa lagi sekarang? Ya Tuhan! Hari ini terlalu banyak kejadian tidak biasa untuknya. Melelahkan. Lova menghembuskan nafasnya panjang sebelum melangkah pelan masuk ke dalam kelas.
Lova menelah salivanya kasar lalu berdehem kecil. "Ka-kalian lagi pada ngapain?" tanya Lova takut-takut dari jarak beberapa langkah dari mejanya. Lova meremas ujung kemeja putihnya ketika semua pandangan mata teman-teman perempuannya itu beralih padanya.
"Lo sama Axel, Va?"
"Hah?!" Lova melongo. Raut wajah polosnya langsung berubah menjadi terkejut. Kaki kanan Lova yang sudah akan melangkah menuju mejanya seketika terhenti.
"Iya, lo jadian sama Axel, Va?"
Lova hanya tersenyum kaku dan melanjutkan lagi jalannya yang sempat terhenti.
"Emm... itu--" Lova menunjuk mejanya dengan telunjuk tangan kanan. "Minta tolong, kalian bisa minggir sedikit gak? Aku mau duduk soalnya. Kalian menghalangi. Permisi. Permisi, ya." kata Lova halus sambil membelah kerumunan teman-teman perempuannya itu lalu duduk di kursinya.
Lova menghela nafas lelah. Menumpukan siku tangan kanan di atas meja. Lova memijat-mijat pelipisnya frustasi.
"Jawab dulu bisa kali, Va. Lo jangan diem doang, dong. Kan, kesannya malah jadi kaya lo membenarkan. Klarifikasi dong, Va. Gak usah sok main rahasia-rahasiaan, deh lo sama kita-kita!"
Raha-sia? Astaga! Lova memejamkan kedua matanya sekilas merasa sudah sangat jengah. Apa-apaan, sih ini semua?! Kenapa pada kepo banget! Memangnya kenapa juga kalau dia pacaran dengan Axe? Dimana letak salahnya? Apa akan terlihat sangat aneh jika dia yang menjadi pacar dari anak pemilik sekolah?
"Kok, lo bisa sama Axel, sih Va? Gimana ceritanya? Gak ada angin gak ada ujan. Bisa, ya tiba-tiba Axel samperin lo gitu aja tadi."
Lova perlahan mengangkat wajahnya sedikit mendongak menatap temannya yang baru saja mengajukan pertanyaan itu.
"Oke." jawab Lova sambil mengangkat kedua tangannya di depan dada meminta teman-temannya yang super duper kepo itu untuk menahan segala pertanyaan yang akan dilontarkan padanya. "Sekarang, bakal aku jawab pertanyaan kalian. Dengerin baik-baik. Aku-- gak jadian, gak pacaran atau apalah itu sebutannya sama Axel, oke? Udah jelaskan semuanya?" tanya Lova penuh penekanan.
"Kang kibul, dasar! Yang bener aja, deh lo! Gimana ceritanya lo gak jadian sama Axel, Va? Orang Axel aja sampai bela-belain nyamperin lo cuma biar lo gak kepanasan, doang. Kita belum budek, ya Va."
Lova menghela nafas kasar. "Aku juga gak tahu kalau soal itu. Aku beneran gak jadian sama Axel. Tanya aja sama Axel langsung kalau kalian masih gak percaya juga sama apa yang aku bilang."
"Ck! Lo deket, enggak. Jadian, iya! Gue yang flirting udah dari kapan tahu, dicuekin mulu."
"Ih! Dibilang aku gak jadian sama Axel juga."
"Halah! Satu sekolah, ya yang lihat kejadian pas upacara tadi. Gak usah ngelak, deh lo, Va. Harusnya lo bersyukur, Va bisa pacaran sama Axel."
Bersyukur dari mananya, sih?! Hidupnya jadi tidak tenang begini dia diminta bersyukur? Yang benar saja! "Enggak, ih!" seru Lova keras sambil mengesakan kakinya kesal. Lova menelungkupkan kepala di atas kedua tangannya yang dilipat di atas meja.
-firstlove-
"Lila? Kamu dari mana, La?" tanya Malik ketika tidak sengaja bertemu Lila di bawah tangga penghubung ke lantai dua.
"Eh? Aku barusan dari toilet, Lik." jawab Lila seraya menunjuk arah belakang dengan telunjuknya tanpa melihat. "Habis dandan." terang Lila lalu nyengir lebar.
"Ck! Dandan mulu, sih kamu, La kerjaannya. Heran akutu..." sewot Abdul menatap Lila malas. Sementara Malik hanya geleng-geleng kepala.
"Jangan centil, ya, Lila. Aduin, nih." acam Malik sambil mengambil ancang-ancang mengambil ponsel di dalam saku celananya.
"Ih! Jangan, dong?!" cegah Lila keras. "Enggak, ya Malik. Aku itu gak centil. Tapi, kan emang harus selalu cantik. Aku anggota cheerleader, lho." terang Lila sambil memainkan kedua alisnya naik turun. Bibirnya tersenyum lebar.
"Ck!" decak Malik keras. Malik mengibaskan satu tangannya seraya melengos.
"Sok, syantik amat yah, Andah!"
Lila mengibaskan rambutnya dengan raut wajah angkuh membuat Malik memutar kedua bola matanya malas.
"Yeu... betewe--" Abdul mengedikan dagunya. "Kamu sendirian aja? Vava mana, La?"
"Aku suruh Lova pergi ke kelas duluan aja tadi, Dul. Orang aku cuma mau dandan bentaran doang, kok. Ngapain juga harus ditungguin, kan?"
"Pardon. Bentarannya kamu itu berapa menit, ya La, ya?" tanya Abdul sambil menatap Lila malas.
Lila hanya cengengesan.
"Ck! Udah. Ayo masuk. Lova nanti kelamaan nunggu sendiri."
"Kuy, lah!" seru Abdul sambil merangkul leher Lila.
Malik memimpin berjalan di depan Lila dan Abdul dengan kedua tangan yang dimasukan ke dalam saku celananya. Sementara Lila dan Abdul, keduanya berjalan beriringan yang diselingi dengan pertengkaran kecil.
Sudah menjadi hal yang wajib bagi Malik dan Abdul untuk memastikan keadaan Lova dan Lila sebelum atau setelah mereka berdua mabal.
-firstlove-
"Heh! Para jamet! Lo semua lagi pada ngapain ada di situ, hah? Sana. Bubar-bubar! Sana. Hush! Hush!" usir Lila sambil mengibas-ngibaskan kedua tangannya.
"Booo..." suara sorakan protes keras yang ditujukan untuk Lila terdengar nyaris bersamaan.
"Apa lo! Apa lo! Berani sama gue lo, hah!" tantang Lila sambil berkacak pinggang dan memaju-majukan dadanya.
Abdul mengibas-ngibaskan kedua tangannya dari belakang Lila membuat kerumunan langsung terurai. "Udah. Gak usah, sok berani, ya kamu." kata Abdul sambil menarik turun kedua tangan di pinggang Lila.
"Ish!" desis Lila sambil melirik Abdul tajam dari balik bahunya.
Malik menghela nafas samar. Berjalan pelan menghampiri Lova. "Princess?" panggil Malik lembut sambil mengelus kepala Lova pelan.
Lova perlahan mengangkat kepalanya. "Malik..." rengek Lova dengan kedua mata yang sudah memerah menahan tangis.
"Iya, princess. Ada apa, hm?" tanya Malik lembut sambil duduk berjongkok di depan Lova yang sedang duduk menyamping.
"Hey... are you okay, sunshine? Pucat gitu muka kamu. Mata kamu juga merah. Kamu kenapa?" tanya Lila dengan raut khawatir yang kentara. Lila mengulurkan punggung tangan kanannya dan menempelkan di kening Lova.
Lova tersenyum kecil seraya menarik turun tangan Lila. "Lova gak apa-apa, kok Lila. Lagi sedikit kaget sama kesel aja."
Abdul menumpukan tangan kanannya di atas meja. Sementara tangan kirinya dimasukkan ke dalam saku celana. "Vava kaget kenapa? Kesal kenapa? Bilang sama Abdul." berondong Abdul.
Raut wajah Lova langsung berubah menjadi cemberut. Lova mengerucutkan bibirnya. "Ini, tuh gara-gara teman Malik sama Abdul."
"Siapa? Axel?"
"Hmm," Lova mengangguk pelan.
"Memangnya bos Axel ngapain Vava?"
Lova menghela nafas berat. "Gara-gara pas upacara tadi, kan. Lova jadinya ditanya macem-macem yang enggak-enggak juga. Lova udah kasih mereka jawaban yang paling jujur, tapi masih dibilang tukang kibul, masa?" terang Lova dengan raut kesal yang tidak bisa disembunyikan.
"Siapa yang berani bilang kamu tukang kibul, sunshine?" tanya Lila dengan suara datar.
Lova mengangkat kedua bahunya tak acuh. "Gak tahu tadi siapa, Lila. Lova gak mau lihat mereka."
"Princess. Sini, lihat aku." titah Malik dengan suara pelan.
Lova menoleh menatap Malik. "Kenapa Malik?"
Malik menghela nafas samar. "Dengerin aku, ya princess. Apapun yang nantinya bakal Axel lakuin. Sebisa mungkin kamu jangan sampai baper. Axel itu playboy. Kamu juga tahu soal itu, kan?"
Lova mengangguk pelan.
Malik perlahan menarik kedua tangan Lova yang ada di atas pangkuan gadis itu dan menggenggamnya erat. Menatap Lova lekat.
"Kasusnya kelihatannya memang beda sama kamu, princess. Tapi aku tetap gak bisa menjamin 100% Axel bener-bener serius sama kamu. Hati orang itu gampang banget berubahnya. Gak terkecuali hati kamu, princess. Kalau suatu saat nanti kamu sampai baper. Aku--" Malik menggelengkan kepalanya pelan. "Gak mungkin bisa mencegah dan gak akan melarang kamu juga. Yang aku minta, cukup kamu sisakan sedikit ruang di hati kamu untuk hal yang terburuk. Supaya kamu gak terlalu sakit hati pada akhirnya."
Lova melirik ke arah Lila dan Abdul secara bergantian. Ketika melihat keduanya menganggukan kepala, Lova beralih menatap Malik dan mengangguk pelan.
"Kesambet setan mana, dah bos Axel? Mainnya sama anak kelas sendiri sekarang."
Malik berdiri dari posisi duduk berjongkoknya. Langsung memukul bagian belakang kepala Abdul keras membuat laki-laki itu mengaduh kesakitan.
"Aduh! Njirr, lah Lik! Sakit tolol!"
"Ambigu, bego!"
"Lo aja yang kebanyakan nonton bokep, Lik." Abdul menoyor kepala Malik. "Otak mesum lo!" sembur Abdul tepat di depan wajah Malik.
"Oi! Mulut lo bau naga, setan!" sewot Malik sambil mendorong wajah Abdul dengan kasar.
"Njir, lah! Mana ada! Hoax, lu!" sangkal Abdul keras. Abdul memposisikan telapak tangan kanannya di depan mulutnya dan membuang nafasnya kasar. "Hahk!" tubuh Abdul seketika terhuyung ke belakang. "Njirr, lah Lik! Bau gilak!"
"Bodo amat, nyet! Bodo amat!"
"Eh! Abdul. Jorok amat, sih kamu, ah! Pantesan aja jomblo."
"Kok, kamu jadi bawa-bawa status, sih La? Aku tanya sekarang. Bedanya kamu sama aku itu apa coba?"
Lila memutar kedua bola matanya malas. "Eh! Abdul. Dengerin, ya." Lila berkacak pinggang. "Aku sama kamu itu jelas banget bedanya. Kamu itu, jomblo. Nah, kalau aku itu--" Lila menunjuk dadanya dengan telunjuk tangan kanannya.
"Kamu apa coba?"
"Aku pejuang L.D.R!" kekeh Lila.
"Prett! Yakin kamu banget kamu, La bang Kev gak selingkuh di sana?"
"Abd--"
"Bo-kep?" gumaman Lova pelan membuat ketiganya beralih memperhatikannya. Lova melotot menatap Malik. "Malik nonton bokep? Serius?" tanya Lova dengan kedua mata membelalak lebar menatap Malik tidak percaya.
Malik berdehem pelan seraya menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Duh!
"Vava..." panggil Abdul pelan sambil menatap Lova serius.
"Iya, Abdul? Ada apa? Kayanya serius banget, nih. Kenapa?"
"Soal Axel, kamu ikutin aja, ya apa yang Malik bilang tadi. Semua itu pasti buat kebaikan kamu juga. Dan tentang bokep itu gak penting sama sekali sekarang. Beneran, deh."
Lova melongo.
Abdul otak udang! Malik langsung menyeret Abdul keluar kelas sebelum Lova mencak-mencak.
"Malik, ih! Mau kemana lagi?!" jerit Lova tertahan sambil menghempaskan punggungnya ke sandaran kursi kasar. "Kalau begini. Lova harus razia kamarnya Malik, nih. Iya, kan Lila?" Lova menatap Lila penuh harap.
Lila terkekeh pelan sambil menggelengkan kepalanya pelan.
"Kok, enggak, sih Lila?" tanya Lova tidak mengerti.
"Ya, biarin aja. Malik sama Abdul, kan lagi di masa-masa puber. Biarin aja, sih sunshine. Asal mereka gak khilaf terus mempraktekkan sendiri adegannya."
"Li--" Lova sukses dibuat Lila speechless. Menatap sahabatnya itu tidak percaya.
Tbc.