["Jadi itu, pacar barunya Axel?"]
Gerakan tangan kanan Lova yang akan membuka pintu loker seketika terhenti. Perlahan memutar kepalanya ke arah tiga orang perempuan, mungkin saja kakak kelasnya yang sedang berdiri dengan melipat kedua tangan di depan dada dan menatapnya tidak suka tak jauh di samping kanannya.
Pacar, ya? Lova tersenyum tipis. Sudah seminggu berlalu sejak kejadian di lapangan upacara waktu itu, tapi sepertinya mereka belum lelah untuk membicarakannya. Bahkan Lova juga sudah seminggu ini tidak pernah lagi bertemu dengan Axel. Bukankah seharusnya hal itu sudah bisa menegaskan jika dia tidak ada hubungan apa-apa dengan laki-laki itu?
["Yang gue denger, sih kaya gitu."]
["Ck! Biasa banget gitu! Cantikan gue kemana-mana kali."]
Lova meremas buku yang berada di pelukannya erat. Menatap ketiganya nanar.
["Jangan ngadi-ngadi, deh lo. Jelas-jelas cantik gue, lah!"]
Lova langsung saja membuang muka ketika pandangannya tidak sengaja bertemu dengan tatapan mengejek dari ketiga kakak kelasnya itu. Terdiam sejenak menatap pintu loker di depannya kosong.
["Dasar halu lo berdua! Ya, lebih cantikan gue, lah!"]
Lova menghela nafas pelan mencoba mengulur kesabarannya. Tangan kanannya terulur membuka pintu loker.
["Lagian, nih ya... bagusnya dari cewek itu apaan, sih!"]
Lova sekuat tenaga berusaha untuk tidak menghiraukan pertanyaan bernada merendahkan itu. Berusaha menutup kedua telinganya rapat-rapat. Berusaha menguatkan hatinya agar tidak sakit hati. Berusaha menebalkan wajahnya. Lova dengan gerakan cepat meletakkan buku-bukunya yang sudah tidak digunakan ke dalam loker.
["Satu kata. Nothing! Cabut guys!"] Terdengar suara tawa mengejek dari ketiganya.
Lova merapatkan tubuhnya ke loker. Menundukan kepala dan memejamkan kedua matanya rapat-rapat. Lova mencoba menahan hatinya yang berdenyut sakit. Sekeras apapun usahanya untuk tetap bersikap biasa saja seolah tidak terjadi apa-apa, nyatanya semua ucapan-ucapan buruk itu tetap saja mempengaruhinya.
Kenapa mudah sekali mereka berucap? Sementara mereka saja tidak mengenal dia seperti apa. Lova menghembuskan nafas panjang seraya mengangkat kepala dan membuka kedua matanya lagi. Memundurkan tubuhnya sejalan dengan pintu loker yang sedang dia dorong hingga tertutup.
"Astagfirullah!" jerit Lova kaget. Tubuhnya terlonjak ketika pintu loker sudah tertutup ada wajah Axel yang langsung muncul tepat di depan wajahnya. Lova menekan dada kirinya dengan tangan kanan. Sementara tangan kiri memegang lutut kakinya sebelah kiri juga yang terasa lemas.
Alih-alih merasa bersalah. Axel malah terbahak puas ketika melihat raut kaget tercetak jelas di wajah Lova yang menurutnya sangat... lucu?
Matanya melirik ke atas menatap Axel kesal. Lova menegakan posisi berdirinya seraya menjauhkan tangan dari dadanya. "Ih! Axe..." Lova bertubi-tubi memukul lengan dan dada Axel sembarangan dengan kedua tangannya. "Kaget banget tahu, ih! Jantung aku rasanya udah kaya mau copot!"
Axel hanya terkekeh dan tak berusaha untuk menghindar dari pukul-pukulan Lova yang tidak terasa sakit sama sekali baginya yang sudah terbiasa adu jotos.
"Rasanya kaya mau meninggal! Ngerti gak kamu, ih?!"
"Lebay amat, lo elah!" sahut Axel ditengah-tengah kekehannya.
Gerakan kedua tangan Lova seketika terhenti di udara ketika bahunya tiba-tiba saja ditarik masuk ke dalam pelukan Axel. Tubuhnya langsung berubah menjadi tegang. "A-axe? Kam--"
"Sebentar, my Lov." kata Axel sambil menyandarkan kepalanya di bahu Lova sebelah kanan. Inikah nyaman?
"Kam-kamu ngapain?!" tanya Lova panik.
"Peluk, lo." jawab Axel enteng.
Lova memutar kedua matanya malas. "Kamu kemana aja, sih sebenarnya?! Kenapa kamu baru nongol sekarang, coba?" tanya Lova sambil menurunkan kedua tangannya dan membiarkan terkulai di sisi tubuhnya. Tak membalas pelukan Axel.
Axel terkekek kecil. "Kenapa? Lo kangen sama gue, ya my Lov?"
Lova mencebikan bibirnya. Kangen katanya? "Kangen apa, sih?! Mana ada!"
Axel mengangguk kecil dan menarik tubuh Lova semakin masuk ke dalam pelukannya. Axel memeluk gadis itu erat.
Lova mendengus pelan. "Axe, please. Jangan modus!"
"Hmm?"
"Ish!" Lova memukul lengan Axel pelan. "Ax-xe?!"
"Hmm?"
Lova berdehem pelan. "Axe? Ini-- kita berdua lagi jadi bahan tontonan sama anak- anak yang lain, lho by the way." terang Lova sambil mengedarkan padangannya menatap ke sekelilingnya tidak nyaman.
"Udah biasa, gue."
Lova mendengus keras. "Kamu aja yang biasa. Aku, mah enggak." Lova menggeleng kecil. "Masalah yang di lapangan upacara kemarin aja belum ilang-ilang juga sampai sekarang. Ini, malah udah kamu tambahin lagi."
Kedua alis Axel menaut dan dengan sangat berat hati melepaskan pelukannya. "Lo ada masalah apa emang? Gue gak tahu."
Lova geleng-geleng kepala. "Ya, gimana kamu mau tahu juga, sih Axe. Kamu aja gak pernah ada di sekolahan." terang Lova sambil memutar badan menghadap loker lalu mengunci lokernya. Lova berbalik kembali menatap Axel. "Anak-anak terutama fans-fans garis keras kamu sama pacar-pacar kamu yang entah ada berapa banyak jumlahnya itu pikir aku itu beneran pacar kamu, tahu. Kita, kan gak pacaran."
Axel tersenyum miring. "Kata siapa lo bukan pacar gue?" tanya Axel dengan suara dingin dan wajah datar sambil menatap Lova tajam.
"Hah?" kedua bola mata Lova bergerak-gerak ke sana kemari menatap Axel bingung. Lova berdehem pelan. "Ya-- kata aku barusan aja itu. Aku sama kamu. Kita emang gak-- pacaran, kan Axe, kan? Iya, kan?" tanya Lova menatap Axel serius.
Axel menggeleng pelan.
Lova yang kebingungan reflek ikut menggelengkan kepala pelan. Maksud geleng kepala begitu apaan, coba? "Eh? Gimana? Maksud kamu geleng kepala kayak gitu apa, Axe?"
Axel mengangkat kedua bahunya tak acuh. Lalu mengeluarkan ponsel dari saku celananya dan menyodorkan tepat di depan wajah Lova membuat gadis itu reflek memundurkan wajah.
"Ih! Apaan, sih?!"
"Masukin nomor lo."
"Buat apaan emangnya nomor aku, Axe?" tanya Lova tapi tetap mengambil ponsel dari tangan Axel dan mengetikan nomornya di sana.
Axel memanggil nomor yang diketikan Lova tadi. Saat mendengar getaran dari ponsel yang disimpan di saku kemeja putih gadis itu, Axel langsung saja memutuskan sambungannya. "Thank you, my Lov. Tunggu gue, oke?"
"Tunggu?" tanya Lova menatap Axel tidak mengerti dengan kening yang mengerut dalam. "Tunggu kamu ngapain, Axe?"
Axel hanya mengedikan kedua bahunya singkat lalu mencium pipi Lova sekilas. Langsung saja berlari sebelum gadis itu menyadari perbuatannya.
1 detik...
2 detik...
3 detik...
"Axe!!!" jerit Lova keras sambil menghentakan kedua kakinya keras. Akh! Habis sudah riwayatnya kalau begini ceritanya! Yang kemarin itu bukan apa-apa jika dibandingkan dengan ciuman yang Axel lakukan di hadapan semua orang baru saja itu. Bagaimana caranya dia bisa mengelak sekaran? Ya Tuhan!
Lova melirik ke kanan dan ke kiri sekilas. Berdehem kecil sambil mengambil ancang-ancang. Lova menutup wajahnya dengan kedua tangan langsung berlari kencang menuju ke kelasnya, tempat yang menurutnya paling aman untuk sekarang ini.
Tbc.