Selamat membaca
...
"Saya pesan tiga porsi nasi goreng ati ampela, ya mba." Ujar Hamzah spontan ketika pelayan datang menghampiri kami. Sementara itu aku melihat Ayssa tersenyum ke arahnya.
"Tidak," kataku yang langsung membuat Ayssa dan Hamzah seketika menolehku.
"Kenapa?" Tanya Ayssa.
Aku terdiam lalu sesaat menoleh Hamzah. "Aku pesan kentang goreng saja."
"Loh bukannya...."
"Kentang goreng saja, ya mba. Jadi nasi goreng ati ampela dua, kentang gorengnya satu."
"Baik." Kata pelayan itu dengan ramah.
"Eh sebentar," kata Ayssa menghentikan langkahnya, "tidak. Nasi goreng ati ampela saja tiga."
Aku hanya diam tak berkutik. Anak ini benar-benar membuatku tak mampu berbuat apa-apa.
"Sudah Ayssa, biarkan." Sejurusnya aku mendengar Hamzah mengucapkan itu. "Kamu jangan memaksanya, mungkin dia ingin kentang goreng."
"Tapi,"
Hamzah langsung menyelanya, "pesanan yang tadi saja, ya mba. Sekaligus minumannya jus mangga. Kamu mau apa?" Tanya Hamzah kepadaku.
"Sama kan saja." Jawabku sekenanya.
"Baiklah. Berati jus mangganya tiga."
"Oke mas. Sebentar lagi pesanan akan saya antar." Ujar pelayan itu kemudian berlalu.
Aku terus saja berusaha sibuk dengan ponselku. Rasanya waktu semakin lambat berputar. Tapi sesekali Ayssa juga mengajakku berbicara tentang pekerjaan. Jadi aku tak terlalu canggung dengan situasi ini.
Dan beberapa menit kemudian, pesanan sudah tersaji di atas meja. Kami langsung melahapnya tanpa banyak bicara. Sebenarnya di tengah makan Ayssa juga suka mengobrol dengan Hamzah. Namun aku tak memedulikannya.
Aku masih sibuk dengan ponselku, terkadang aku tertawa kecil ketika membaca pesan dari Alif yang menurutku lucu. Kentang goreng pun sementara aku abaikan, membalas pesannya membuatku lupa untuk memakan itu.
"Ada yang bahagia nih." Ucap Ayssa sambil mencubit pipiku. Aku langsung melihatnya yang tengah tersenyum penuh tanda tanya.
"Siapa tuh? Aku lihat dari tadi kamu terlihat bahagia."
Sesaat aku terdiam, "aku... Setiap hari memang seperti ini, kok." Jawabku sambil terus mengotak-atik ponsel.
"Tapi hari ini kamu terlihat lain dari hari-hari sebelumnya."
Aku hanya tersenyum lalu kembali pada ponselku. Sementara itu, Ayssa terus memperhatikan gelagat anehku yang selalu terkekeh sendiri. Bahkan dia terkadang ingin membaca pesanku. Kepalanya sedikit dimiringkan, tapi aku menjauh. Sepertinya hal ini yang membuatnya kesal.
Lalu dia merebut ponselku. Untung saja isi pesanku bersama Alif sudah aku arsipkan.
"Kamu ini main ponsel terus. Kamu lagi chattingan sama siapa sih?"
Aku tertawa kecil. "Tidak. Aku hanya ngobrol sama teman."
"Tapi kan bisa nanti lagi."
"Iya iya, maafkan aku." Kataku sambil terus menggodanya yang nampak cemberut.
Dia terdiam. Tapi sejurusnya, tangannya kembali mencubit pipiku.
"Baiklah. Aku maafkan."
"Ya sudah, kembalikan ponselku." Pintaku sambil terus mengusap pipi.
"Oh iya," katanya cengengesan, "nih. Tapi janji ya nanti kamu harus cerita."
Sejenak aku melihatnya yang nampak bahagia. "Iya iya Insya Allah."
Cuaca kota Bogor mulai mendung. Awan hitam di atas langit seakan ingin mengeluarkannya isinya. Aku melihat jam. Sudah pukul 11.10, sepertinya aku harus segera pulang karena sebentar lagi akan hujan.
Tapi, aku baru sadar ternyata sedari tadi aku melihat ada yang kurang di sini. Aku terus menoleh ke kanan dan ke kiri untuk mencari. Bahkan Ayssa memperhatikanku seakan aku tahu mencari siapa.
"Kak Hamzah sudah pulang duluan." Ujarnya tiba-tiba.
Aku terhenyak.
"Ya lagian dari tadi kamu sibuk main ponsel. Jadi dianya marah." Lanjutnya lagi sambil meledekku.
"Ish." Kataku, "siapa juga yang peduli dia mau ke mana." Aku bersiap-siap memasukkan ponsel ke dalam tas juga membuang beberapa tisu ke tempat sampah.
"Mau pulang?" Tanya Ayssa sejurusnya.
"Iya, sambil mau-"
Seketika Ayssa memotong pembicaraanku. "Kak Hamzah sudah membayar semua makanan ini. Jadi kalau mau pulang, pulang saja."
Aku terdiam.
"Apa... Kamu tak akan menitipkan ucapan terima kasih padaku untuk kak Hamzah?" Tanyanya sambil tertawa.
"Sudah mau hujan. Aku harus segera pergi. Kita akan bertemu lagi besok, sampai jumpa." Kataku meninggalkannya.
"Ehh kamu gak akan titip ucapan?"
Aku menghentikan langkah. Dan dengan berat hati harus aku katakan, "terima kasih."
...
Ini benar-benar menyebalkan. Kenapa aku harus selalu bertemu dengannya? Bisa tidak? Sekali saja kita tak bertemu? Apalagi hari ini, dia membayarkan semua makananku. Apa dia menganggap aku tak mampu membayarnya? Oke baiklah. Ketika aku bertemu dengannya lagi, aku akan membayar semuanya. Bahkan jika dia tak mau menerimanya, akan aku beri tiga kali lipat. Karena lelaki sepertinya memang benar-benar menyebalkan.
Aku terus menggerutu sambil sesekali melihat langit yang sebentar lagi akan hujan. Angin dingin seketika menyusup ke dalam tulang. Orang-orang pun mulai bersiap untuk berteduh atau memakai jas hujan. Karena memang, di Bogor ini hujan sangat sering sekali turun. Meskipun siangnya panas, sorenya kadang hujan. Atau ketika cuaca panas pun, hujan bisa saja turun. Jadi ketika cuaca sudah sedikit mendung, mereka segera memakai jas untung melindungi diri mereka sendiri.
Sembari menunggu taksi, aku terbiasa melihat jalanan sekitar. Hiruk pikuk kendaraan, keramaian orang-orang, hijaunya pohon-pohon sekitar jalan, yang terkadang langsung mengingatkanku kota Bandung. Sudah lama aku tak pulang dan sebenarnya aku ingin sekali ke sana. Namun aku takut ibu tak membiarkanku kembali.
Ketika tengah mencari pandangan ke sekitar, mataku seketika menangkap dua sosok yang tengah mengobrol di ujung sana dekat masjid. Aku menyipitkan mataku untuk memperjelas siapa mereka karena aku merasa mengenal dua sosok itu. Namun masih saja blur. Maklum, aku minus 0,75. Jadi melihat hal-hal yang jauh itu sudah menjadi tantangan biasa bagiku. Segera aku mengambil kaca mata di dalam tas lalu memasangkannya.
Pandangan sudah mulai jelas dan aku bisa melihat ke dua orang itu tanpa menyipitkan mata lagi.
"Abah!" Aku seketika terpaku melihat apa yang ada di hadapanku adalah orang yang aku rindukan untuk bertemu di kota ini. Rasanya seperti mimpi. Abah yang aku harapkan kini sudah ada di depanku.
Eh tapi apakah aku tak salah melihat? Apa itu benar-benar Abah? Karena penasaran dan untuk memastikan lebih jauh lagi, segera aku mendekati mereka secara mengendap. Dan benar sekali! Mataku tak salah melihat. Orang itu adalah Abah.
Bibirku tersenyum ketika melihat wajah Abah yang nampaknya tak berbeda ketika aku terakhir menemuinya lima tahun yang lalu. Senyumannya begitu khas. Dan nampak dari rautnya, dia begitu bahagia ketika tengah mengobrol dengan lawan bicaranya itu. Aku masih terdiam memperhatikan mereka di balik pohon. Sesekali Abah juga tertawa sambil mengusap lembut punggung pria di depannya. Aku jadi penasaran, siapa pria yang sudah membuat Abah sebahagia itu. Yang aku tahu, ketika Abah di rumah Alif saat lima tahun yang lalu, beliau belum pernah melakukan semua itu.
Semua perhatianku tertuju pada Abah. Bahkan ketika ada taksi pun, aku tak menghiraukannya. Aku hanya ingin bertemu dengan Abah. Rasanya aku rindu sekali. Bahkan aku ingin mengajaknya bertemu dengan Alif. Dia pasti merasakan hal yang sama sepertiku ketika pertama kali melihat Abah. Tapi sebelum itu aku harus tau siapa orang yang tengah bersama Abah.
Sepersekian detik kemudian, lelaki itu tertawa sambil menghadap jalanan, seketika aku terkesiap dan sama sekali tak pernah kusangka, bahwa orang yang bersama dengan Abah saat ini adalah... Hamzah. Ya! Itu Hamzah. Aku tak salah melihatnya. Seketika ribuan pertanyaan menggerogoti isi kepalaku. Mulai dari mengapa Hamzah ada di sini? Mengapa dia bisa mengenal Abah? Dari mana dia tahu Abah? Sampai dengan mengapa Abah bisa seakrab itu dengan Hamzah seakan sudah mengenalnya setelah sekian lama? Bukankah Hamzah baru pula dari Singapura?
Mataku masih saja tertuju pada kedua orang itu. Tak percaya dengan apa yang dilihat sampai akhirnya hujan turun begitu deras.
Sejurusnya aku segera berlari menemui mereka. Melihat kehadiranku, aku bisa melihat reaksi Abah dan Hamzah yang terkejut penuh tanda tanya kepadaku. Dan tanpa ba-bi-bu lagi, melihat bajuku yang basah kuyup Abah segera membawaku ke halaman masjid.
Sementara Hamzah membawa sesuatu dari dalam mobilnya. Ketika akan memberikannya padaku, aku langsung menolaknya.
Lantas Abah membawa handuk itu dari tangan Hamzah dan menyelimutinya padaku. Awalnya aku tak mau, tapi Abah bersikeras dengan alasan harus aku lakukan karenanya.
Dan untuk kesekian kalinya, aku tak bisa melakukan apa-apa.
"Neng Reine kerasa pusing ga?" Abah tiba-tiba bertanya seperti itu.
Aku menggeleng. "Sudah lama aku tak bertemu Abah. Rasanya rindu sekali."
Lalu Abah tersenyum ramah padaku.
"Apa Abah sehat-sehat saja?"
"Alhamdulillah Abah baik-baik saja. Kalau neng Reine?"
"Alhamdulillah bah, Reine juga baik-baik saja. Abah kenapa ada di sini?"
Kemudian aku melihat Abah menatap Hamzah dengan mata yang berbinar. Dari wajahnya yang keriput tersungging senyuman hangat yang sama sekali tak pernah aku melihatnya.
Sementara Hamzah memberiku air hangat dari termos kecil yang ia bawa juga dari mobilnya. Ketika Abah menyuruhnya pakai teh, Hamzah menggelengkan kepalanya dan mengatakan, "Reine tak menyukai itu, bah." Aku awalnya sempat heran mengapa Hamzah bisa mengetahui aku tak menyukai teh. Perasaan aku tak mengatakan apa pun soal itu. Tapi ketika aku berpikir lagi, mungkin Ayssa yang mengatakan semua padanya.
"Alhamdulillah, abah sangat bahagia neng." Ucapan itu seketika membuyarkan lamunanku.
"Maksud Abah?" Kataku sambil terus menggosok-gosokkan tangan pada gelas yang berisi air hangat.
"Neng Reine masih ingat jagoan Abah?" Tanyanya kemudian.
Aku langsung tersenyum. "Tentu saja. Si kecil yang selalu Abah harapkan untuk bisa bertemu dengannya. Aku juga memiliki janji yang masih belum aku penuhi pada Abah."
"Janji apa?" Tanya Abah lagi.
"Janji mempertemukan Abah dengan cucu-cucu jagoan Abah."
Lantas Abah tersenyum. "Tak usah neng, Abah telah bertemu dengannya."
Kedua bola mataku seketika melebar. "Benarkah?" Mendengar semua itu entah kenapa aku merasa sangat bahagia.
Abah mengangguk mantap.
"Siapa bah? Apa rumahnya di sini? Orangnya seperti apa? Mungkin saja aku mengenalnya."
Abah terus tersenyum sambil terdiam. Lalu sepersekian detik setelahnya Abah berkata, "Orangnya ada di depanmu, neng."
Jujur, aku terkejut bukan main.
"Hamzah. Dia cucu Abah. Jagoan yang selalu Abah nanti sejak lama." Kata Abah sambil terus memandang lelaki yang ada di depanku.
Rasanya aku tak percaya. Mataku tak bisa mengalihkan pandangan pada keduanya.
"Apa Abah tak bercanda?"
Abah menggeleng. "Beberapa hari yang lalu, Abah tak sengaja bertemu dengannya. Lalu Abah kaget ketika Hamzah tiba-tiba menyebut nama Abah. Lagi pula awalnya Abah tidak mengenal atau pun bertemu dengan cucu Abah satu ini."
Aku masih terdiam. Masih ada rasa tak menyangka dengan kebenaran yang sama sekali tak sengaja aku dapatkan selama ini.
"Kemudian Hamzah memberi fotonya ketika kecil. Abah langsung mengingat bahwa dia adalah jagoan abah dan abah segera memeluknya." Lanjutnya sambil mengeluarkan butiran air dari matanya. "Abah tak menyangka, ikhtiar telah membawa Abah pada jagoan Abah."
Aku menghela napas. Menelan bulat-bulat kebenaran yang ada. Ternyata Hamzah adalah cinta Abah selama ini. Itu artinya Hamzah memiliki saudara kembar. Seketika aku mengingat cucu Abah yang satu lagi. Lantas aku tanyakan pada beliau, "apa Abah sudah bertemu dengan jagoan Abah yang satu lagi?"
Kali ini senyumannya nampak lebar. "Alhamdulillah, sudah neng."
"Siapa bah?" Tanyaku penasaran.
"Nanti Abah akan segera membawanya padamu."
Pikiranku masih terus menceracau memikirkan semua hal yang tampak berbelit. Mulai dari hal ini, mengapa menjadi seperti itu? Ah intinya aku masih menyimpan banyak pertanyaan yang ingin aku tahu dari Abah. Sampai akhirnya azan zuhur membuyarkan semua pikiranku. Lalu tiba-tiba Abah mengajakku wudu dan salat. Dan abah seakan tahu apa yang ada dipikiranku, karena sejurusnya Abah berkata, "neng Reine akan segera tahu."
"Segera? Maksudnya? Segera apa? Kapan?" Batinku terus saja memikirkan semua itu.
...
Setelah menunaikan salat, aku lantas bersiap membereskan mukena lalu menyimpannya kembali di lemari. Setelah itu, aku keluar dan melihat hujan sudah mereda. Tapi langit masih belum cerah. Ketika aku mendongak sedikit ke atas, ternyata awan hitam masih ada di langit sana.
Kemudian aku mendengar ada orang yang mendekatiku lalu menepuk lembut pundakku. Ketika aku membalik badan, ternyata Abah.
"Sebenarnya Abah masih rindu sama neng Reine. Tapi Abah harus pulang." Kata Abah sambil tersenyum.
"Tapi...."
"Tapi kenapa neng?"
Sejenak aku berpikir, "t-tidak. Apa boleh aku mengantar Abah pulang?"
Abah tertawa kecil. "Tak usah neng. Abah pulang sendiri saja."
"Tapi aku ingin tahu rumah Abah. Jadi besok aku dan Alif bisa ke rumah Abah. Aku yakin Alif akan bahagia bisa bertemu lagi dengan Abah."
Abah tersenyum lagi. "Tak apa neng. Nanti saja Abah tunjukkan, semoga nanti Abah bisa bertemu dengan Alif. Abah juga rindu sama dia."
"Ya sudah, biar Hamzah saja ya yang antar abah. Takut hujannya turun lagi." Tiba-tiba Hamzah membuka suara.
"Tak usah Hamzah. Kamu pulang saja. Nanti besok kita bisa bertemu lagi. Kalian juga harus segera pulang. Insya Allah Abah baik-baik saja."
Aku mengangguk sambil tersenyum pada Abah. "Baiklah kalau seperti itu. Tetap jaga kesehatannya ya bah."
"Baik neng." Aku baru melihat Abah menyunggingkan senyum sambil memperlihatkan giginya yang masih berjejer rapi. Setelah meminta pamit dariku dan memeluk Hamzah, Abah kemudian pulang.
Kali ini di halaman masjid hanya ada aku dan Hamzah. Dia masih terdiam di tempat. Sementara aku segera memberikan handuk tadi padanya.
"Terima kasih." Kataku tanpa ekspresi apa pun. "Dan untuk air hangatnya juga."
Aku melihat dari ujung matanya dia mengangguk sambil sedikit tersenyum.
"Apa bajumu sudah kering?" Tanyanya kemudian.
"Sudah."
"Apa terasa pusing?"
Aku menggeleng.
"Apa perlu aku memberimu obat?"
"Tak usah."
"Tapi tadi kamu sudah hujan-hujanan. Kalau kamu mau... Aku bisa mengantarmu pulang."
Aku langsung menatapnya tajam ketika dia berkata seperti itu. "Tak usah perhatian karena aku tak butuh perhatian darimu. Cukup sampai sini karena aku bisa dekat denganmu seperti tadi pagi itu demi Ayssa. Aku hanya melakukan itu untuknya. Ketika dia tak ada, jangan harap kamu ingin berlaku sama seperti Ayssa ada bersamaku. Dan oh! Jangan pernah mencoba untuk temui aku lagi. Paham?" Ujarku sambil menekankan kata 'jangan pernah temui aku lagi' harap-harap dia bisa mengerti dengan peringatanku kali ini.
Dan tanpa meminta pamit, aku langsung meninggalkannya yang masih terdiam di sana. Tapi baru saja melangkah beberapa meter, aku seketika mengingat kejadian tadi siang bersama Ayssa. Segera kaki ku langkahkan balik dan menemuinya lagi.
"Kamu kembali? Ada apa?" Tanyanya yang masih belum meninggalkan tempat.
Lalu kusodorkan uang padanya.
Dia terheran. "Uang apa ini?"
"Satu lagi. Jangan pernah mencoba menyogok dengan mentraktirku makan. Karena semua itu tak akan membuatku bisa bersikap baik padamu. Paham?"
"Tapi aku tak berniat seperti itu."
"Lelaki sepertimu untuk apa dipercaya." Timpalku. "Dan oh, aku sudah memberimu tiga kali lipat dari makanan yang kamu bayar tadi."
Dia menatapku sesaat lalu sejurusnya mengambil uang yang aku simpan di atas kursi. "Baiklah, aku ambil."
Aku tersenyum kecut. "Benar dugaanku. Lelaki sepertimu memang menilai sesuatu dengan uang. Apalagi ketika aku menambahkannya, kamu langsung menerimanya."
Dia menenteng uang itu. "Karena uang adalah segalanya bagiku."
"Tapi uang tak dapat membeli kasih sayang. Aku rasa, kamu memang kurang kasih sayang hingga tak mampu menghargai seseorang." Ujarku sesaat sebelum meninggalkannya sendiri.
...
Assalamualaikum (:
Gimana lanjutannya? Semoga ga bosen ya menyelami kehidupan yang sepertinya cukup rumit ini hehe,
Phir Milenge
Salam