Selamat membaca (:
...
"Assalamualaikum." Aku mengetuk pintu rumah yang terlihat sepi.
Sementara itu, aku menunggu sambil duduk di kursi. Sebenarnya bajuku sudah kering, tapi kepalaku rasanya pusing dan berat sekali. Mungkin karena tadi aku habis hujan-hujanan. Yaa maklum, aku memang senang hujan dan sudah terbiasa hujan-hujanan. Tapi entah mengapa kali ini badanku rasanya tak enak, mungkin sudah lama juga aku tak main hujan. Maka dari itu aku ingin sekali tidur, karena biasanya rasa pusingku akan lekas membaik.
Aku jadi ingat dulu ketika mengaji, aku pernah mendengar wejangan dari guru ngajiku. Kurang lebihnya kata beliau, hujan adalah rahmat yang diturunkan oleh Allah SWT untuk seluruh makhluk yang hidup di muka bumi ini. Yang namanya rahmat Allah, akan selalu memberikan hasil yang baik dan memberikan suatu hal yang positif pula. Jika ada di antara kalian yang menganggap hujan adalah sesuatu yang perlu dihindari, seperti menimbulkan sakit, atau apa pun, kalian salah besar.
Karena itu adalah pikiran negatif yang selalu kita percaya bahwa hujan akan membuat kita sakit, padahal itu adalah kepercayaan kita sendiri yang menghantui pikiran seolah-olah kita pasti lemah terhadap hujan. Karena bisa jadi faktor lainnya, mungkin diri kita sendiri lah yang memang mudah terserang penyakit. Mudah demam, flu, pusing, atau pegal.
Wejangannya memang benar dan tepat sekali menurutku. Dulu ketika sekolah, aku sering sekali hujan-hujanan, tapi badanku rasanya biasa saja. Karena aku selalu berpikir bahwa hujan tak akan pernah membuatku sakit. Dan benar, selama sekolah, aku memang jarang absen karena sakit akibat hujan-hujanan.
Tapi kali ini, aku tak bisa memutuskan sampai sana. Mungkin saja badanku memang sedang drop, dan ketika terkena air, suhuku kian meninggi. Tapi ini hal biasa bagiku. Dengan meminum obat dan istirahat yang cukup, akan membuatku segar kembali.
"Reine?" Telingaku seketika menangkap suara yang memang sudah tak asing lagi bagiku. Aku segera beranjak dari kursi.
"Cepat sekali kamu pulang." Katanya lagi, "duduk lagi saja."
Aku tersenyum, "pekerjaannya sudah beres. Jadi aku bisa pulang."
"Ohh oke, baiklah."
"Apa bibi ada di dalam?" Tanyaku kemudian.
"Ohh bibi," dia terlihat berpikir, "tadi... Mau keluar dulu sama paman. Kurang tahu sih mau ke mana, tapi sebentar lagi mau pulang katanya."
"Oh...." Aku mengangguk.
"Kamu mau apa Rein?"
"Hm?" Aku kurang mengerti apa maksudnya.
Sejurusnya dia terkekeh. "Ya kalau kamu mau, aku bisa buatkanmu masakan, atau minuman hangat, atau mungkin roti. Eh tapi... Kalau kamu mau yang lain, bilang saja. Akanku belikan."
Aku seketika mengingat saat aku dan Alif masih sekolah. Rasanya dia tak pernah berubah. Sama saja sikapnya seperti itu, bahkan aku terkadang merasa minder dengan sikapnya yang bagiku terasa sempurna. Dulu aku sering sekali tiba-tiba badmood kepadanya, hanya karena masalah rumah, tapi dia yang menanggung kemarahanku.
Dan kali ini, aku merasa bersalah. Aku bahkan tak mau mengulanginya lagi. Aku akan berusaha menjadi Reine yang baik, lebih baik dari pada Reine yang sebelumnya.
"Tak usah, aku sudah makan." Jawabku.
"Kentang goreng kan?" Katanya tiba-tiba.
"Lho? Kok tahu?"
Dia tertawa. "Aku ingat kamu pernah bilang, sebelum makan nasi, kamu itu belum makan. Meski pun sebelumnya sudah makan makanan berkarbo, tapi jika itu bukan nasi rasanya masih kurang."
Mendengarnya, aku pun ikut tertawa. "Kamu juga sama. Eh tapi kamu tahu dari mana aku tadi makan kentang goreng?"
Dia berpikir sejenak.
"Em... mau tau?" tanyanya kemudian.
"Pasti." Jawabku penasaran.
"Apa... kamu tak ingat dulu aku sering menebak apa yang telah kamu lakukan atau apa yang akan terjadi padamu ke depannya. Dan itu selalu benar."
Aku mencoba mengingatnya lagi,
"Saat itu kamu pernah lari, terus aku bilang awas jatuh, eh beneran jatuh. Terus pas di sekolah, awas licin lantainya, tapi kamu masih lewat sana. Alhasil kamu pun kepeleset."
Aku langsung mengingat semua itu.
"Bahkan, ketika kamu makan ayam pun, aku sudah bisa menebaknya. Dulu juga kamu pernah bohong, tapi aku tahu. Intinya, terkadang aku tahu apa yang kamu lakukan rein. Jadi kamu jangan coba-coba membohongiku." Lanjutnya sambil tertawa.
Aku menghela napas. "Baiklah, aku akui kamu memang pintar soal tebak menebak. Apa rahasianya?" Tanyaku.
"Rahasia apa?"
"Ya... Rahasia biar bisa nebak terus benar kaya kamu. Kali aja aku bisa nebak kamu kalau mau pergi ke mana nanti."
Dia terkekeh. "Tak ada rahasia apa pun Rein. Itu, hanyalah insting seorang teman."
"Maksudnya?"
"Maksudnya... kita kan sudah lama berteman. Yaa maklum kalau aku tahu apa pun yang dilakukan temanku ini. Karena itu artinya, naluri kita sudah bersatu. Jadi, kita bisa saling mengetahui walau pun hanya sekedar menebak."
"Tapi... Aku belum pernah menebak kamu lif. Apa itu artinya, aku bukan teman baikmu dong?"
"Hahaha. Maksudku bukan seperti itu."
"Terus?"
"Sudahlah." Kemudian dia membawa sesuatu dari bawah meja. "Aku tahu kamu sedang sakit, maka dari itu aku bawakanmu bubur kacang hijau." Dia menyajikanku bubur dengan keadaan yang masih hangat.
Tapi aku berusaha menutupi semuanya.
"Kata siapa aku sakit?"
Dia seperti tak mendengarkan ucapanku, "setelah makan bubur, minum obat ini ya. Lepas itu istirahat. Aku akan menunggu di luar saja."
"Tapi?"
Dia masih tak mau mendengarkan. "Ini sendoknya. Makan pelan-pelan. Jangan ditiup. Biar aku kipasi, terus kamu mulai makan. Oke?"
Melihat perhatiannya, seketika membuat butiran air mataku jatuh satu per satu.
"Alif...." Ujarku kemudian.
"Iya? Mau apa?"
"Aku tak-"
Dia memotong ucapanku. "Jangan bohong Rein. Aku tau kamu tak enak badan. Tadi pas melihat kamu pulang, aku sudah tahu keadaanmu sedang tak baik-baik saja."
"Karena seperti apa pun caranya kamu berusaha menyembunyikan sesuatu dariku, aku bisa tahu."
Aku mulai mengaduk-aduk bubur yang sepertinya terlihat enak ini. Sementara itu dia mengipasinya.
"Pembicaraan tadi, aku hanya berusaha menghiburmu saja. Tapi aku tak mau membicarakannya lebih jauh karena saat ini bukanlah saat yang tepat. Gimana rasanya?" Katanya lagi.
Aku mulai menyuapkan satu sendok bubur ke dalam mulut. Dan jujur! Ini rasanya enak sekali. Aku tak menyangka di kota Bogor ada yang menjual bubur kacang seenak ini. Rasanya sudah lama aku tak makan, aku kira hanya di kota Bandung saja makanan ini dijual.
"Ini benar-benar enak. Kamu beli di mana?" Tanyaku.
"Beli? Apa yang beli?"
Aku menunjukkan bubur yang tinggal setengah lagi. "Nanti aku mau beli lagi."
"Wah... Kamu suka?"
Aku mengangguk mantap. "Suka. Suka sekali."
Dia kemudian tersenyum. "Baiklah, nanti akanku buatkan lagi."
Mataku seketika melebar. "Apa? Jadi... Jadi ini buatanmu?"
Sejenak dia terdiam, lalu tersenyum tanda mengiyakan.
"Ya Allah, sejak kapan kamu bisa buat bubur kacang?"
"Sudah lama sih, ketika aku pergi saat itu. Aku banyak belajar di sana, salah satunya ini. Bubur kacang."
"Oalah... Tapi ini serius enak sekali. Aku tak menyangka kamu bisa sepintar ini dalam hal memasak."
Lagi-lagi dia tersenyum. "Yaa semua itu aku lakukan untukmu juga Rein."
"Untukku?" Tanyaku yang masih memakan bubur.
Dia mengangguk. "Semuanya untukmu. Agar setidaknya kamu tak kaget kalau-kalau...."
"Kalau-kalau?"
"Kalau... Ah sudahlah lupakan saja. Yang terpenting, habiskan buburnya setelah itu minum obat ini," dia menyodorkanku dua tablet obat dan air putih. "Nah nanti istirahat ya. Sudah salat kan?"
"Sudah." Jawabku.
Aku melihatnya yang nampak serius memandang langit sambil sesekali ujung bibirnya tersungging senyum. Aku tak tahu apa yang tengah ia pikirkan saat ini. Yang aku tahu, dia memang sosok yang tak pernah membiarkanku terluka. Dia begitu perhatian, bahkan perhatiannya melebihi rasa perhatianku padanya. Sebenarnya kalau tentang kehidupan, dialah guru utamaku. Guru, yang selalu mengajarkan kepada muridnya arti indah dari sebuah kehidupan. Tapi di sisi lain juga, dia mengajarkanku untuk tak terlalu terlena pada indahnya kehidupan. Karena pada hakikatnya, dunia itu hanya sementara.
Dan dia juga... Tak lupa memberiku ilmu yang ia miliki perihal agama. Bahkan selepas salat Magrib, aku, Alif, paman dan bibi senantiasa mengaji bersama-sama. Lalu setelah itu, dia mengajari kami perihal tajwid, makharijul huruf, musykilat, dan terkadang bercerita pula tentang kisah-kisah nabi dan para sahabatnya yang rela berjuang demi membela agama Islam sampai akhir hayatnya. Semua itu aku dapatkan darinya. Bahkan, paman juga banyak belajar perihal agama dari Alif. Tak ada rasa canggung atau malu karena bertanya pada orang yang lebih muda darinya. Karena bagi paman, mencari ilmu itu jangan mengedepankan ego. Kalau ego kita tinggi, mana mungkin kita akan mendapatkan ilmu.
Sesekali aku melihat Alif yang masih menatap langit. Sorot matanya berbinar, namun terlihat kosong. Hm. Andai saja aku tahu isi hatimu tengah memikirkan apa.
...
Alif... Kalau dulu aku berharap menjadi satu-satunya temanmu, itu aku akui. Tapi seiring bertambahnya usia kita, jujur. Sebenarnya... aku tak tahu apa yang mengganjal di dalam hati ini. Aku ingin menjadi satu-satunya teman hidupmu yang bersama dan saling berjuang meraih keridhaan-Nya. Aku tak mengerti mengapa semua bisa terjadi secepat ini. Yang aku dengar, kata orang cinta itu egois, karena kalau tak egois, bagaimana kita bisa berjuang dan saling mempertahankan? Sebenarnya umur kita sudah lagi tak dianggap main-main untuk soalan cinta. Tapi... Apakah iya hal yang mengganjal ini bisa dikatakan sebuah cinta?
...
"Alhamdulillah. Qadarullah. Semua bisa terjadi secepat ini."
Aku mendengar samar-samar orang berbicara seperti itu. Sepertinya di luar tampak ramai. Dengan sulit, aku membuka mata. Mulai memasang telinga dengan saksama, dan sepertinya telingaku memang benar-benar mendengar semua itu.
Kepalaku sebenarnya masih pusing. Ketika aku raba pipi dan leher, terasa sedikit panas. Aku mengingat di laci dalam lemari, bibi saat itu pernah menyimpan termometer. Segera aku memeriksakannya.
Dan ketika aku memasangkannya, aku terkejut melihat angka di sana sampai 39. Aku tak percaya awalnya, mungkin saja termometer ini yang rusak. Tapi ketika aku coba lagi, angkanya masih sama. Itu artinya aku sudah demam.
Dering ponselku tiba-tiba berbunyi. Aku melihat nama Alif yang tertera di atasnya. Dan dengan segera aku menyimpan kembali termometer lalu menemui keramaian itu.
Ketika aku sampai sana, semua pasang mata tertuju padaku. Aku sedikit terheran dengan apa yang sedang terjadi. Tapi tiba-tiba bibi menghampiriku lalu memelukku.
"Rein, bibi tak menyangka." Katanya sambil terisak.
"Ada apa bi?" Tanyaku khawatir.
Bibi lalu melepas pelukannya dan memberikanku sebuah tespek bergaris dua.
Jujur, saat ini aku tak bisa berbuat apa-apa. Aku terpaku sembari mata terus memperhatikan benda kecil itu.
"Alhamdulillah, bibi hamil rein." Katanya sambil lagi memelukku.
Awalnya aku tak percaya, tapi bibi meyakinkanku.
"Setelah diperiksa tadi, janin bibi sudah 6 Minggu."
"Alhamdulillah." Spontan aku sujud syukur sambil menangis terharu. Ini adalah kabar bahagia yang sudah lama kami nanti. Ternyata benar, kuasa Allah memanglah tak ada yang pernah bisa menduga. Karena sehebat dan secanggih apa pun kepintaran atau teknologi saat ini, tak akan pernah bisa menyaingi kuasa Allah. Yang konon katanya bibi memang sudah sulit lagi mendapat anak.
Bibi mengajakku berdiri. Aku bisa melihat wajahnya yang penuh dengan tangisan haru. Sesekali, bibi juga mengelus-elus perutnya. Paman juga nampak menangis di sana. Alif apalagi. Kami tak pernah menyangka kabar bahagia ini bisa terjadi pada keluarga kecil paman dan bibi.
"Semuanya adalah buah dari ikhtiar bibi dan paman." Tiba-tiba Alif berkata seperti itu.
Lalu paman menghampiri Alif. "Terima kasih, ini juga ada nasihat darimu, nak."
"Maksud paman?" Tanyaku memperjelas.
"Ketika Alif pertama kali datang ke rumah ini, keadaan tiba-tiba menjadi sejuk. Seperti tak ada angin panas yang selalu membuat bibimu menangis setiap malam." Ujar paman sambil sesekali mengusap butiran air di ekor matanya. "Tapi bibimu segera menyadari kesalahan itu, ketika suatu malam bibi mendengar Alif berdoa untukmu, paman dan bibi agar segera diberi keturunan."
Mataku masih memerhatikan Alif yang nampak tertunduk.
"Lalu bibimu memberitahu paman, segera paman menghampiri Alif. Dan di sana...." Paman terisak, "Alif yang menyadarkan paman bahwa semua hal itu akan terjadi pada waktunya. Dia memberikan beberapa cara, seperti shalat tahajjud, shalat hajat, banyak-banyak bersadaqah kepada anak yatim, yang mana harus dilakukan dengan ikhlas. Paman coba lakukan, dan alhamdulilah. Semua impian paman dan bibi akhirnya terkabulkan. Kuasa Allah memang yang terindah dan selalu tak terduga."
Aku tak menyangka. Kehadiran Alif tak hanya membawa kebahagiaan padaku, tapi pada bibi dan paman juga. Sementara itu, aku melihat Alif yang hanya menunduk sambil sesekali mengusap air matanya.
"Alhamdulillah. Kita harus bersyukur dan berterima kasih banyak kepada Allah. Semua ini tak akan terjadi kalau bukan karena kehendak-Nya." Ujar Alif.
"Benar." Bibi menyahut. "Setelah ini bibi akan banyak-banyak meningkatkan ibadah bibi kepada Allah. Bibi akan berusaha semaksimal mungkin merawat anak bibi, karena Allah sudah menitipkan malaikat kecil ini pada kami. Bibi akan menjaganya sekuat bibi."
Lalu paman menghampiri bibi. "Semuanya akan kita jalani bersama. Berdua."
Aku masih merasa terharu melihat keluarga kecil ini bahagia. Bahkan aku belum pernah melihat bibi sebahagia ini sebelumnya. Sampai pada satu titik, mataku menangkap sesuatu di atas meja. Sebuah benda.
"Bibi, ini apa?" Tanyaku, "sepertinya aku baru melihatnya."
Kulihat bibi menyipitkan matanya. "Oh itu... Itu tadi dari Hamzah. Katanya hadiah buat bibi dan paman."
Aku terkejut lalu segera menyimpannya kembali.
"Buka saja Rein. Tadi bibi lupa lihat isinya saking bahagianya."
"Ah. Em. Tak usah bi. Bibi saja."
Lalu Alif mengambil benda itu.
"Dari Hamzah?" Tanyanya menyakinkan.
Aku mengangguk.
"Siapa dia?"
Aku terdiam. Seketika memori tentangnya menghantui pikiranku. Mulai dari kejadian siang tadi, lalu saat dia terjatuh, juga kejadian di dapur, ah semua itu benar-benar menyebalkan. Mengapa aku tak bisa melupakan memori itu? Mengingatnya membuatku semakin kesal.
"Ohh Hamzah." Bibi menghampiriku sambil tangannya menepuk pundakku. "Dia teman Reine. Maksud bibi, di kantor, Reine memiliki teman, dan Hamzah adalah kakak angkatnya teman Reine."
Kulihat Alif hanya manggut-manggut saja. "Kenapa kamu tak pernah bercerita soal Hamzah?" Tanyanya padaku.
"Itu tak penting."
"Tapi kapan-kapan bisa kan kamu kenalkan aku padanya?"
Mataku seketika melebar mendengar Alif berbicara seperti itu.
Mana mungkin aku akan mengenalkan lelaki menyebalkan itu pada Alif? Perlu beribu-ribu kali aku harus memikirkannya lagi.
"Bisa kan?" Ujaran Alif membuyarkan lamunanku.
"Ohh bisa-bisa." Bibi menimpali. "Lagi pula, Hamzah itu pria yang baik. Sama sepertimu Alif. Dia itu perhatian sekali pada bibi, paman dan Reine. Dan terkadang bibi juga merasa Hamzah terlihat akrab dengan Reine." Jawab bibi sambil terkekeh.
"Wah benarkah?" Sahut Alif, "aku tak sabar ingin segera mengenalnya. Pasti pria itu baik dan termasuk dalam kriteria yang tepat untuk Reine."
Seketika aku segera melepas tangan bibi yang masih berada di atas pundak ku. "Maaf," kataku yang langsung membuat Alif dan bibi melihatku.
"Kenapa?" Kata Alif.
"Aku tak setuju kalau harus mengenalkan mu pada Hamzah."
"Lho kenapa?"
"Intinya, aku tak setuju. Dan aku mohon, jangan sekali-kali ucapkan apa pun lagi tentang Hamzah. Karena semua itu tak penting bagiku." Ucapku sesaat sebelum meninggalkannya.
"Tapi Rein?" Untuk saat ini aku tak menggubris ucapannya. Maaf Alif, tapi aku tak suka jika harus membahas soal Hamzah. Apalagi kalau kamu sampai tahu dan mengenalnya.
Aku menutup pintu kamar dan menguncinya. Segera aku melemparkan tubuhku pada kasur.
Ini benar-benar menyakitkan.
Terlebih ketika Alif mengucapkan kalimat 'Pasti pria itu baik dan termasuk dalam kriteria yang tepat untuk Reine'.
Jujur, hatiku menjerit.
Mengapa Alif tak mau mengerti? Mengapa Alif tak bisa melihat keinginanku? Bahwa sebenarnya hanya dia yang aku ingin? Bukan Hamzah, ataupun orang lain.
...
Assalamualaikum (:
Gimana lanjutannya? Semoga ga bosen ya menyelami kehidupan yang sepertinya cukup rumit ini hehe,
Phir Milenge
Salam