"Apa?"
Mendadak, Cataleeya tidak bisa mencerna perkataan pengawal. Dia memang bersalah. Tapi tidak juga harus seperti ini hukumannya. Mana dia tidak tahu kalau Pangeran itu berburu dimana.
"Pangeran tidak suka menunggu, Nona …."
"Tapi aku tidak tahu dimana Pangeran berburu. Aku juga tidak bisa membaca peta," ucap Cataleeya. Bagaimana mungkin ia bisa menemukan Pangeran sebelum matahari terbenam? Gila saja. Ia bahkan sering lupa kemana arah kamar Pangeran. Lha ini? Dia harus mengirimkan makanan pada Pangeran yang berburu entah dimana.
"Nona … lihat ini. Pangeran berburu disini. Nona hanya perlu kesini, lihat ini." Pengawal itu mulai gemas menerangkan dimana Pangeran berada.
"Aku tidak bisa, Pengawal."
"Tapi Pangeran ingin Nona yang mengantar makanan ini. Cepat pergilah, sebelum kita dapat masalah."
Cataleeya menghela napas berat. Tidak tahu harus berkata apalgi. Pokoknya dia tidak bisa membaca peta. Titik. Lagian kalau memang ini hukumannya karena mendorong Pangeran, seharusnya tidak seketerlaluan ini. Kejadian tadi 'kan itu diluar kontrol dirinya. Suruh siapa Pangeran sangat mengintimidasi dan membuatnya takut.
"Bagaimana kalau kamu antarkan aku saja?" usul Cataleeya.
"Tidak bisa begitu, Nona …"
"Mengapa tidak? Ayolah … ini untuk kebaikan bersama. Bagaimana kalau aku terlambat dan pada akhirnya kita semua dihukum?"
Pengawal itu nampak berpikir. "Tapi, Pangeran pasti tahu Nona. Pangeran pasti marah juga ketika tahu kamu diantar."
"Tidak akan. Pangeran 'kan sedang berburu."
"Apa Nona tidak tahu? Pangeran bisa melihat kejadian yang lalu hanya dengan menatap matamu."
"Benarkah?" beo Cataleeya. Rasanya tidak masuk akal. tapi ini 'kan dunia siluman serigala. Mana ada yang tidak mungkin. Kalau begitu, Cataleeya harus mencari ide lain.
"Bagiamana kalau aku menutup mata saat diantar oleh mu, Pengawal? Pangeran bisa melihat kejadian masa lalu ketika melihat mataku. Tapi kalau aku tidak melihat kamu yang mengantarku. Maka Pangeran pun tidak akan tahu kalau kamu yang mengantarku. Bagaimana?"
Pengawal itu menaikkan alisnya. Masuk di akal juga, pikirnya. "Tapi, bagaimana caranya kamu tidak melihat aku yang mengantarmu? Nona 'kan harus berjalan. Berjalan itu pakai mata bukan dengkul."
Cataleeya tersenyum misterius. Lalu tanpa di duga ia menarik gaunnya. Tentu saja, Pengawal terkejut. "Nona! Apa kau sudah gila?!" ia tidak habis pikir mengapa pelayan ini melakukan hal yang tidak-tidak.
BEREWEK.
Cataleeya mengacungkan sehelai kain yang dirobek dari gaun miliknya. Pengawal merasa lega. Setidaknya ia tidak melihat yang bukan-bukan. Sedetik kemudian, ia baru sadar apa maksud Cataleeya merobek gaunnya.
"Nona mau gunakan itu sebagai penutup mata?"
Cataleeya mengangguk mantap. "Ish! Ini pasti berhasil. Percayalah! Kalaupun ada apa-apa aku yang akan bertanggung jawab," tandas Cataleeya ketika melihat sorot keraguan dari Pengawal.
"Baiklah. Aku mempercayaimu, Nona."
"Terima kasih, Pengawal."
Pengawal itu mengangguk. "Karena senja tidak lama lagi datang. Kita harus segera cepat."
"Betul, Pengawal," jawab Cataleeya. Tiba-tiba jantungnya berhenti berdetak ketika Pengawal tidak memberi aba-aba akan berubah wujud. Cataleeya yang belum terbiasa dengan perubahan wujud itu, mematung.
"Mengapa malah melamun? Ayo cepat naik ke punggungku!"
Cataleeya mengerjapkan matanya. "Apa?"
"Naik ke punggungku, Nona Cataleeya. Kita tidak punya banyak waktu."
"Ba—baik."
Setelah naik ke punggung serigala, Catleeya menutup matanya dengan kain yang dirobeknya. Serigala itu bergerak membuat Cataleyya sedikit terhuyung. Cataleeya memegang bulu serigala sebagai pegangan. Entah kenapa, bulu serigala yang dipeganya sangat lembut. Ia jadi teringat bantal empuk di kamarnya.
Rasa rindu itu mulai merayapi hati Cataleeya. Ia bertanya-tanya dalam hati bagaimana keadaan ayahnya sekarang. Apakah baik-baik saja? Cataleeya semakin larut dengan rasa rindunya sehingga tidak sadar kalau saat ini ia sedang melesat begitu cepat dengan serigala pengawal itu. Cataleeya mengusap bulu serigala yang lembut itu. Semakin terasa memegang bantal empuknya. Ia jadi teringat ketika Ayahnya susah payah memesan bantal tersebut untuknya yang selalu tidak bisa tidur nyeyak di malam hari.
"AUUUUU!!!!!"
Serigala itu mengaum keras. Tanpa memberikan Cataleeya waktu untuk bersiap, ia berhenti berlari. Cataleeya terlempar karena kemendadakan itu. Cataleeya jatuh tersungkur dengan tangannya tergores batu.
"Aws! Mengapa kamu malah berhenti mendadak?"
Pengawal yang sudah berganti wujud itu menatap dengan tatapan tajam. Tanpa menjawab pertanyaan Cataleeya, ia pergi begitu saja. Otomatis membuat Cataleeya segera bangkit walaupun rasanya tulang-tulang ditubuh retak semua.
"Pengawal! Mau kemana kamu? Jangan tinggalkan aku!" teriak Cataleeya. Hanya saja, hal itu sia-sia. Pengawal tak pernah kembali.
Cataleeya menoleh kesana-kemari. Tempatnya begitu asing. Tentu saja, ia baru pertama kali ke sini. Selama di dunia serigala, ia hanya tahu Akademi Nona Kyle dan Kastil Dyroudram. Itupun hanya tahu arah ke kamarnya dan arah dapur.
"Di—dimana aku?"
Cataleeya takut. Tempat ini begitu menyeramkan dengan pepohonan besar nan lebat. Ia tidak tahu harus berbuat apa. Ia hanya menoleh kesana-kemari berharap ada orang yang mau menolongnya. Tapi sayangnya … tidak ada.
Semburat jingga mulai menghiasi langit. Tapi Cataleeya masih di tempatnya. Tergugu dan menangis. Mana luka ditangannya mulai terasa perih. Lengkap sudah cerita hari ini. Ataukah sebentar lagi hidupnya akan berakhir dimangsa hewan buas … mungkin juga oleh siluman serigala yang lapar.
"Ayah …," rintihnya.
Disela-sela tangisannya. Mata Cataleeya terpaku pada peta yang diberikan Pengawal. Ia memungut seraya tetap menangis. Ia menatapnya lamat-lamat. Seketika itu berdiri dan mengedarkan pandangnnya.
"Oh! Inikah tempat itu?" beonya. Ia kembali melihat pohon besar dihadapnnya dengan gambar dipetanya. "Apa aku sekarang bisa membaca peta?" tanyanya pada diri sendiri. Seulas senyuman terukir di bibirnya.
"Benar! Aku sudah sampai! Tinggal mencari Pangeran dan memberikan makanan ini. Lalu aku bisa pulang!"
Cataleeya seperti menemukan semangat kembali. Ia senang akan segera menyelesaikan tugasnya. Tanpa berpikir panjang, Cataleeya masuk ke hutan itu. Tapi, baru saja satu langkah. ia berhenti karena Cataleeya melihat sekelebat bayangan dari deretan pohon-pohon besar di hadapannya.
KRESEK!!!
Bibir Cataleeya bergetar. Instingnya mengatakan bahwa ia harus lari sekarang juga. SEKARANG JUGA.
Seketika itu, Cataleeya berlari sekencang mungkin. ia tidak peduli dengan jalan berbatu yang diinjaknya. Ia hanya berlari menjauh dari predator yang memangsa. Seekor anjing melesat mengejar Cataleeya yang berlari ke arah pohon besar. Tanpa diduga, Cataleeya naik ke arah pohon itu.
GERGG …. GERRG
Anjing itu menatap lapar pada Cataleeya yang menangis di atas pohon. Kaki anjing itu bersiaga akan melompat lebih jauh. Otomatis, Cataleeya pun mundur sedikit demi sedikit. Tepat ketika anjing itu akan melompat, sebuah tombak melesat menancap badannya.
SLERB!
Anjing itu terkapar dengan darah mengucur. Cataleeya menutup mulutnya melihat itu. Ia bersyukur ada orang yang mau menolongnya. Hampir saja ia menjadi santapan anjing itu. Cataleeya menepuk dadanya agar berhenti berdetak secara tidak keruan. Kini semuanya sudah selesai. Ia menyenderkan tubunya pada batang pohon. Badannya lemas karena mendapat kejutan yang tidak di duga.
"Mengapa kamu malah tiduran diatas sana? Bukannya memberikan apa yang seharusnya diberikan padaku, Cataleeya?" sergah Pangeran Aloux yang muncul tiba-tiba.
Cataleeya terhenyak. Ia segera menegakkan tubuhnya. "Pa—pangeran."
"Turun, Cataleeya."
Bukannya turun, Cataleeya malah menangis. Tentu saja membuat Pangeran Aloux kesal. "Aku menyuruhmu turun, bukan menangis."
Cataleeya malah menangis semakin kencang. Pangeran Aloux tidak habis pikir, dengan jelas ia menyuruh Cataleeya turun bukan menangis. Apakah pelayan pribadinya ini tidak mengerti bahasanya? Eh iya, dia menggunakkan bahasa batin (seperti telepati). Tentu Cataleeya tidak akan mengerti bahasanya. Cataleeya tidak mempunyai kemampuan itu. Eh, bahlul.
"Turun, Cataleeya." Kali ini Pangeran Aloux berbicara dengan jelas tanpa bahasa batinnya. Hanya saja, Cataleeya tetap menangis. Ekspresi Pangeran Aloux semakin datar, tanda kalau ia memang kesal.
"Aku menyuruhmu turun bukan menyuruhmu menangis. Apa kamu tidak mengerti bahasaku?"
Cataleeya menggeleng, "Aku menegerti."
"Lalu?"
"Hiks! Aku tidak bisa turun, Pangeran …," ucap Cataleeya seraya menangis sesenggukan.
Pangeran memijit pelipisnya. "Mana bisa orang bisa naik pohon tapi tidak bisa turun, Cataleeya?" ucap Pangeran dengan nada rendah. Tanda kalau ia berusaha mengendalikan amarahnya.
"Aku juga tidak tahu, Pangeran. Menagapa aku bisa naik pohon? Aku—aku tidak bisa turun, huaaa!!!!"
Pangeran Aloux menghemsukan napas kasar. "Ayo, turun!"
"Aku bilang aku tidak bisa turun, Pangeran … hiks."
"Lalu aku harus naik ke atas dan menurunkanmu?" tanya Pangeran.
"Ka—kalau Pangeran berkenan … boleh."
"Mau aku hukum, Cataleeya?"
Mendengar itu, Cataleeya mengerjap. Ia menggeleng keras. "Tidak! Tidak Pangeran. Tapi bagaimana ini? Aku serius tidak bisa turun."
"Turun saja. Aku akan mencoba menangkapmu dari bawah."
"Apa?"
"Cepat turun, Cataleeya!"
"Tapi aku takut, Pangeran."
"TURUN CATALEEYA!"
Teraikan itu mendorong Cataleeya mengambil keputusan yang tidak mau ia ambil. Ia harus turun. Terjun bebas. Terlihat Pangeran Aloux mulai merentangkan tangannya untuk menangkap Cataleeya. Walau ragu, daripada dihukum lagi Cataleeya turun.
"AAAAAA!!!"
BRUK!
Awalmnya Pangeran Aloux sukses menangkap tubuh Cataleeya. Hanya saja, semerbak bau yang menusuk hidung, membuatnya sakit kepala. Ia oleng. Tak lama, mereka jatuh berdua.
GEDEBRUK
Cataleeya kaget. Lebih kaget lagi kini matanya terpaku pada mata Pangeran Aloux . Pandangan mereka bertemu cukup lama. Cataleeya yang bingung harus bereaksi seperti apa, memilih diam. Sudahlah … pada akhirnya ia akan kembali dihukum.
"Bodoh."
**********
110820, Bdg.