Chereads / Tangisan Rindu / Chapter 17 - Suka Cita

Chapter 17 - Suka Cita

Aku merogoh ponsel di tas kecil yang terasa bergetar saat aku pakai. Kulihat, nama ibu tertera di layar ponselku. Jarang sekali ibu menelepon ku sebenarnya, tapi jujur aku kaget sekaligus senang melihat ibu yang tampaknya ingin bercengkrama denganku.

Ku angkat panggilan. Rasanya mendengar ibu mengucapkan salam membuatku rindu ingin bertemu dengannya.

"Iya Bu, ada apa?" Aku mulai membuka suara setelah menjawab salamnya.

"Bagaimana kabarmu di sana?" Suaranya nampak sama seperti terakhir aku mendengarnya saat ibu menyuruhku ke Bogor.

"Alhamdulillah bu, baik. Kalau ibu dan ayah bagaimana keadaannya?"

"Kami baik juga nak, jangan khawatir. Di sana kamu betah?"

"Betah Bu alhamdulilah. Bibi dan paman baik sekali. Kapan ibu ke Bogor?"

"Kami di sini masih sibuk nak. Nanti kalau ada waktu luang kami pasti ke sana. Ngomong-ngomong, kemarin Alif telepon ibu dan menyampaikan hajatnya. Kamu sudah tahu?"

Entahlah. Rasanya ketika siapapun memanggil nama Alif, bibirku seketika menyunggingkan senyum. "Iya Bu, sudah."

"Bagaimana? Kamu setuju?"

Aku tiba-tiba mengingat kejadian kemarin di saat Alif datang menghampiri ku sambil membawa nampan, lalu menangis dan sejurusnya menyatakan rasanya padaku di rumah sakit itu. Lagi-lagi, rasanya seperti mimpi.

"Ibu tahu kalau kamu diam, pasti setuju kan?" Aku mendengarnya tertawa kecil, "lagi pula itu sudah keinginanmu dari dulu."

"Iya Bu alhamdulilah. Reine di sini cuma minta doa restu dari ibu dan ayah. Semoga segalanya berjalan dengan mudah dan sesuai harapan."

"Iya nak, aamiin. Ibu juga minta maaf dan menyesal karena sempat menjelekkan Alif dan menyuruhmu pergi ke Bogor untuk melupakannya. Tapi sekarang dia ada di sana, bukan?"

"Iya bu tak apa. Soalan itu lupakan saja, Alif sudah ada di sini sekarang."

"Tinggal di rumah bibi?"

"Awalnya Bu. Tapi sekarang dia sudah mendapat kontrakan kecil di dekat rumah bibi. Jadi dia tinggal di sana."

"Ohh baiklah. Tetap jaga kesehatannya ya nak, ibu masih ada banyak urusan di sini. Jaga dirimu baik-baik. Nanti kalau kamu akan menikah, ibu pasti ke sana bersama ayah."

"Iya Bu, ibu juga jaga diri baik-baik ya. Aku rindu ibu dan ayah."

"Tentunya." Ibu menutup telepon sesaat sebelum mengucapkan salam. Pikiranku masih meceracau, menerawang jauh dengan alur yang semrawut tak aku pahami sedikit pun.

Sebenarnya, ini tinggal beberapa langkah lagi. Karena nanti kalau sudah waktunya, aku memulai hidup dengan seseorang yang selalu menemaniku dalam suka cita.

Andai saja waktu bisa berjalan sedikit cepat. Pastinya aku tak menyangka bisa menjalani hari-hari indah saat itu tanpa ada sebuah keraguan. Cita-cita, harapan, tujuan, akan kita tempuh bersama di semua jalan yang akan kita lalui dengan maksud mengejar ke ridhaan-Nya. Insyaallah.

...

Ku gantung tas kecil di tembok kamar lalu segera merebahkan diri ke atas kasur. Rasanya lelah sekali setelah tadi mengambil obat dari dokter. Mungkin karena kondisi ku yang belum terlalu baik. Jadi ketika melakukan suatu hal yang sedikit berat, tubuhku mudah lemas.

Mata perlahan memejam, pikiran seakan mengalir menjelajahi semua sudut kisah kasih romansa kehidupan. Aku menjalaninya saat ini, hiruk pikuk keindahan Bandung seketika mengingatkanku akan kenangan manis di dalamnya. Taman kota, sekolah, dan aku tak tahu bagaimana kondisinya pondok kecil itu, mungkinkah ada makhluk ketiga yang mampu menembus pondok itu lalu merubahnya menjadi sebuah rumah? Atau taman? Aku tak tahu. Tapi aku berharap tidak saja. Biarkan semua itu tetap tak berubah sama seperti terakhir kali aku mendatanginya.

Biar nanti ketika aku kembali ke sana, lembaran-lembaran usang selama beberapa tahun yang lalu kembali merasuki pikiran untuk terus mengingatnya.

Aku tak tahu Alif masih ingat pondok kecil itu atau tidak. Aku selalu lupa menanyakan perihal itu ketika aku bersamanya. Mungkin nanti saja kalau sempat, atau ketika sampai rumah aku lupa lagi menanyakannya, perlukah aku menuliskannya di dahi agar nanti Alif tertawa ketika membaca tulisanku? Aku yang nantinya cemberut pasti mengingat hal apa yang akan aku tanyakan. Sepertinya aku harus melakukan itu. Tapi nanti, kalau opsi pertama gagal aku lakukan.

Pikiranku masih terbang memikirkan hal-hal yang entah lah, rasanya aku juga tak tahu sampai sudut mana pikiran ini akan berlabuh. Hingga pada satu titik, otakku seakan mengucapkan nama Abah.

Ya. Abah.

Tiba-tiba aku memikirkan nama itu. Rasanya aku rindu sudah lama tak berjumpa dengan Abah, lagipula masih ada satu teka teki yang aku pertanyakan, siapakah cucu Abah yang satu? Maksudku saudara kembar Hamzah. Ya aku tahu itu memang bukan urusanku. Tapi setidaknya aku ingin tahu. Apalagi ketika aku mengingat dulu Abah bercerita, beliau seperti memiliki permasalahan berat di masa lalu yang belum terselesaikan sampai saat ini. Sebenarnya aku ingin membantu, tapi semenjak kejadian itu aku belum pernah lagi bertemu dengannya.

Semoga secepatnya, aku bisa dipertemukan lagi dengan Abah.

Tok tok tok

Aku terperanjat lalu segera bangun dari kasur. Ku pasang pendengaran untuk memastikan yang kudengar itu adalah sebuah ketukan pintu atau bukan. Ya barang kali aku mengigau karena sedari tadi jiwa dan pikiranku seakan menjelajahi beberapa peristiwa.

Aku masih tak berkutik di atas kasur. Tapi tak berselang lama, ketukan itu terulang kembali. Aku segera bergegas keluar kamar dan menuju ruang tamu.

Ceklek.

Kubuka pintu. Bahkan aku sampai lupa tak mengintip dahulu di jendela siapakah yang datang karena takut nantinya orang yang datang bukanlah orang yang tak aku kenal.

Ketika pintu sudah terbuka, aku langsung berhadapan dengan sosok pria berjas hitam. Wajahnya begitu bersih dan aroma parfumnya seketika masuk ke dalam hidungku.

Dia tersenyum lalu aku membalasnya dengan cara yang sama. Dia masih belum menanyakan perihal kedatangannya. Sementara aku masih menunggunya berbicara tanpa mau membuka mulut terlebih dahulu.

"Assalamu'alaikum." Suaranya terdengar tak asing seperti aku pernah mendengarnya juga, tapi aku masih menebak suara milik siapakah ini.

"Wa'alaikumussalam." Jawabku mulai sedikit santai. Sepertinya kehadirannya akan berlangsung baik-baik saja. Walau sebenarnya aku masih penasaran untuk apa dia datang kemari.

"Bagaimana kabarmu?"

"Baik. Eh maaf kamu sendiri siapa ya?" Aku melihatnya tiba-tiba masuk ke dalam rumah lalu duduk di ruang tamu.

"Tadi aku kepanasan. Jadi aku numpang minum ya." Katanya kemudian meneguk segelas air es yang memang sudah biasa bibi taruh di atas meja.

Aku mengernyitkan dahi. "Maksudmu? Kamu ini siapa? Jangan asal masuk ke rumah orang, ya!"

Dia terkekeh. "Ohh begitu. Jadi kamu sudah lupakan aku, ya?"

Benar dugaanku. Dia memang sudah mengenaliku sejak awal. Sementara itu pikiranku masih terus berputar mempertanyakan pada diri dan mengingat mungkin saja dia adalah temanku ketika di Bandung ataukah bukan.

"Benarkah? Memang kamu siapa?" Kataku.

"Masih belum ingat?" Ujarnya, "tak apa. Aku di sini hanya ingin bertanya suatu hal padamu."

"Bertanya tentang apa?"

"Coba kamu duduk dulu dan atur napas mu. Wajahmu terlihat pucat sekali. Tenang, aku tak akan melakukan hal apa pun padamu." Katanya lagi sambil meyakinkanku kemudian menyodorkan segelas air putih, "jangan lupa minum."

Sementara itu, aku mengikuti perintahnya.

"Baiklah. Sebenarnya aku mau bertanya. Apa kamu siap menjawab?"

"Tergantung pertanyaan." Jawabku.

"Tidak terlalu sulit kok. Aku hanya ingin tahu apa kamu akan menikah dengan Alif?"

Mataku seketika membulat setelah mendengarnya mengatakan itu. "Darimana kamu tahu?" Tanyaku.

"Ya kamu tak perlu tahu. Intinya kamu akan menikah dengan Alif bukan?"

Aku diam, tak ingin menjawab.

Dia tertawa kecil. "Hayo lah. Aku hanya bertanya seperti itu dan kamu tak mau menjawab?"

"Iya. Aku akan menikah dengan Alif." Ketusku sejurusnya, "memangnya ada urusan apa?"

"Oh seperti itu... Apa kamu yakin?"

"Maksudmu?"

"Ya apa kamu yakin akan menikah dengannya?"

Aku semakin tak mengerti dengan ucapan pria ini. Sudah datang langsung masuk dan duduk di kursi ruang tamu, lalu setelah itu minum. Dan akhirnya bertanya tentang hal konyol ini kepadaku.

"Apa urusanmu memang?"

"Ya itu urusanku juga. Kamu hanya belum tahu yang sebenarnya. Maka dari itu kamu mengucapkan itu."

"Intinya aku tak peduli. Dan sebaiknya kamu pulang saja kalau tujuanmu kemari hanya membahas hal aneh seperti ini, atau tidak akan aku teriaki mu maling. Mau?"

Dia tertawa. "Oh jadi kamu mau menakuti ku? Silakan. Aku tak takut."

Lama-lama berbicara dengan pria ini membuat emosiku naik turun. Dia sungguh menyebalkan.

"Saran ku, pikirkan lagi baik-baik keputusanmu itu. Aku tahu Alif itu pria yang baik. Tapi katanya, Alif itu tak pantas untukmu."

"Hei cukup!" Kataku sedikit membentaknya, "memang kamu itu siapa? Jangan asal bicara ya. Sudah tak sopan datang kemari lalu berkata hal-hal tak penting seperti itu. Sebaiknya pulang saja." Aku menarik lengan jasnya menuju pintu.

"Sebentar," katanya menghentikan, "aku hanya ingin berkata jujur kepadamu. Alif telah melakukan kesalahan dengan akan menikahi mu. Dan aku di sini hanya berusaha meluruskannya agar kamu tak menyesal nantinya."

"Cukup! Aku tak mau mendengarnya lebih jauh lagi. Alif tak mungkin berbuat seperti itu padaku. Kita saling menyayangi dan menikah adalah pilihan yang tepat untuk kita lalui."

"Benar Reine, Alif itu sangat baik dan mencintaimu. Tapi dia tak mampu memilikimu. Ucapannya saat itu, adalah kesalahan fatal yang seharusnya tak ia ucapkan. Saat itu ia begitu terlarut dalam keadaan hingga tak sengaja mengucapkan kalimat itu."

Ucapan pria itu tampak serius tapi telingaku seakan enggan menangkap hal-hal yang ia ucapkan. Aku segera membawanya keluar lalu mengunci pintu dan tak mau mendengarnya berbicara lagi.

Aku menutup telinga lalu menangis di dalam kamar. Mengapa ada orang yang tega mengucapkan itu kepada Alif?

"Reine?" Tiba-tiba aku merasa seperti ada orang yang tengah mengguncang badanku.

"Reine?!" Panggilan itu lantas membuatku terperanjat bangun lalu duduk seperti orang linglung.

"Kamu mengigau ya?" Kata bibi yang tiba-tiba duduk di sampingku.

Aku masih dalam kondisi sadar tidak sadar. Lantas aku mengingat hal-hal yang seperti nyata terjadi. Lalu aku meraba kasur. Apa tadi aku tidur?

"Iya. Tadi kamu tidur." Bibi seperti tahu apa yang aku tanyakan di dalam hati.

"Kamu baik-baik saja kan?" Katanya melanjutkan.

"Iya bi. Aku kaget karena tadi aku bermimpi aneh. Untung saja itu hanyalah mimpi."

"Oh pantas saja Rein."

"Memangnya ada apa bi?"

"Sebenarnya bibi tak tega membangunkan mu kalau tidak ada yang datang."

"Yang datang? Siapa bi?"

"Kamu lihat saja keluar. Oh ya, nyawamu sudah terkumpul semua belum?" Kata bibi sambil cengengesan.

Aku tersenyum, "sudah bi."

"Baiklah. Bibi keluar ya." Ujarnya sesaat sebelum menutup pintu kamarku.

Sementara itu aku bersiap memakai jilbab lalu segera pergi ke ruang tamu.

Ketika sampai, mataku seketika beradu tatap dengan seorang pria berjas hitam. Pria itu ber halis tebal dan sedikit menyatu. Warna kedua bola matanya hitam dan terlihat berbinar. Kulitnya putih dan memiliki kumis tipis. Ada tahi lalat juga di pelipis kanannya. Ketika tersenyum gigi rapinya terlihat dan hidungnya terlihat lebih mancung. Beda dengan ku yang kalau tertawa, rasanya hidung seakan menjorok lebih ke dalam.

Ya. Pria itu. Tak lain dan tak bukan adalah Hamzah.

Aku akui. Dia memang pria yang tampan.

Hanya saja, melihatnya membuatku tak ingin mengenalnya lebih jauh.

Karena percayalah, dia laki-laki yang begitu menyebalkan. Wajahnya yang terlihat alim, sangat lain dengan sikapnya yang sebenarnya.

"Assalamu'alaikum." Sapa nya terdengar ramah.

"Wa'alaikumussalam. Ada apa datang kemari?" Tanyaku langsung tanpa ba-bi-bu lagi.

"Em tidak terlalu penting. Aku tadi kemari mau kasih hadiah sekaligus selamat buat kehamilan bibi. Dan...."

"Lalu kenapa kamu memanggilku?"

"Tidak boleh?" Tanyanya.

"Ya karena buat apa. Ngobrol sama kamu itu tak ada gunanya."

"Ohh maaf kalau misalnya itu tak berkenan di hati kamu. Atau kalau kamu mau, aku bisa kembalikan uangmu yang dulu pernah kamu kasih padaku."

"Tak perlu." Jawabku ketus.

"Baiklah kalau kamu tak mau. Tapi apa kamu sudah sehat sekarang?"

"Itu bukan urusanmu."

"Obatnya sudah diminum?"

"Terserah aku saja."

"Oh iya. Jangan lupa juga jaga pola makannya ya. Karena kondisimu masih lemah dan butuh asupan yang banyak."

"Aku tahu itu."

"Jangan terlalu banyak aktivitas juga. Istirahat yang cuk-"

"Sudah!" Kataku menghentikan ucapannya, "kamu tak perlu sok perhatian kepada ku. Lagipula sudah ada orang yang mengingatkan semuanya. Dan sekarang, lebih baik kamu pulang dan jangan ganggu aku lagi."

"Apa aku mengganggumu?"

"Kamu masih bertanya soalan itu?" Ujar ku tertawa sinis.

"Tapi aku hanya mengingatkan saja. Obatmu itu harus rutin diminum. Yang dua kali dan yang sehari sekali itu, yang bungkusnya hijau harus dihabiskan."

"Kamu itu sok tahu Hamzah. Sudahlah dari pada omongan mu ini membuat kepalaku pusing, lebih baik kamu pulang."

"Baiklah jika itu mau mu. Aku akan pulang. Tapi kalau kamu butuh sesuatu, jangan segan hubungi aku ya."

"Itu tak per-"

"Ingat!" Katanya memotong ucapanku, "aku juga seorang dokter. Aku tahu apa saja yang dibutuhkan pasien selama ia sakit. Paham?"

Aku memutar bola mata. "Baiklah."

Dia tersenyum. "Oke, aku permisi dulu ya."

Sebelumnya Hamzah menghampiri bibi meminta izin pulang. Setelah itu ia menyalakan mesin mobil kemudian mengucapkan salam dan berlalu.

Huft. Dasar laki-laki aneh. Perilakunya kadang baik dan kadang menyebalkan. Aku sampai tak mengerti kenapa dia bisa bersikap seperti itu.

Aku masuk ke dalam rumah lalu menuju dapur. Ku bawa piring dan mengambil nasi beserta lauknya. Setelah beberapa menit makan, aku lantas mencuci piring dan segera pergi ke kamar sambil membawa segelas air putih untuk meminum obat.

Ku buka plastik putih yang memang sedari tadi belum aku lihat obat apa saja yang akan aku minum. Ada tiga jenis obat di sana. Yang satu diminum dua kali sehari berbungkus merah. Yang kedua tiga kali sehari berbungkus silver. Dan yang ketiga satu kali sehari berbungkus hi-

Eh sebentar. Ini bungkusnya hijau. Sama seperti yang Hamzah ucapkan tadi kepadaku. Tertera pula sebuah kata bertuliskan 'habiskan' di sini. Lho, kenapa dia bisa tahu obatku?

Aku segera menepis rasa penasaran ku dengan dalih dia adalah seorang dokter. Mungkin dia tahu obat apa saja dan kapan saja rentang waktu meminumnya ketika seseorang itu sakit. Ya sudahlah. Lagipula tadi sebelum pulang dia berkata seperti itu kepada ku.

Aku segera meminumnya lalu setelah itu membuka ponsel.

Ada tiga pesan masuk dari Alif di sana. Sekitar satu jam yang lalu.

'Assalamu'alaikum, Reine.'

'Maaf aku tak mengabari mu hari ini. Bagaimana kondisi mu sekarang? Sudah baik kan? Aku harap seperti itu ya. Dan jangan lupa, masukan dari dokter itu turuti dan jangan lupa istirahat yang cukup. Obat dan makan pun jangan terlewati.'

'Maaf juga, hari ini aku tak bisa pulang ke kontrakan. Kamu jangan khawatir, aku ada urusan mendadak yang aku pun tak tahu sampai kapan ini semua akan selesai. Doakan saja ya. Sekali lagi, tetap jaga kondisi dan tunggu aku pulang."

Aku membalasnya cepat.

'Wa'alaikumussalam.'

'Iya Alif. Tak apa. Selesaikan saja urusanmu. Aku mengerti selama beberapa Minggu ini kamu memang selalu pergi dan aku tak tahu kamu pergi ke mana. Tapi aku tak peduli, yang terpenting kamu pulang dengan kondisi yang sama seperti aku terakhir melihatmu.'

'Untuk urusan kondisiku, kamu jangan khawatir ya. Aku sudah baik-baik saja. Aku juga sudah makan dan minum obat. Intinya kamu tetap fokus saja dengan urusanmu. Aku berdoa semoga kamu cepat pulang.'

Hidup itu begitu banyak teka-teki. Aku bahkan sampai sulit menebak satu per satu teka-teki itu. Rasanya masih ada jutaan rahasia yang sepenuhnya belum aku tahu. Tapi aku yakin, Allah pasti akan memberiku jalan untuk mengetahui hal apa saja yang mereka sembunyikan dariku.

Perlahan aku juga mulai menyadari, betapa nikmatnya mencintai diri sendiri dengan keadaanku yang sejujurnya masih lemas ini. Terlalu menyayangkan bagi mereka yang terlalu tega menyakiti, menyayat tangan sendiri dengan alasan sakit hati. Aku tak habis pikir. Dia terluka oleh seseorang, tapi mengapa dia juga malah menambah lukanya dengan menyakiti diri sendiri, bahkan ada yang sampai memutuskan nyawanya hanya karena soalan itu?

Apakah tak ada jalan lain yang harus dilalui selain itu?

Ada. Tentunya ada sekali.

Namun pikiran mereka terlalu sempit seolah, 'aku ini sudah tak berguna lagi' atau, 'aku menyerah untuk terus melanjutkan hidup.'

Hingga itulah yang membuat mereka melakukan semua itu seolah-olah diri ini tak ada harganya sama sekali.

Coba sebentar saja arahkan mata kita pada orang-orang yang berjuang keras banting tulang membiayai hidup, memberi makan dan kekuatan pada diri. Apakah ada rasa malu yang tiba-tiba timbul dari hati kita?

Contoh yang lain. Ada pula orang-orang yang (maaf) tak punya tangan, tak punya kaki, tapi semangat mereka menjalani hidup bahkan lebih dari kita yang sempurna seperti ini.

Bangkitlah. Aku pun yang hanya sakit biasa seperti ini, seolah ada rasa sesal dalam hati mengapa aku tak bisa menjaga kondisiku dengan baik. Karena resikonya kalau kita tak bisa menjaga diri, itu adalah diri sendiri yang menanggung.

Makanan rasanya hambar. Perut lapar tapi ketika makan rasanya tak enak. Jajanan-jajanan lainnya seperti es, mie, bakso, seakan pantangan yang membuat kita tak bisa leluasa memakan makanan itu.

Jadi, untuk kamu semua yang sehat. Jaga kondisinya baik-baik dan sayangi dirimu sendiri, ya.

Aku jadi teringat Alif pernah bilang, kesehatan itu lebih penting dari pada yang lain. Termasuk uang. Karena percuma kita memiliki harta yang melimpah kalau hanya untuk (maaf) mengobati diri sendiri yang sedang sakit. Seolah-olah kita tak mampu menikmatinya secara bebas, karena terikat oleh raga yang kian hari pertahanannya semakin melemah.

Allah memiliki cara lain untuk membahagiakan hamba-Nya. Seperti aku saat ini di kota Bogor. Ada bibi dan paman yang sangat peduli padaku, selain itu aku bisa bertemu dengan Ayssa, Abah, dan tentunya di kota ini pula aku bisa bertemu lagi dengan Alif.

Berbicara lagi soal Hamzah. Sebenarnya aku tak mau membahas pria aneh itu. Tapi entah kenapa rasanya aku ingin sekali mencari tahu lebih jauh kisahnya bersama Abah sedari kecil. Apa dia tahu permasalahan Abah yang sebenarnya? Atau... Apa dia tahu saudara kembarnya sendiri itu siapa?

Ah, Reine. Kenapa kamu bisa penasaran seperti ini? Toh ini tak ada hubungannya juga dengan mu dan Alif.

Tapi sungguh, aku sangat penasaran hingga jariku secara sengaja dan tak sengaja mengetik pesan kepadanya untuk bisa bertemu di depan rumah esok hari.

Aku tak tahu ini adalah sebuah kesalahan atau tidak memintanya datang ke rumah. Apalagi semua rencana ini tak bisa lagi digagalkan karena seketika dia membaca dan membalas pesanku dengan cepat.

Aku tak bisa berbuat apa-apa lagi. Jantungku berdebar begitu kencang menyesali hal bodoh yang aku lakukan tadi.

Biarlah aku bertemu dengannya besok. Semoga saja sikapnya tak membuat emosiku meletup-letup lagi. Aku harap, sikapnya nanti terlihat baik karena aku pikir dia itu pria yang sepertinya memiliki kepribadian ganda. Ya, dia sungguh pria yang aneh.

Eh! Tiba-tiba aku mengingat mimpi yang baru beberapa jam saja terjadi. Ungkapan pria itu, penampilannya, suaranya, masih terekam jelas di memori ku.

Aku sempat bertanya pada diri sendiri. Apakah mimpi itu hanyalah bunga tidur saja atau malah ada maksud tertentu yang sepenuhnya belum aku ketahui.

Sejenak aku berpikir. Pria itu... Berjas hitam. Sama seperti...

Hamzah! Ya, aku masih ingat ketika dia kemari mengenakan jas hitam. Penampilannya terlihat sama seperti pria yang tadi datang di mimpiku. Aroma parfumnya pun sama.

Oh ya Allah! Apakah ada sesuatu ataukah semua ini hanya kebetulan saja?

Kecocokan tadi membuatku semakin penasaran dengan keadaan yang sebenarnya, ya aku harap pikiran itu hanya imajinasi ku saja. Sama sekali bukan dengan hal yang sebenarnya tengah terjadi.

Aku kembali ke kamar dan duduk termenung. Kedatangan Hamzah besok terus membuat jantungku berdegup kencang.

Untuk soal mimpi, aku tepis kan saja. Semoga semua itu hanyalah bunga tidur.

Tapi, apakah aku sudah membuat kesalahan dengan meminta Hamzah kemari?

...