Chereads / Tangisan Rindu / Chapter 8 - Lelaki itu...

Chapter 8 - Lelaki itu...

Happy reading

...

Tok tok tok

Tok tok tok

Aku mendengar samar-samar ada seseorang yang mengetuk pintu ruang utama. Aku melihat jam. Ini masih jam 3 pagi. Rasanya mungkin aku hanya bermimpi. Mana mungkin ada orang yang datang jam segini, pula kantukku yang berat, memaksaku untuk tidur kembali.

Tok tok tok

Suara itu mengganggu telingaku. Aku berdecak kesal lalu duduk. Memastikan apa yang aku dengar tidak salah. Namun lagi-lagi suara itu terus saja ada, seakan menyuruhku untuk bangun dan memastikannya keluar.

Aku menyalakan lampu ruang tamu. Ketika akan membuka kunci, aku tiba-tiba teringat, mana mungkin ada orang yang datang ke sini dengan waktu yang masih larut. Tanganku enggan membukanya. Jantungku pun berdegup kencang. Aku takut, jika orang di balik pintu ini buka lah orang yang baik.

Aku memutuskan untuk pergi ke kamar bibi, namun ketika sudah di depan pintu kamarnya, niat ini kuurungkan. Takut jika aku mengganggu paman dan bibi yang sedang beristirahat. Lagi pula aku melihatnya tadi siang begitu sibuk. Sepertinya aku harus memeriksanya sendiri. Entahlah, urusan akhir terserah nanti. Yang terpenting aku harus memastikan siapa orang yang ada di luar rumah itu.

Ku ambil sapu ruang tamu. Dengan ragu dan perasaan yang kalut, perlahan aku membuka pintu.

Ceklek. Pintu terbuka.

Keringat dingin ikut serta membanjiri pelipisku.

Aroma parfum ini sepertinya tidak asing lagi di hidungku. Perlahan ku coba membuka mata. Terpampang sesosok lelaki, dengan keadaan yang begitu banyak luka lebam di sekitar wajahnya.

Aku terpaku melihatnya. Kulebarkan kedua mata memastikan siapa lelaki yang berdiri di depanku ini. Matanya mengeluarkan air mata. Dia pun sama-sama terpaku memerhatikanku seakan tak percaya siapa orang yang berdiri di hadapannya.

"Reine?" Suaranya begitu parau. Tanpa sadar aku menjatuhkan sapu di tanganku. Jujur, lututku begitu lemas sekali. Aku sangat mengenal suara ini. Ini, suara yang sudah ku nanti selama beberapa tahun lamanya.

Aku tak bisa berbuat apa-apa. Tanganku gemetar, kakiku sulit melangkah, mulutku kelu untuk mengucap. Aku hanya bisa menatapnya, dia tersenyum sembari menangis. Dia terus saja menatapku seakan tak percaya, dan aku, hanya bisa diam tak berbuat apa-apa.

"Aku datang." Katanya dengan suara gemetar.

Aku langsung menyadarinya. Dan entah ada kekuatan dari mana, tiba-tiba aku langsung pergi menghampirinya. Dia menangis. Aku pun ikut menangis. Kami sama-sama terlarut dalam tahap tangisan. Aku tak percaya ini akan terjadi. Kukira aku hanya bermimpi dapat menemuinya lagi.

Aku langsung membawanya ke dalam. Memeriksa wajahnya, yang tampak penuh dengan luka lebam. Tangannya berdarah, kakinya banyak sekali luka lecet, bibirnya pun sedikit pecah. Aku tak tahu apa yang dia lakukan. Mengapa hatiku terasa hancur melihatnya seperti ini.

"Alif, apa yang terjadi? Mengapa kamu seperti ini?" Aku tak kuasa menahan lagi air mataku. Ini saat yang tepat aku memecahkan semua tangisan. Aku bahkan tak tahu, luka mana yang harus aku obati terlebih dahulu. Dia sepertinya begitu kesakitan.

"Reine. Ada banyak hal yang harus aku jelaskan." Katanya sambil menangis. "Tapi kita harus pergi dari sini dulu." Dia mengajakku dengan ekspresi yang begitu takut.

Aku menghentikannya.

"Kemana kita harus pergi."

"Ikut aku." Ujarnya lagi.

"Tapi aku tak bisa. Ada paman dan bibi di sini. "Coba jelaskan baik-baik. Apa yang sebenarnya terjadi."

Alif terduduk dan terus saja menangis. "Aku takut Reine. Aku takut." Dia terlihat begitu ketakutan. Perasaanku begitu kalut. Sebenarnya apa yang terjadi? Mengapa dia terlihat seperti orang aneh yang tengah dikejar mangsa? aku memaksanya untuk tenang. Bahkan ketika aku akan mengambilnya air hangat, dia menghentikanku.

"Aku mohon Reine, jangan tinggalkan aku lagi. Aku takut, aku takut mereka,-" Alif menjeda ucapannya.

"Mereka? Mereka siapa?"

Tiba-tiba aku melihat tiga orang lelaki berjaket hitam di depanku sekitar 10 meter. Dia tertawa jahat dengan wajah merah padam. Beringasnya tanpa ampun. Dia melihat Alif seakan mangsa yang ingin segera diterkamnya. Alif berdiri, dia mencoba untuk bersikap tenang dan menyuruh mereka pergi. Bahkan ketika aku akan menghalaunya, Alif menghalangiku.

Mereka terus saja tertawa jahat. Suaranya begitu mengerikan. Mereka bertiga mencoba mendekati kami sambil mengambil sesuatu dalam jaketnya. Aku begitu takut dan terus bersembunyi di punggung Alif. Sebenarnya Alif menyuruhku untuk pergi, namun aku bersikeras untuk menemaninya. Jika mungkin ini adalah hari terakhir kami dimangsa, setidaknya kami akan mati bersama.

Ada sebuah pistol yang salah satu dari mereka keluarkan dari jaketnya. Aku begitu kaget dan berusaha untuk mengancamnya. Mereka hanya tertawa bahkan salah satu dari tiga orang itu berusaha memisahkan ku dengan Alif. Aku menangis ketakutan. Sementara Alif memintaku untuk tenang dan jangan khawatir ketika temannya yang satu membawanya mendekat ke teman yang sedang membawa pistol. Lelaki itu menyeringai, dia mengarahkan pistolnya persis di depan dada Alif.

"Tak ada lagi ampun bagimu." Pria itu melepaskan pelurunya pas mengenai dada Alif. Suara pistol itu begitu kejam hingga membuat darah Alif terciprat di wajahku. Aku terpaku, sedangkan ketiga pria itu tertawa ketika melihat Alif jatuh tersungkur tak sadarkan diri.

"Alifff!!!"

Bibi tiba-tiba membuka pintu kamarku. Wajahnya begitu takut dan segera memelukku. Aku hanya menangis dan berusaha memberontak untuk pergi darinya. Dia mencegahku dan berusaha membuatku tenang.

"Bi, kumohon biarkan aku menemui Alif."

Bibi menatapku keheranan. "Alif?"

"Dia ada di ruang tamu. Ada tiga orang lelaki yang datang, lalu salah satunya menembak Alif." Aku menangis kesakitan.

Bibi segera memelukku lagi. "Rein, tidak ada yang terjadi apa pun di ruang tamu. Bibi yakin kamu bermimpi."

Aku terdiam. Mimpi?

Aku melepaskan pelukannya dan segera pergi ke ruang tamu. Namun, aku tak melihat apa pun di sana. Sebercak darahpun tak kulihat. Aku menangis histeris. Bibi langsung berlari menemuiku. Aku mendengar dia juga ikut menangis.

"Bibi. Aku takut. T-tadi ada yang mengetuk pintu, ketika ku buka. Ternyata Alif." Aku terisak. "D-dia begitu takut, tubuhnya penuh luka. Lalu aku melihat ada tiga orang berjaket hitam yang tiba-tiba datang dan menembaknya. Aku seperti mengalaminya sendiri bibi. Aku rasa itu nyata dan aku baru saja mengalaminya tadi."

Bibi terus saja memelukku sambil mengusap kepalaku. " Itu hanyalah mimpi Reine. Kamu tak usah takut."

"Tapi bi, aku takut. Aku takut jika ada sesuatu yang terjadi pada Alif."

"Mimpi hanyalah bunga tidur. Bibi yakin Alif baik-baik saja sekarang."

"Bagaimana bibi tahu?"

"Percayalah pada bibi." Bibi tersenyum kemudian mengusap kepalaku.

Aku terdiam mengingat mimpi tadi. Rasanya begitu nyata dan aku merasa begitu sakit sekali melihatnya.

"Sekarang tenangkan dirimu. Istighfar." Bibi memberiku segelas air minum, "minumlah. Dan tarik napasmu, lalu keluarkan pelan-pelan."

Aku melakukan apa yang bibi minta sambil mulutku terus saja mengucap istighfar. Jantungku yang semula berdebar begitu kencang kini tak terlalu lagi. Air mataku pun sudah menyusut. Semuanya perlahan kembali tenang. Dan bibi masih saja mengusap kepalaku. Aku merasa, perlakuan bibi seperti seorang ibu kepada anaknya. Aku bahkan terharu melihat reaksi bibi yang begitu ketakutan melihatku tadi. Bahkan, ibuku sendiri saja tak pernah melakukan ini. Setidaknya hatiku terasa tenang ketika memeluknya lagi.

"Kamu sudah baik-baik saja?"

Aku mengangguk.

"Baiklah, sekarang pergi wudhu, sholat dan berdoa pada Allah semoga Alif baik-baik saja. Setelah itu makan lalu istirahat. Pikiranmu sedang kacau. Bibi rasa kamu harus cuti bekerja hari ini."

Seketika aku mengingat janjiku pada Ayssa untuk mengantarnya. "Tidak bibi, aku baik-baik saja. Aku akan bekerja."

"Tapi,-"

"Bibi tidak usah khawatir. Lagi pula aku ada janji bersama teman hari ini."

Bibi lantas tersenyum. "Baiklah, jika itu maumu."

...

Seorang wanita menghampiriku setengah berlari. Tampilannya begitu cantik dan anggun. Setelah menemuiku, dia lantas memelukku dengan penuh kebahagiaan. Raut wajahnya begitu ceria, auranya pun terlihat bersemangat. Aku balas memeluknya lagi. Hari ini aku harus tampak bahagia di depan semua orang. Walau sebenarnya ada banyak hal yang masih mengganjal dalam hati.

"Ternyata kamu memenuhi janjimu rein." Dia kegirangan.

Aku memasang raut cemberut. "Hei, apa kamu pikir aku seorang pembohong?"

Dia tertawa kecil. "Tidak dong, maaf. Aku tahu kamu takkan melakukan itu."

"Em... Apa kamu sudah meminta papamu memberiku izin cuti? Atau harus aku yang menemui papamu?"

"Oh tidak usah. Kemarin ketika kamu menyetujuinya, aku langsung menelpon papa."

"Lalu jawaban papamu?"

"Ya tentu dong, boleh." Dia terkekeh.

"Terima kasih, Ayssa." Aku memeluknya. Tiba-tiba aku sadar dan segera melihat jam.

"Kakakmu tiba di Bandara pukul berapa? Ini sudah jam setengah sepuluh."

Ayssa sontak terkejut lalu melihat ponselnya. "Ya Allah! Kita sudah telat Rein! Kakakku tiba pukul 09.00. Ayo kita cepat pergi." Ayssa menarik tanganku masuk ke dalam mobil. Aku menahan tawa sebenarnya melihat ekspresi dia saat ini. Tingkahnya selalu membuatku ingin tertawa. Aku bahkan menutupi mulutku agar dia tidak menyadari bahwa aku sedang menertawainya.

Tapi, sepertinya dia sadar. Dia melihatku dengan tatapan aneh, "hei? Apa yang kamu tawakan? Beri tahu aku." Dia memasang lagi ekspresi konyol. Aku tak kuat menahan tawa, bahkan dia saat ini tidak menyadarinya lagi. "Ya Allah," pikirku.

Setelah menjawab semua pertanyaannya, aku lekas membuka ponsel. Dan notifikasi ini lantas membuatku penasaran bukan main. Kini ada 10 panggilan tak terjawab. 20 menit yang lalu. Aku berpikir, siapa orang ini. Apakah memang benar-benar orang iseng? Kemarin aku berusaha memanggilnya, tapi tidak ada yang menjawab. Kini, dia menelponku dan aku tak menjawabnya. Aneh. Siapa orang ini?

Aku masih memegang ponsel. Memikirkan siapa sosok dibalik orang yang selalu menelponku di waktu yang tidak tepat ini. Aku pikir mungkinkah ibu? Tapi mana mungkin, biasanya bibi akan memberitahuku kalau ibu telah menelponku. Dan ketika kemarin aku menanyai nomor ini pada bibi, bibi tidak mengetahuinya.

Setelah beberapa lama aku berpikir, lamunanku tiba-tiba buyar ketika ada dering yang membuatku langsung membuka layar. Panggilan masuk? Pas sekali. Aku segera menarik tombol hijau ke samping untuk menjawabnya.

"Hallo?" Aku memulai obrolan lalu meletakkan ponsel di dekat telinga. Maksudnya, agar suara orang itu terdengar jelas. Tapi, kericuhan Ayssa sontak membuat ponselku jatuh.

"Reine, kamu bicara dengan siapa? Kita sudah sampai. Ayo."

Aku sedikit gugup. "Oh em t-tidak." Aku mengambil ponselku dan melihat panggilan itu sudah berakhir. Aku sedikit kecewa. Ah biarkan! Mungkin memang orang asing. "Mari." Ayssa menarik tanganku lalu segera masuk ke dalam.

Dia terlihat senang. Matanya berbinar dan mencari ke beberapa arah. "Aku sudah tak sabar bertemu dengannya Rein."

"Ya pasti. Apalagi kalau sudah lama tak bertemu."

"Eh kamu juga rindu ya?"

Aku heran. "Maksudmu?"

"Ya mungkin kamu rindu kakakku." Dia tertawa.

"Rindu? Aduh, kamu terlalu berlebih Ayssa. Bertemu dengannya saja aku belum pern-"

"Eh sebentar." Ayssa memotong pembicaraan.

"Apa?" Tanyaku.

"Kakak!!!" Dia melepas tanganku kemudian berlari kecil menghampiri seorang lelaki berjas hitam. Mendengar suara kakak, lelaki itu langsung menoleh dan tersenyum melihat Ayssa. Mereka segera bertemu. Keduanya saling menangis haru. Sementara aku, tak melanjutkan langkah dan tetap di sini melihat momen yang bagiku terasa langka.

Andai saja suatu saat nanti aku bisa bertemu dengan Alif lagi. Mungkin akan seperti ini.

Aku tersenyum. Tapi mimpi tadi terlintas begitu saja di depanku. Apalagi ketika Alif ditembak, yang sontak membuatku terpaku sampai-sampai aku tidak mendengar Ayssa memanggilku.

"Reine?" Dia mencubit pipiku dan aku sadar. Terasa sakit.

"Aduh!" Aku sedikit meringis.

"Kamu ada apa?" Katanya.

"Tidak apa-apa." Jawabku sekenanya.

"Kulihat tadi kamu menangis. Ada masalah ya?"

Aku langsung gugup.

"Nangis? Ah mungkin kamu salah liat. Tidak ko." Dia memerhatikanku seperti seorang detektif. "Benar Ayssa, aku tidak apa-apa."

Dia tersenyum. "Baiklah.Mari aku kenalkan kamu pada kakakku." Dia bertingkah seperti akan menggodaku dengan kakaknya. Dan aku? harus mencoba bersikap tenang.

Lelaki itu segera membalik badannya ketika Ayssa memanggilnya. Aku tidak menatap wajahnya. Hanya tertunduk karena tanganku mulai gemetar.

"Hai kakak, kenalkan ini teman terbaikku namanya Reine. Dan Reine," dia mencolek tanganku sambil terkekeh, "perkenalkan ini satu-satunya kakak yang paling aku sayangi. Namanya kak Hamzah."

Aku gugup. Mulai mengangkat wajahku lalu melihatnya. Dan saat itu kedua mata kami saling bertemu. Tak lama kemudian aku sadar dan mulai berpaling.

"Assalamualaikum." Kata lelaki itu sambil menyimpan tangan kanannya ke dadanya.

Aku menjawabnya. "Waalaikumussalam."

Ayssa terus saja menggodaku. Aku tak tahan dengan semua godaannya, sungguh! Ingin rasanya aku pergi darinya dan pulang ke rumah. Tapi, jika aku melakukan itu, dia akan lebih menggodaku nanti. Dan tentunya mengatakan, "kamu sudah mulai suka ya pada kakakku, rein." Ah, menyebalkan.

Setelah itu, kami terdiam. Dan Ayssa langsung membantu membawakan kopernya. "Mari, kita makan dulu. Di depan ada restoran kecil. Reine, kamu ikut, ya."

Dengan terpaksa, aku harus mengangguk.

"Ayo, sudah lama pula aku tak makan nasi goreng ati ampela. Rasanya rindu sekali ingin makan."

"Hahaha. Kamu makan 3 piring pasti habis kak."

Lelaki itu tertawa kecil. "Itu bisa saja terjadi."

"Oh iya kak, aku juga sudah menyiapkan 10 roti selai keju kesukaanmu di kulkas."

Aku langsung menghentikan langkah.

"Roti selai keju?" Batinku.

...

Assalamualaikum, gimana kabarnya?

Semoga sehat ya.

Jangan lupa beri commentnya

+++#stayathome oke.

ohiya, kalau ada kesempatan, silakan di review ya karya saya dan jangan lupa tambahkan rating juga agar menjadi motivasi saya ke depannya. terima kasih^^

Phir Milenge

Salam