...
12.30
Ayssa membawaku ke tempat makan. Di sana, dia menawarkanku banyak sekali makanan. Aku sempat malu kepadanya, padahal kita baru kenal tadi, tapi dia sudah sangat baik kepadaku. Jadi, aku hanya memesan nasi goreng ati ampela dan jus mangga saja. Itu pun dia memaksaku untuk memilih menu.
Beberapa menit kami memesan, pesanan sudah sampai di atas meja kami dengan aroma yang begitu menggiurkan. Dia menyuruhku untuk memakannya terlebih dahulu. Aku tak enak sebenarnya, jadi aku menyuruhnya agar lebih baik makan bersama-sama.
Kalau harus jujur, aku memakan menu ini setiap hari di rumah. Kalau ada yang berkata pasti bosan, aku bilang tidak. Justru aku membiasakan diri untuk makan menu ini setiap hari. Bibi pernah bilang kepadaku mengapa aku begitu menyukai nasi goreng ati ampela ini. Kala itu aku hanya tersenyum dan menjawab, "ada banyak cerita di dalamnya, bi."
Aku memulai satu suap, seperti biasa, ini terasa nikmat sekali. Dua kali suap, tiga kali suap, hingga aku sadar Ayssa memerhatikanku.
"Itu makanan favoritmu?" Katanya dengan nada sedikit tertawa.
Aku menjeda kunyahanku lalu tersenyum. "Iya."
"Waw, keren!" Ujarnya lagi. "Kamu seperti kakakku."
"Maksudmu?"
"Iya, kamu dan dia sama-sama menyukai nasi goreng ati ampela. Dia selalu saja memintaku untuk mencobanya. Namun aku tak mau."
"Lho kenapa?" Tanyaku heran.
"Aku tak suka. Sepertinya tak enak."
"Kamu bilang seperti itu karena belum mencobanya."
Dia terkekeh. "Benar juga."
Usut punya usut, ternyata aku tahu dia tak suka makanan berbau ayam atau pun hal-hal yang berkaitan dengan ayam. Katanya, memakan ayam bisa membuatnya muntah atau lemas. Entahlah, selama aku hidup, aku baru mendengar phobia seperti itu. Mungkin, hanya ada beberapa orang yang memiliki penyakit tak suka makan ayam. Untung saja, aku tak termasuk salah satunya. Jadi aku bisa memakan nasi goreng ati ampela sepuasnya.
Cuaca kota Bogor siang ini panas sekali. Bahkan panasnya menusuk rok yang aku pakai. Selain itu, hawanya gerah pula. Untung saja di sini banyak sekali ac.
Makan siang pun sudah habis. Tinggal jus mangga, yang baru aku minum setengahnya. Ayssa terus saja mengajakku berbicara tentang suatu hal. Dari hal yang konyol sampai hal yang sedikit serius. Aku tak keberatan, karena sudah lama pula aku tidak seperti ini.
"Nanti besok ke rumahku, ya." Dia tiba-tiba berkata seperti itu.
Aku yang sedang meminum jus sedikit tersedak. "Ke rumahmu? Untuk?"
"Haha. Ya main saja. Lagi pula besok kakakku pulang. Aku akan mengenalkanmu padanya."
Aku terkejut bukan main. "Kakakmu yang bekerja di Singapura itu?"
Dia tertawa. "Iya. Sudah 7 tahun dia di sana dan belum juga pulang. Katanya, ada beberapa pasien yang harus ia rawat. Oh iya, kakakku seorang dokter Rein. Ya mau tidak mau aku harus menunggunya untuk pulang. Dan... Kemarin dia menelponku lalu memberitahuku bahwa lusa dia akan pulang. Aku sampai menangis haru mendengarnya. Tak percaya kakakku akan pulang juga. Dan besok aku akan menjemputnya di bandara. Aku harap kamu ikut juga, ya."
Kedua bola mataku seketika melebar. "Aku?"
"Iya." Dia tersenyum.
Aku takut sekali. Bahkan bingung harus melakukan apa. Aku coba memikirkannya untuk setuju atau tidak. Tapi sepertinya, "Ayssa, bukannya aku tak mau, tapi...."
"Ada apa?" Katanya heran.
"Rasanya kamu saja yang pergi. Lagi pula aku ke sini untuk bekerja. Jadi kamu jemput kakakmu sendiri saja ya."
"Tapi rein," pintanya memelas. "Aku bisa meminta papaku untuk memberimu cuti."
Aku tak mengerti dengan apa yang dia ucapkan, "maksudmu?"
Dia sempat terdiam. "Sebenarnya, kamu bekerja di perusahaan papaku."
Aku tertegun.
"Reine aku mohon. Kamu harus ikut ya, tadi aku sudah memberitahu kakakku kalau aku akan menjemputnya bersama teman. Nanti kalau dia tahu aku menjemputnya sendiri, dia akan menertawaiku." Aku melihat matanya berbinar menatapku. Rasanya aku tak tega menolak permohonannya. Walau sebenarnya aku tak mau, tapi dengan berat hati aku menyetujuinya.
"Yeay! Akhirnya."
"Tapi setelah itu aku akan pulang."
"Baiklah. Nanti aku pinta kakakku untuk mengantarmu pulang."
"Tidak perlu Ayssa."
"Itu harus."
Apakah seperti ini rasanya berteman lagi dengan wanita? Akankah harus banyak kata iya untuk menjawab semua permintaannya? Aku hanya terdiam. Rasanya kalau berdebat tidak akan menyelesaikan masalah. Lagi pula dia anak pemilik perusahaan di mana aku bekerja. Jadi aku harus menjaga mulut juga. Oh iya, dan karenanya pula. Aku bekerja di perusahaannya tanpa interview. Setidaknya aku memiliki banyak budi kepadanya.
Dia memang baik. Sangat baik. Tapi hakikat perempuan memang semuanya sama. Keras kepala. Tidak hanya aku, Ayssa, ibu, atau wanita lainnya yang pernah berteman denganku.
Setelah semuanya selesai, aku meminta pamit darinya. Katanya, jam bekerja di perusahaannya hanya sampai jam 12. Dan dari pada aku lama-lama berdiam di sini, lebih baik pulang bertemu bibi.
Dia mengantarku ke depan lalu memelukku. Dia juga bahkan meminta nomorku agar bisa saling menghubungi. Dan dengan senang hati aku memberinya. Setelah taksi datang, aku pun melambaikan tangan ke arahnya. Dia tersenyum sambil membalas lambaianku. Sebelumnya aku sudah mengirim pesan pada paman, bahwa aku akan pulang tanpanya. Bukan tanpa alasan, aku hanya takut nanti paman mencariku dan merasa khawatir terhadapku.
...
Setelah sampai rumah, aku langsung menemui bibi dan mencium tangannya. Dia terlihat tengah sibuk sekali. Sudah berkali-kali aku katakan kepadanya untuk membantunya. Tapi dia selalu saja mengatakan tidak bahkan memaksaku untuk makan dan pergi istirahat ke kamar. Aku tidak bisa berbuat apa-apa selain mengiyakan apa yang ia katakan.
Tas ku simpan di atas meja. Lalu segera kubaringkan tubuh di atas kasur. Rasanya belum terlalu lelah, tapi mengapa ragaku kian melemah. Aku biasa menjalani hidup seperti kebanyakan orang, tapi aku merasa ini bukanlah caraku menjalaninya. Terasa hampa sekali, padahal orang-orang sudah menyambutku dengan baik.
Kuputar beberapa lagu yang sempat tak aku dengar selama beberapa hari ini. Dan oh! Aku lupa! Bukankah aku sudah membeli kartu tadi pagi? Segera kulihat sinyal yang sudah penuh di layar depan ponselku. Aku segera membuka data, menunggu beberapa menit, dan ternyata tidak ada yang menghubungiku. Aku sempat kesal lalu sedikit melemparnya. Ketika aku akan menutup mataku, aku mendengar ada getaran di ponselku. Ketika aku melihatnya, ada dua puluh lima panggilan tak terjawab dari nomor yang tak ku kenal.
"Siapa ini?" Pikirku.
Aku ragu ingin menelponnya kembali. Takut jika orang yang menelponku bukanlah orang yang baik. Aku menyimpannya. Tapi pikiranku begitu semrawut, bahkan rasa penasaranku yang tinggi membuatku melakukan hal yang sempat tak akan aku lakukan.
Aku menekan tombol panggilan. Jantungku berdegup begitu kencang, apalagi ketika panggilannya berdering. Mataku tertutup, sampai akhirnya,
Tidak ada yang menjawab sampai panggilan berakhir.
Karena masih penasaran. Aku coba panggil lagi, untuk yang kedua kali, dan masih tidak ada yang menjawab. Untuk yang ketiga kali, keempat kali, sampai akhirnya aku memutuskan untuk tidak menelponnya lagi ketika aku memanggilnya untuk yang kelima kali, namun andaikan tidak ada yang menjawab.
Dan benar, tidak ada jawaban atas panggilanku.
Aku berdecak kesal. "Ah, mungkin orang iseng." Batinku.
Entah apa lagi yang harus aku lakukan. Hanya terbaring di atas kasur sambil menatap langit. Kenangan pun tiba-tiba berseliweran di dalam kepala. Apalagi, saat itu dia pernah berkata, kurang lebih seperti ini.
"Reine, kamu tahu bagaimana reaksiku ketika aku tahu kamu mengikutiku ke tempat ini?"
Lalu aku jawab. "Apa?."
"Coba tebak." Katanya lagi.
"Em... Mungkin kamu kaget?"
Dia menghela napas. "Selain itu?"
"Em... Apa ya? Haa, apa kamu senang?"
Aku melihatnya tersenyum sinis. "Bukan."
"Ah sudahlah, aku menyerah. Lalu apa?" Tanyaku heran.
Dia menjeda ucapannya sambil menyobek roti keju lalu menyuapkan ke dalam mulutnya. "Tidak ada apa-apa. Hanya.... Aku pikir kamu bukan manusia."
"Apa?" Sontak saja suaraku membuatnya menutup telinga sambil terkekeh.
"Gini ya. Tak ada manusia yang tahu tempat ini kecuali aku. Bahkan, orang tua aku sendiri pun tak tahu. Semua ini aku rencanakan sendiri. Pondok, kursi, semua aku buat."
"Benarkah?" Kataku.
"Iya. Bahkan ada beberapa orang yang berusaha membuntutiku sampai sini. Namun mereka tak bisa karena aku tahu. Dan kamu," dia melihatku.
"Dan aku?"
"Kamu makhluk kedua yang bisa masuk ke sini. Maka dari itu kukira kamu bukan manusia."
Aku sadar ternyata dari tadi aku tertawa sendiri di dalam kamar. Ucapannya yang unik, mampu membuatku selalu tertawa mengingatnya. Dan oh! Aku juga mengingat suatu kejadian, di mana dia memberiku lelucon ketika aku marah, masih kuingat dia berkata seperti ini.
"Kamu itu kalo marah menyebalkan Reine. Mereka yang bersalah, tapi aku yang harus mendengar banyak ocehanmu di sini. Kamu berkata inilah, itulah, beginilah, begitulah. Sedikit saja kamu bilang tertawa atau tersenyum sambil marah kepadaku. Untung saja telingaku sabar mendengar semua ucapanmu."
Kala itu aku tambah kesal. "Bagaimana aku mau tertawa?"
Dia tiba-tiba tersenyum lebar. "Nah itu bisa."
Aku sempat bingung. "Maksudmu? Aku tidak tertawa."
"Memang." Katanya, "tapi aku memintamu untuk bilang t-e-r-t-a-w-a. Bukan memintamu untuk tertawa. Apa jelas?"
Aku sedikit mengingat ucapannya tadi. Dan benar, aku keliru lagi dan lagi karenanya. Bukan ingin melanjutkan marah, melihat raut konyolnya membuatku tertawa lepas kala itu.
"Aku hanya memintamu mengatakan itu Reine. Tapi kamu memberiku bonus dengan melakukannya. Terima kasih." Ujarnya.
Aku terkekeh kecil di sini. Tanpa aku sadari bantal kanan dan kiriku basah. Aku langsung terduduk. Segera meraba area wajah. Basah. Aku sedikit aneh, apa tadi aku menangis?
Ada satu kertas yang terlihat di balik bantal. Ketika kulihat. Lagi-lagi dia. Aku sampai bertanya pada diriku sendiri, bagaimana caraku agar bisa tahu keberadaannya. Rasanya rindu sekali ingin bercengkrama seperti itu lagi. Mungkin saat ini dia sudah besar. Sudah dewasa. Tapi aku yakin sifatnya masih sama seperti dulu. Selalu saja membuat orang tertawa. Khususnya aku.
Aku bahkan berkhayal, andaikan suatu saat kami bertemu. Akan kutanyakan apakah dia memiliki teman baru ketika aku tak bersamanya kala itu atau tidak, Rasanya, akan ada ribuan pertanyaan yang aku lontarkan padanya, tak peduli dia akan lelah atau tidak menjawabnya. Yang terpenting semua rinduku harus terbayar sudah saat nanti kami bertemu. Yang entah sampai kapan pula aku menunggu di sini.
Aku mematung di atas kasur. Aku bingung jalan hidupku ke depannya akan seperti apa tanpanya. Seakan tak ada lagi harapan untuk terus berjuang. Apalagi dia tiba-tiba pergi tanpa memberitahuku. Sedih rasanya. Perih, patah, hancur, jika harus kuaplikasikan dalam kata-kata mendalam. Semua cerita ini bagiku seakan angin lalu yang terasa sulit untuk kembali lagi.
Tapi, aku akan tetap bersikukuh pada diriku sendiri, untuk menantinya sampai kapanpun dan sampai aku tak lagi bisa berdiri. Entah kondisinya hidup ataukah mati, aku akan menerimanya dengan ikhlas sepenuh hati. Asalkan aku bisa bertemu dengannya, walau untuk yang terakhir kali. Setidaknya ketika mungkin suatu saat aku tahu dia sudah pergi, aku akan hidup dengan kisah-kisah indah yang sejatinya selalu ku abadikan sampai mati. Bahkan saat ini pula aku terus memintanya kepada Allah, agar senantiasa menyatukan kami di dunia atau pun di akhirat nanti.
...