...
Kemana saja aku pergi, setidaknya kota Bandung adalah satu-satunya tempatku kembali. Bogor, kamu memang indah. Namun Bandung lebih membuatku terkesan dari semua kota.
Karena Bandung kaya akan cerita dan cinta.
...
Sekarang aku tinggal bersama bibi. Di sini, aku merasa seakan akulah anak kandungnya. Dia dan suaminya menyambutku dengan hangat. Maklum, mereka sudah lama menikah dan belum dikaruniai seorang anak.
Ketika aku sampai kemarin, dengan keadaan amburadul dan mata sembab, bibi langsung membuatkanku teh hangat dan roti yang katanya baru ia buat tadi terkhusus untukku. Awalnya dia akan memberiku mie rebus, namun aku menolaknya. Bagaimana tidak, rasanya tidak berselera sekali makan mie atau makan makanan yang lain. Teh pun aku minum dengan terpaksa, walau sebenarnya tak mau, tapi aku masih bisa menghargai pemberian seseorang di atas kondisiku yang patah seperti ini. Roti pun aku makan sedikit, sisanya aku bawa ke kamar.
Cuaca kota Bogor menurutku tidak jauh berbeda dari kota Bandung. Di pagi hari, embun dan kabut menyelimuti kota ini. Apalagi rumah bibiku tidak terlalu dekat kota. Jadi polusi dan bau-bau kota tidak terlalu berseliweran menusuk hidung. Di sini masih hijau, pohon-pohon masih rindang di seberang rumah atau di tepi jalan. Banyak juga burung yang berkicau, setidaknya itu yang kulihat pagi ini.
Hal yang sedikit berbeda dari kota Bandung, kota Bogor menurutku kota basah. Aku baru beberapa jam di sini, hujan selalu menimpa daerah ini. Pantas saja ketika aku belajar dulu, kota Bogor biasa disebut kota hujan. Dan benar, aku sekarang mengalaminya.
Aku terduduk memandangi pohon yang terkena tetesan air hujan. Hujan di sini tidak terlalu deras. Masih gerimis, tapi mampu membasahi daun-daun yang berada di sekitar. Aku duduk termangu memandang semua hal yang bagiku terasa asing. Untungnya, kondisi Bogor tidak terlalu buruk bagiku. Masih banyak hal yang membuatku suka dengan kota ini. Ya walau masih terasa sepi dengan segala alasannya.
"Reine?" Aku mendengar bibi memanggilku. Ketika aku menengoknya, ternyata dia sudah duduk di sampingku.
"Oh, bibi?"
"Iya ada apa?"
"Kamu sudah makan?"
Aku tersenyum. "Belum, bi."
"Ini bibi buatkan nasi goreng ati ampela. Kata ibumu kamu suka menu ini. Dan oh, bibi juga belikan roti selai keju untukmu. Kamu makan ya." Bibi memberiku nampan berisi menu-menu tadi. Aku hanya mengangguk dan berterima kasih padanya.
"Oh iya, kalau kamu mau minum, itu ada di belakangmu."
"Iya, bi." Sekali lagi aku berterima kasih padanya.
Setelah bibi berlalu, aku memandang nampan yang berisi nasi goreng ati ampela, dan juga dua roti selai keju. Kisah dua makanan ini begitu khas di benakku. Andai kau tahu, bi. Pada awalnya ini bukanlah makanan kesukaanku. Karena ketika aku tahu Alif begitu menyukai dua makanan ini, aku pun ikut menyukainya. Aku tersenyum dan tanpa sadar ada air mata yang jatuh ke dalam nampan. Aku ingat sore itu kami pernah memakan tiga roti selai keju. Dan ketika dia memberiku nasi saat Abah masih ada di rumahnya, itu adalah nasi goreng ati ampela. Aku mulai menyuap satu sendok nasi goreng. Rasanya sama, enak sekali. Dua kali suap, tiga kali suap, sampai ketika ada suap terakhir yang tersisa, aku mengingat Alif pernah berkata, "ketika kamu memakan nasi goreng ati ampela ini. Coba lihat di suapan terakhir yang belum kamu makan. Mungkin ada beberapa perjuangan yang ada sampai bisa menjadi nasi goreng seenak ini. Ada orang yang banting tulang membajak sawah, menanam padi hingga panen, lalu memprosesnya hingga menjadi beras, lalu dimasak menjadi nasi, belum lagi digoreng, dan masih banyak proses lainnya. Belum ati ampela, kecap, bawang, minyak, semuanya memerlukan proses yang tentunya tidak banyak orang pikirkan. Ada banyak orang yang rela bekerja keras hingga larut, untuk mencari peser demi peser uang. Kamu harus memakannya hingga habis. Kalau ada yang tersisa, ingatlah bahwa ada banyak keringat yang menangis karenamu. Dan tentunya aku pun sedih, kalau kamu tidak menghabiskannya."
Air mataku kembali jatuh ketika aku menyuap satu sendok nasi goreng terakhir. Entah kenapa tiba-tiba rasanya begitu hambar, padahal aku rasa tadi nasi ini enak sekali. Mungkin aku terlalu terbawa suasana. Hingga semuanya bagiku terasa hampa.
Setelah selesai, dengan segera aku pergi ke dapur, mencuci piring bekas tadi dan menyimpannya ke tempat semula.
Lalu aku melihat bibi sedang berada di belakang rumah, aku menghampirinya dan mencoba membantu kalau saja ada bantuan yang dibutuhkan.
"Oh, tidak usah Reine. Semuanya sudah selesai." Bibi tersenyum, "kamu sudah makan?" Lanjutnya.
"Sudah, bi."
"Kalau tidak ada bantuan, aku pamit pergi dulu ya."
"Emang Reine mau ke mana?"
Aku tertawa kecil. "Mau coba-coba cari kerja, bi. Mungkin di daerah sini bibi tahu ada lowongan kerja?"
Kening bibi langsung berkerut. "Reine? Kenapa kamu harus cari kerja? Bibi pengen kamu di sini buat nemenin bibi."
"Tapi bi, aku nggak enak sama bibi juga paman. Lagian diam di rumah rasanya membosankan."
"Rein-"
"Bi, aku mohon." Pintaku memelas.
Bibi terlihat tengah berpikir. Tak lama kemudian ia tersenyum dan memegang tanganku. "Baiklah, kalau begitu, kamu kerja di tempat suami bibi saja. Katanya di sana ada lowongan kerja juga."
"Tapi bibi harap kamu memikirkan ini lebih matang."
Aku segera memeluknya, "terima kasih, bi."
Setelah pamit, aku bergegas pergi menuju kamar. Menyiapkan pakaian yang akan dikenakan besok. Rasanya aku harus seperti ini. Diam di rumah membuatku semakin sakit. Kenangan dan cerita yang ada membuatku rapuh tak bisa berbuat apa-apa. Jadi, dengan bekerja semoga perasaanku bisa kembali dengan normal. Walau aku yakin semua pasti terasa sulit.
Ada satu foto yang ku simpan di bawah tumpukan baju di lemari. Aku memandanginya, begitu lekat. Aku sungguh tak menyangka jalan hidup kita bisa sepahit ini. Entah bagaimana ceritanya kalau seandainya aku tidak bertemu denganmu. Mungkin kenangannya akan lain lagi.
"Alif, aku mohon jangan lupakan aku. Kita sudah bersahabat sejak kecil. Sudah banyak perubahan yang kamu ciptakan untukku agar dirimu mampu baik di mata dunia. Sama sepertiku."
"Alif, aku tidak bisa berpikir bagaimana hidupmu tanpaku, pun aku juga tak tahu bagaimana hidup ini tanpamu, aku merasa ada banyak penderitaan yang kamu hadapi tanpa kehadiranku. Aku sudah banyak menunggumu Alif, cepat kembalilah. Aku merindukanmu." Aku mendekap foto itu dan mengelusnya dengan lembut. Senyumannya, tawanya, lesung pipitnya, tahi lalatnya, aku sungguh rindu. Sangat rindu! Bahkan... bahkan aku pula rindu pada sikapmu yang membuatku tertarik dengan apa yang akan kamu lakukan selanjutnya, kamu cuek, kamu perhatian, kamu dewasa, kamu segalanya bagiku. Rasanya aku begitu kekanakan ketika berada di dekatmu. Padahal kamu pernah berkata kalau kamu begitu kekanakan ketika berada di dekatku. Entahlah, siapa yang salah. Yang terpenting, kita sejatinya diciptakan untuk bersama.
"Reine? Ada apa?" Aku sama sekali tak sadar bahwa bibi melihatku. Dengan segera aku menyembunyikan foto itu, "ada masalah?" Katanya.
"Em anu, anu bi... t-tidak ada." Aku berusaha bersikap baik-baik saja. "Aku hanya rindu seseorang."
"Oh begitu...." Bibi mendekatiku, "rindu itu wajar, kamu boleh rindu pada siapapun, asal jangan melupakan dunia dan cinta orang-orang terhadapmu."
Aku gugup. "Tidak kok bi, hanya rindu biasa. Nanti juga terbiasa." Tapi dalam hati aku berkata,"mana mungkin itu terjadi."
Bibi mengusap kepalaku. "Bibi tahu kamu masih canggung pada bibi. Tapi bibi sudah bisa menebak semua masalahmu."
Aku terkesiap.
"Tapi tenanglah, kalau hatimu sudah membaik, bibi akan dengan senang hati mendengar semua ceritamu. Anggap saja bibi temanmu. Semoga bibi bisa mengerti, karena... bibi juga pernah merasakan saat-saat sepertimu. Bucin."
Kami langsung tertawa. "Aku tidak bucin bi." Timpalku.
"Oh sungguh?"
"Iya."
Dia terkekeh. "Ya sudah, bibi tinggal dulu ya. Kalau mau apa-apa bilang aja. Dan oh sebentar," bibi pergi sesaat lalu kembali, "ini roti belum kamu makan. Kalau emang tidak mau, setidaknya simpan sampai kamu mau memakannya. Tapi jangan sampai kelewat besok, ya."
Aku tertawa kecil. "Baik, bi. Terima kasih."
Bibi menutup pintu kamar. Sementara aku masih ragu membuka roti ini. Rasanya, aku tak tega memakan roti ini tanpa Alif. Biasanya ketika aku atau dia memiliki satu roti, kami selalu berbagi. Dan kali ini, aku memakannya sendiri. Tidak! Aku tidak bisa melakukan itu. Aku menyimpannya dalam kulkas dan kembali. Dengan sepenuh hati aku berjanji, bahwa aku tak kan memakan roti selai keju sebelum Alif menemuiku dan memakannya.
Aku merebahkan diri di atas kasur. Mulai membuka ponsel, tapi ternyata aku baru sadar, di sini tidak ada sinyal sedikit pun. Aku berusaha merestart ulang, tapi sama saja. Jantungku mulai berdebar kencang. Bagaimana kalau tiba-tiba Alif menghubungiku tapi ponselku tidak aktif? Aku merasa bingung. Sepertinya besok aku harus membeli kartu baru untuk memastikan kalau dia menghubungiku atau tidak. Setidaknya aku sudah berharap, yaa walau harapanku masih saja seperti ini. Angan.
...
07.30
Aku berpamitan pada bibi. Minta doa restu semoga hari ini berjalan dengan baik. Tak lupa juga aku mencium tangannya. Sesaat sebelum mobil paman pergi meninggalkan rumah.
Sebenarnya aku masih canggung pada mereka. Sudah lama juga aku tidak bertemu, kira-kira 10 tahun lamanya. Bibi dan paman sangat baik dan ramah kepadaku. Jika mungkin aku meminta sesuatu, mereka pasti membelikannya. Namun aku tidak melakukan itu. Selain malu, aku juga merasa tidak berhak atas hak itu. Apalagi mereka hanyalah bibi, adik ibuku. Bukan orangtuaku.
Aku meraih ponsel di tasku. Mencoba memeriksa dan ya! Sinyal di ponselku masih saja hilang. Aku sempat berdecak kesal melihat ini. Karena kukira kalau sudah berada jauh dengan rumah, sinyal akan kembali lagi. Tapi nyatanya tidak.
Benar, aku harus segera membeli kartu baru.
"Reine? Apa yang kamu pikirkan?" Paman tiba-tiba berkata seperti itu.
Aku sedikit kaget. "Eh, tidak paman. Sinyal di ponselku hilang. Apa paman bisa mengantarku membeli kartu?"
"Oh tentu saja. Beberapa meter lagi ada toko ponsel. Kamu beli saja di sana. Nanti paman antar." Ujarnya begitu ramah.
"Oh tidak usah paman. Biar aku yang beli. Paman di sini saja."
"Apa kamu tidak keberatan?"
Aku tersenyum. "Tidak, paman."
"Baiklah. Hati-hati ya. Paman tunggu di sini."
Aku mengangguk dan segera turun dari mobil. Cuaca pagi ini sudah disambut dengan hujan rintik. Aku pun segera pergi membeli kartu sekaligus meminta penjualnya untuk memasangkan di ponselku. Setelah selesai dan membayarnya, aku segera kembali ke mobil paman. Takut jika dia menungguku terlalu lama.
Aku bersama paman melanjutkan lagi perjalanan. Aku tak tahu berapa lama lagi kami sampai. Tapi aku sungguh menikmati perjalanan ini. Bahkan aku melihat sepasang anak sekolah yang masih kecil berlarian karena hujan. Sampai pada satu titik, teman lelakinya menarik teman perempuannya untuk berteduh sambil memasangkan jaketnya ke badan temannya. Aku sungguh terharu melihat mereka. Apalagi dengan keadaan yang polos belum mengerti hal dewasa, mereka sudah saling menjaga satu sama lain. Seperti sudah memiliki rasa tanggung jawab, mereka lakukan hanya untuk saling melindungi dan menjaga temannya. Rasanya kalau waktu bisa diputar, mungkin aku senang berada di posisi seperti itu. Namun apa daya, ketika aku ingin mengulangnya, aku hanya berusaha membuka beberapa kenangan yang masih melekat dan seperti baru terjadi kemarin. Setidaknya itu yang bisa kulakukan.
Mobil paman berhenti di depan sebuah gedung bertingkat. Aku sempat tertegun melihat bangunan setinggi ini, apakah benar aku akan bekerja di sini? Rasanya aku tidak menyangka. Kukira bekerja di kantor hanya bisa aku lihat di film saja, ternyata aku bisa merasakannya juga.
Kemudian paman mengajakku ke dalam. Ada puluhan pasang mata yang langsung melihatku. Aku sangat malu sekali. Lututku terasa lemas. Bahkan keringat dingin membanjiri pelipis, juga... Hawa panas tiba-tiba menyergap punggungku secara mendadak.
Aku hanya tertunduk dan menghela napas, setidaknya ini yang aku lakukan ketika grogi. Sebenarnya dulu aku tidak terlalu pemalu seperti ini. Mungkin aku terlalu lama mengenal Alif. Hingga aku rasa satu-satunya teman adalah dia dan aku tak lagi membutuhkan teman mana pun.
Aku satu wanita yang menghampiri pamanku. Dia cantik dan berjilbab. Dia juga bertanya tentangku pada paman. Setelah itu, dengan ramah dia mengajakku berjabat tangan.
"Ayssa" Katanya sambil tersenyum.
Aku menjabat tangannya pula. "Reine." Sambil tersenyum kecil.
Dia mencoba mengajakku mengobrol sedikit-sedikit. Tentang asal usulku dari mana, belum pula dia bertanya paman siapanya aku, dan ada beberapa pertanyaan lain lagi.
"Reine." Ujar paman.
"Iya paman?"
"Selamat datang di perusahaan kami. Maaf bila ada kekurangan di sini. Dan oh, kamu barengan sama Ayssa ya. Dia nanti yang akan mengajarimu cara-caranya bekerja di perusahaan ini."
"Em... paman tinggal dulu. Semoga kamu betah di sini." Paman tersenyum.
Aku mengangguk lalu melihat paman pergi.
"Ayo ikut aku." Tiba-tiba wanita itu menarik tanganku sambil terkekeh.
Dia mengajakku ke ruangannya. Cukup besar, seperti ukuran kamarku di Bandung. Dia juga menyuruhku duduk. Lalu dia membawa beberapa toples makanan dari lemari, dan mengajakku bersantai sambil ngemil.
Aku sebenarnya masih canggung. Baru saja mengenalnya, mana mungkin aku bersikap seolah-olah sudah kenal lama. Dia memang terlihat baik dan ramah. Sepertinya Ayssa sosok yang periang. Melihatnya aku merasa seakan dia bisa menjadi seorang teman yang baik dan mengerti.
"Hei!" Dia melambaikan tangannya ke wajahku.
Aku seketika sadar. "Eh, m-maaf."
Dia tertawa kecil.
"Kamu kenapa Rein? Sedang ada masalah ya?"
Aku tersenyum. "Tidak kok."
"Ya sudah, sekarang kamu makan ini." Dia menyodorkanku makanan, "aku tahu kamu masih canggung. Tapi tenang saja, aku tak seperti yang kamu kira."
Aku terdiam.
"Dari kapan kamu datang ke Bogor?" Katanya.
"Baru saja kemarin." Jawabku.
"Oh... Kalau boleh tahu, kenapa kamu ke sini?"
Seketika aku terdiam mendengar pertanyaannya. Bibirku terasa kelu. Aku masih ingat ketika pagi itu aku dan ibu berdebat, dia memaksaku untuk pergi dari Bandung sementara aku menolaknya.
"Eh maaf. Maaf kalau pertanyaanku membuatmu tersinggung." Sepertinya dia melihat reaksiku tadi.
"Tidak masalah."
"Kamu di sini kerja di bagian apa?"
"Oh, aku kerja di bagian accounting. Ya susah susah gampang sih. Tapi tenang aja lah ya, kita makan dulu aja. Soal kerja besok juga bisa." Dia terkekeh, "aku cuma pengen kenal kamu lebih jauh, boleh?"
Aku tertegun.
"Ya kapan lagi aku punya kenalan kaya kamu. Cewek-cewek di sini terlalu loyal bagiku. Dan... aku lihat sepertinya kamu berbeda dari yang lain."
"Terima kasih sudah mau berteman denganku. Senang rasanya bisa memiliki teman seorang wanita." Jawabku.
Aku melihat reaksinya sedikit terkejut, lalu dia menghampiriku dengan raut bertanya-tanya.
"Reine, apa kamu tidak memiliki teman wanita?"
Aku sempat gusar mau menjawab apa. Sebenarnya dulu aku memiliki banyak teman, ini sudah aku ceritakan sebelumnya. Tapi lain lagi ketika aku bertemu dengan Alif. Mengenalnya mampu merubah pemikiranku tentang pertemanan. Karena katanya, berteman itu yang dicari bukan seberapa banyaknya teman, tapi seberapa banyaknya orang yang mengerti dan setia terhadap pertemanan itu sendiri. Dan memang benar, perlahan teman-temanku yang banyak itu mulai berubah padaku. Apalagi ketika aku sudah beranjak SD, SMP, SMA dan kuliah. Mereka mengenalku hanya sebatas 'bekas teman' yang mungkin sulit dicerna oleh sebagian banyak orang yang belum mengalaminya. Awalnya aku tak percaya dengan apa yang dikatakannya. Tapi sekarang aku memahami dan bahkan merasakannya. Mereka datang hanya ketika butuh, lalu pergi ketika aku sudah tidak lagi dianggap apa-apa. Sakit memang, tapi mau bagaimana lagi? Siklus teman memang seperti itu. Kita tidak bisa mengelak, karena semua pasti terjadi dengan sedemikian rupa.
Namun, pemikiran itu sepenuhnya kukatakan tidak untuk Alif. Karena dia berbeda dari yang lain.
Sementara itu, aku tersenyum sembari memegang tangan Ayssa. "Bukan seperti itu, hanya saja aku terlalu sulit mencari teman yang mengerti kondisi kita saat ini. Sebenarnya aku memiliki banyak teman," lalu aku menunjuk hatiku padanya, "namun teman yang ada di sini... Jujur saja aku katakan tidak. Mungkin hanya beberapa."
Dia tersenyum lantas memelukku.
"Reine, ternyata aku tidak salah memilihmu. Kamu memang berbeda. Sepertinya aku harus belajar banyak tentang teman kepadamu. Terima kasih, terima kasih sudah datang ke dalam hidupku."
...
Hidup memang seperti ini. Ada yang pergi, ada yang hadir. Ada yang bahagia dengan sebuah kehadiran, ada yang terluka dengan sebuah kepergian. Di sini aku hanya selalu berharap, kamu baik-baik saja tanpaku. Mungkin ini cara Allah agar aku bisa mengenal dunia lebih jauh dengan memiliki teman seorang wanita. Setidaknya, kami bisa saling memahami perasaan. Walau sebenarnya dengan mengenalmu saja cukup membuatku hidup dan bernapas.
Mungkin sebagian orang menganggapku terlalu melebih-lebihkan. Tidak salah memang, mereka hanya belum menemukan arti pertemanan yang sebenarnya dalam kehidupannya.
Lagi pula, Allah sudah mengirimkan salah satu ciptaan-Nya kepadaku. Dan yaa mana mungkin aku bisa mengelaknya.
...