Lova berjalan pelan memasuki Senior High Global Cetta School. Sesampainya di lorong koridor pertama yang harus dilewati, Lova terpekik kecil serta tubuh terhuyung ke depan ketika ada seseorang yang tanpa aba-aba langsung merangkul bahunya keras dari arah belakang.
"Astagfirullah, kaget!" jantungnya berdetak cepat. Lova reflek memegang dadanya sebelah kiri mencoba menenangkan jantungnya seraya memejamkan mata.
"Good morning, sunshine!"
Lova membuka matanya seraya menghela nafas lega ketika mengenali pemilik dari suara cempreng itu. Perlahan menoleh kearah samping kanannya. "Good morning too, Lila." balas Lova sambil geleng-geleng kepala melihat Lila sedang cengengesan.
Dalila Grazinia, nama panjang dari sahabat sehidup Lova itu. Gadis manis dengan tubuh berisi tidak kurus tidak juga gemuk, tinggi badan sekitar 1, 62 meter, kedua pipi chubby dan rambut hitam belah tengah sepanjang sepuluh senti di bawah bahu. Lila banyak memiliki stock panggilan 'sayang' yang berbeda-beda setiap harinya untuk Lova.
"Sorry. Aku bikin kamu kaget, ya sunshine?"
Lova menggeleng pelan. "Gak apa-apa, kok Lila, Lova oke."
Lila hanya mengangguk pelan dan memeluk Lova sekilas.
"So... hari ini gilirannya Lova adalah sunshine?"
Lila terkekeh kecil. "Yep!" Lila mengangguk kecil seraya membetulkan posisi tali tas JanSport Superbreak Backpack Peachy Keen yang sedikit turun dari bahu kirinya. "Secerah matahari di pagi hari ini bukan, sunshine?" tanya Lila sambil memainkan kedua alisnya naik turun dan tersenyum lebar.
Lova tergelak sambil geleng-geleng kepala tidak setuju. "Lebih ke--" Lova memicing menatap wajah Lila lekat. Mengangkat telunjuk tangan kanannya di depan wajah Lila. "Secerah wajah Lila di pagi hari ini aja kali, ya..." kekeh Lova pelan. Lova melipat kedua tangannya di depan dada seraya berpaling menatap kearah depan. "Tahu, deh Lova yang selama weekend kemarin skype terus-terusan sama abang. Jadi kelihatan happy to the max."
Lila nyengir kuda. "Duhileh!" Lila mencolek dagu runcing Lova pelan. "Kaya yang perhatian banget, sih sunshine. Calon adik ipar yang baik sedunia emang kamu, sunshine." puji Lila dengan raut wajah bangga yang dibuat-buat sambil menepuk-nepuk bahu kanan Lova pelan.
Lova tertawa kecil sambil geleng-geleng kepala. "Lova emang udah dari sananya baik, lho Lila. Dan gak bisa dibilang Lova perhatian juga, sih." Lova melirik Lila sekilas. "Karena Lova udah dikasih warning keras duluan sama abang gak boleh gangguin abang lagi skype an sama Lila."
Lila terkekeh geli melihat raut wajah Lova yang berubah menjadi cemberut. "Abang gantengnya dimaklumi aja, sih sunshine. Ini by the way, kamu udah sarapan, kan sunshine? Hari ini ada upacara, lho. Yang pidato itu kepsek jadi pasti bakalan laaamaaa... buanget."
Lova terkekeh pelan. "Hiperbola banget, deh Lila. Lova udah sarapan, kok. Lova gak mungkin bisa lolos dari ceramah daddy kalau Lova belum sarapan Lila."
Lila manggut-manggut paham. Pria yang dia panggil uncle Alex memang seprotektif dan seposesif itu jika menyangkut hal tentang Lova. "Good girl, then." puji Lila sambil menepuk-nepuk puncak kepala Lova dengan satu tangannya yang bebas dan semakin mengeratkan rangkulannya di bahu gadis itu.
Lova tertawa kecil. "Kalau Lila udah sarapan juga, kan?"
Lila mengangguk pelan. "Nah, kalau soal yang satu itu aku senasib sepenanggungan sama kaya kamu, sunshine. Aku gak akan bisa lolos dari ceramah abang kamu yang super duper protektif dan posesif itu kalau aku sampai ketahuan gak sarapan. Mata-mata abang kamu banyak. Termasuk kamu yang suka aduan." Lila mengerucutkan bibirnya.
"Abang good girlfriend, then." kekeh Lova pelan membuat Lila ikut terkekeh dan menganggukan kepala setuju.
Lila menarik pelan bahu Lova mengiring gadis itu agar melangkah lebih cepat. "Yuk, ah! Kita, kan harus turun lagi. Kalau lama, nanti kita malah bisa telat, sunshine."
Lova hanya mengangguk kecil. Matanya melirik jam yang melingkar dengan manis di pergelangan tangan kirinya.
Mereka berdua berjalan beriringan diselingi dengan celotehan Lila yang mendominasi pembicaraan dan suara tawa Lova melewati koridor lantai satu yang mulai ramai menuju kelas mereka yang terletak di lantai dua. Sesekali mengulas senyum tipis dan menganggukan kepala kecil untuk membalas sapaan dari mereka-mereka yang mengenal keduanya atau salah satu dari keduanya. Lova dan Lila, keduanya bukan most wanted, tapi masih termasuk dalam jajaran good looking. Bukan merupakan bagian dari pengurus OSIS Senior High Global Cetta School yang namanya selalu dielu-elukan juga.
Lova hanya memiliki suara yang merdu dan kepiawaian dalam memainkan berbagai jenis alat musik menjadi sering didaulat untuk tampil menjadi pengisi di berbagai kesempatan acara yang diselenggarakan oleh Senior High Global Cetta School. Sementara Lila hanya menjadi salah satu anggota team cheerleader yang menjadi impian hampir seluruh murid perempuan yang ada di Senior High Global Cetta School bisa masuk dan menjadi anggota team di sana. Hal-hal itu sudah cukup membuat mereka berdua dikenal.
-firstlove-
"Gak gitu konsepnya beg--"
"Lagi-lagi, kalian. Lagu-lagi, kalian! Bosan sekali, Ibu lihat kalian bertiga!"
Axel dengan terang-terangan memutar kedua bola matanya malas. Telinganya sudah kebal dari segala repetan Bu Badia, guru Kesiswaan di Senior High Global Cetta School. Axel dengan santainya menghisap rokok yang terselip di sela jari tengah dan telunjuk yang langsung mendapatkan pelototan tajam dari Bu Badia. Axel mendongakan kepalanya sedikit dan membuang asap rokok itu lewat mulut. Sebelah alisnya naik. Axel balas menatap wanita paruh baya guru Kesiswaan itu tanpa ada sorot ketakutan sama sekali di matanya.
"Ya, gak usah dilihat, lah Bu! Repot amat, dah."
"Efeknya kejam banget, Bu. Gak akan tanggung-tanggung lagi, Bu. Ibu jadi bisa baper, lho kalau lama-lama lihatin saya. Ibu tahu, kan baper, kan? Itu, lho Bu bawa perasaan. Nah, kalau sampai Bu Badia baper, beneran, deh Bu. Kasian cowok ganteng macam saya ini, Bu."
Bu Badia berkacak pinggang dan kening yang mengerut dalam. Menatap dengan tatapan tidak mengerti. "Kenapa bisa jadi kamu yang kasihan? Harusnya Ibu yang kasihan di sini. Tensi Ibu selalu naik gara-gara ngadepin ulah kalian bertiga?!"
"Oi! Yang santuy, aja Bu. Jand ngegas mele. Keriput nanti wajah, Ibu. Skincare sekarang mahal-mahal, Bu."
Bu Badia langsung berpaling menatap kearah anak laki-laki dengan wajah blasteran yang sedang duduk tepat di samping Axel itu tajam.
"Njir, lah! Si Bego! Kaya yang tahu harga skincare sebelumnya berapa aja, lo. Gimana bisa lo tahu harga skincare, jomblo dari lahir juga, lo."
"Oi! Gak perlu punya pacar atau jadi playboy macam lo dulu, ya kalau cuma buat tahu harga skincare berapa, ngab!"
"Stop!"
"Tenang, Bu, tenang. Nih, ya Bu. Saya mau kasih tahu Ibu sesuatu."
Bu Badia beralih menatap anak laki-laki keturunan Arab yang duduk di seberang Axel itu dengan tatapan bertanya apa.
"Masalahnya kalau Ibu baper, bisa-bisa saya dicap jadi cowok akhlakless sama cewek-cewek cantik di luar sana, Bu. Saya itu, ya Bu, ya maunya sama yang seumuran aja. Bukan yang-- monmaap dulu nih, ya Bu... emak-emak macam Ibu gini." terang anak laki-laki keturunan Arab itu sambil meneliti penampilan Bu Badia dari ujung kepala sampai ujung kaki.
Bu Badia megap-megap sambil memukul-mukul tengkuknya. "Jaga pandanganmu! Dasar anak tidak punya sopan santun!"
"Ya, kan saya udah minta maaf tadi, Bu. Faktor U, nih. Ibu jadi pikun. Atau pendengaran Ibu yang minus, ya? Cek, lah Bu ke THT. Biaya Axel yang tanggung."
"Si Kampret!" sentak Axel keras sambil melempar anak laki-laki keturunan Arab itu dengan kotak tisu yang ada di atas meja kantin yang sedang mereka bertiga tempati.
"Sensi amat, ah elah Bu! Macam pantat bayi, aja."
Bu Badia menghembuskan nafas panjang mencoba meredam emosinya yang sudah mencapai ubun-ubun. Berusaha mengulur kesabarannya untuk menghadapi ketiga anak laki-laki paling sering berulah di Senior High Global Cetta School.
Bu Badia menatap ketiganya secara bergantian. "Kalian bertiga dengar, ya. Sudah sangat jelas tidak akan ada hukuman untuk kalian bertiga terutama kamu, Axel." kata Bu Badia sambil menatap kearah Axel dan menunjuk laki-laki itu dengan telunjuknya. "Tapi itu tidak menjadikan kalian bertiga menjadi istimewa dan berhak berlaku semau-mau kalian sendiri. Sekolah ini jelas punya peraturan."
"Ya, ya, ya." jawab anak laki-laki keturunan Arab malas.
"Peraturan itu ada buat dilanggar, Bu."
"Oi! Mampus. Tumbenan banget, otak lo bener."
"Njir, lah! Si kampret!"
Anak laki-laki dengan wajah blasteran itu terkekeh pelan seraya berpaling menatap kearah Bu Badia. "Noh, Bu--" mengedikan dagunya ke arah Axel. "Ibu lihat, kan? Yang udah bikin peraturannya sendiri aja ngelanggar."
Axel geleng-geleng kepala sambil menghisap rokoknya yang tinggal sedikit ketika melihat tingkah absurd dari kedua anak laki-laki berbeda ras keturunan itu. Malik Sava, si wajah blasteran dan Abdul Hafiz, si keturunan Arab... sahabatnya? No! Tidak ada hubungan dekat sejenis sahabat dalam kamus hidupnya. Lalu apa... teman? Not bad. Lumayan daripada tidak ada sebutannya sama sekali. Axel mengedikan bahunya samar.
"Bacot lo berdua!" sentak Axel keras sambil membuang asap rokok dari hisapan terakhir. Melempar sembarang puntung rokok di atas lantai dan menginjak dengan ujung sepatunya seraya beranjak berdiri dari posisi duduknya. "Cabut!" Axel melenggang dengan santai berjalan melewati Bu Badia begitu saja tanpa melirik wanita paruh baya itu sama sekali.
Ketimbang pusing dengan ocehan Bu Badia yang seperti kaset rusak. Diputar berulang-ulang kali dengan kalimat yang sama, lebih baik dia mencari seseorang yang kemarin menyaksikan drama murahan yang sialnya pelaku adegan itu adalah dia sendiri. Shit! Tubuh Axel langsung merinding. Merasa jijik dengan dirinya sendiri ketika mengingat kembali kejadian di mall kemarin.
"Mau pergi kemana kalian bertiga, hah!"
"Oi! Bu Badia. Besok lagi aja, dah Bu ngocehnya. Ugh! Udah panas banget ini kuping saya." protes Malik sambil mengusap-usap telinganya sebelah kanan.
Bu Badia geleng-geleng kepala tidak habis pikir. "Axel, Malik, Abdul! Masuk barisan kelas kalian bertiga sekarang! Ikut upacara bendera!" perintah Bu Badia dengan suara keras.
"Dadah! Bha-bhayy Bu Badiaaa..." pamit Abdul cengengesan sambil berjalan mundur dan melambaikan kedua tangannya heboh. "Besok lagi, ya Bu, ya kita ketemunya. Jangan kangen, Bu. Berat. Biar Dilan aja." sambung Abdul sambil melayangkan ciuman jarak jauh.
"Ck!" Malik berdecak keras. Tangan kanannya terulur menarik kencang kerah belakang kemeja Abdul. Malik menyeret laki-laki itu agar berjalan lebih cepat.
"Uhuk...uhuk...uhuk..." Abdul terbatuk-batuk. "Lik! Mal-lik!" Abdul memukul-mukul lengan Malik keras. "Njir, lah Lik! Gue kecekek setan!" teriak Abdul.
Malik tergelak puas. Sama sekali tak merasa kasihan ketika melihat wajah Abdul sudah berubah menjadi merah dan nafas tercekat akibat perbuatannya. "Mampusin! Kebanyakan tingkah, sih lo." sahut Malik yang tiba-tiba saja melepaskan tangannya membuat tubuh Abdul yang sedang dalam posisi berjalan mundur menjadi sedikit oleng. Malik berlari kencang mengejar Axel yang sudah berjalan sedikit jauh di depannya.
Abdul menegakkan tubuhnya langsung berbalik badan menatap punggung Malik penuh dendam. "Gak ada akhlak lo, Lik. Mati aja lo, Lik! Mati!" teriak Abdul keras sambil berlari mengejar Axel dan Malik yang sudah sampai di lapangan upacara.
-firstlove-
Axel tak menghiraukan jika keberadaannya kini sudah mengundang perhatian seluruh peserta upacara. Melangkah kaki panjangnya melewati tengah-tengah lapangan luas itu dengan kedua tangan dimasukan ke dalam saku celana panjang midnight bluenya.
Axel menatap Lova intens. Kedua alisnya terangkat. Kenapa terasa ada yang berbeda seperti... entahlah. Axel belum pernah merasa tertarik pada perempuan secepat ini. Pasti hanya efek dari tindakan gadis itu dua hari kemarin.
Tanpa Axel sadari, kedua sudut bibirnya tertarik ke atas membentuk senyum tipis ketika melihat warna wajah putih Lova yang sudah berubah menjadi merah seperti kepiting rebus karena kepanasan dan kedua mata gadis itu menyipit karena kesilauan.
"Lik, Malik." panggil Abdul pelan sambil menyikut perut Malik.
"Hmm," jawab Malik ogah-ogahan tanpa melihat Abdul. Kedua tangannya sudah bergerak sibuk bermain game yang ada di dalam ponselnya.
Abdul melirik Malik tajam dan mendengus keras. "Njir, lah Lik!" Abdul mendorong bahu Malik kencang membuat tubuh laki-laki itu oleng sedikit. "Gue banting juga, nih Iphone baru lo, Lik!" ancam Abdul.
Malik berdecak keras. "Bangsul emang lo, Dul! Tinggal dikit lagi gue menang, Abdul bangke!" sewot Malik sambil menunjukan layar ponselnya yang memperlihatkan tulisan besar game over dengan background game cacing yang tadi dimainkan. " Apaan, dah Nyet?! Awas aja kalau sampai yang mau lo omongin kagak ada pentingnya." ancam Malik menatap Abdul tajam seraya menurunkan ponselnya.
Abdul mengedikan dagunya ke arah Axel. "Si bos Axel kenape, tuh? Senyum-senyum sendiri kagak jelas, macem orang kagak penuh begitu."
"Mana gue tahu, Bambang!" jawab Malik tak acuh sambil menoyor kepala samping kanan Abdul. Malik mengetuk tombol play pada layar ponselnya. Malik kembali fokus bermain game.
"Malik terkutuk!" umpat Abdul keras. Tak menghiraukan Malik yang sedang tertawa puas. Abdul beralih mengikuti arah pandangan Axel. Tersenyum miring ketika mengenali sosok yang menjadi fokus Axel. "Lova." gumam Abdul lirih.
Gerakan kedua tangan Malik seketika terhenti. Malik mengangkat wajahnya menatap Abdul. "Siapa? Lo ngomong apaan, dah Nyet?! Jangan sok ngomong bisik-bisik, lo. Kagak bakal jadi napsu gue sama lo. Gue straight."
"Najong!" sentak Abdul keras. "Gue juga straight bego! Lo udah kagak ada akhlak, congek pula!" tangan kanan Abdul terangkat mendorong pipi kiri Malik kasar hingga kepala laki-laki itu berpaling menghadap depan. "Lo buka mata, lo! Penting kagak sekarang omongan gue. Bos Axel lagi gedebuk cincah. Ngincer princess kesayangan lo." Abdul mengedikan dagunya kearah Lova.
"Heh?" Malik memiringkan kepalanya sedikit.
"Hah-heh. Hah-heh! Tolol bin bego bin bloon emang lo, Lik ah elah. Noh!" Abdul mengangkat telunjuknya menunjuk punggung Axel. "Bos Axel lagi jalan ke arah Lova, Malik Samvah masyarakat!"
Malik langsung menoleh menatap Abdul sengit. "Bangke! Nama gue Malik Sava, Nyet, Sa-va! Nama gue udah di fitrahin sama bokap gue. Jangan main asal ganti, lo!"
"Bacot!"
Malik hanya mengibaskan tangan kirinya asal hingga mengenai wajah Abdul membuat laki-laki itu reflek mengerjapkan mata dan mundurkan wajah. Menatap Lova dengan tatapan yang sulit untuk diartikan.
Tbc.