Hari Minggu di kota Bogor ini tampaknya tak begitu cerah. Kehangatan mentari seakan tertutup awan abu yang menandakan sebentar lagi hujan akan turun.
Aku tengah lari kecil yang letaknya lumayan jauh dari rumah untuk membugarkan badan. Ketika peluh mulai membasahi pelipis, aku mulai menepi di bawah pohon. Cuaca seperti ini memang enak sekali untuk tidur atau melamun. Apalagi posisiku saat ini yang begitu nyaman dan rasanya tak ingin bangun untuk meninggalkan tempat.
Tak seperti biasanya. Jalanan di depanku ini terlihat lenggang. Lalu lalang kendaraan dan hiruk pikuk manusia seakan meliburkan diri di hari ini. Entahlah, mungkin karena ini hari Minggu. Jadi mereka bisa bebas beristirahat di rumah tanpa harus keluar untuk bekerja ataupun keperluan yang lain.
Aku meluruskan kaki dan punggungku bersandar di batang pohon. Aku mengambil posisi senyaman mungkin sampai kantuk mulai hinggap di mataku. Hujan belum turun, lalu aku putuskan untuk menutup mata sebentar. Ini memang hal yang biasa aku lakukan setelah berolahraga. Karena jujur, setelah lari tadi tubuhku lelah dan ketika beristirahat, mata lah yang menjawab semuanya. Ya, aku harus tidur sejenak.
Entah berapa menit aku memejamkan mata. Hingga telingaku menangkap suara yang nampaknya tengah berbisik dan jaraknya dekat sekali denganku.
Rasa kantukku seketika hilang. Tapi mataku masih tertutup dengan tujuan ingin mendengarkan apa yang mereka bicarakan. Aku baru sadar sepertinya ada beberapa orang yang tengah mengobrol berbisik seperti itu.
Aku tak tahu apa yang mereka bicarakan. Yang aku tahu, suaranya semakin mendekat ke arahku.
Ku buka mata, dan ku dapati tiga orang pria yang sedari tadi memperhatikanku di arah yang dekat sekali, kurang lebih satu meter. Dan sontak aku terkejut ketika ada satu pria yang akan menyentuh bahuku. Aku langsung menepisnya dan segera beranjak dari tempat lalu berjalan pergi secepat mungkin.
Aku tahu, tiga pria itu bukanlah orang yang baik. Aku segera mempercepat langkah dan betapa takutnya aku ketika tiga orang tadi mengikuti ku juga dari belakang dengan tempo langkah yang sama cepatnya denganku.
Jantungku semakin berdebar. Aku begitu takut hingga mataku memanas. Ku bacakan kalimat istigfar dalam hati dan berdoa semoga Allah menolongku dengan mengirimkan seseorang yang mau membantuku. Entah siapapun itu. Karena aku yakin tak ada orang yang melihat kami karena kondisi jalan memang tengah sepi saat ini.
Tergopoh-gopoh aku berlari ketika tiga pria itu memanggilku dengan suara menggoda. Mereka juga ikut berlari, hingga pada jalanan yang berbatu aku tersandung dan akhirnya jatuh. Tanganku berdarah dan sepertinya lututku lecet karena terasa perih sekali. Bayangkan saja ketika kamu lari cepat lalu tersandung jatuh, rasa sakitnya sama seperti yang aku rasakan saat ini.
Tiga pria itu tertawa jahat. Ketika aku mencoba bangkit, ku dapati kaki-kaki kekar itu sudah ada di depanku. Tangan mereka bertatto, rambut diwarnai pirang, bajunya lusuh dan mengeluarkan bau yang tak sedap.
Jantungku semakin tak karuan dengan perasaan yang kalut. Aku terus mengingat Allah dengan harapan ada orang yang akan menolongku saat ini. Aku mulai menangis, apalagi ketika mereka mulai memintaku untuk menyerahkan ponsel dan uang.
Aku menggelengkan kepala. Takut sekali berhadapan dengan mereka ini. Tapi sepertinya gelengan kepalaku tadi mengundang amarah mereka hingga salah satu dari tiga pria itu memaksaku dengan raut yang merah padam.
"Berikan ponsel dan uangmu! Atau aku akan menculik dan menyiksamu hingga tak ada satu orangpun yang akan melihatmu lagi!"
"Ya, benar!" Sahut salah satunya lagi, "di sini kamu sendiri dan tak ada orang yang akan menolong mu. Jadi berikan apa yang kami minta atau hal buruk akan segera terjadi padamu."
Aku mulai membayangkan hal-hal mengerikan itu. Hingga tanganku mulai merogoh tas kecil dan akan mengambil ponsel.
Ketika aku hendak menyerahkannya, kudengar salah satu pria itu tiba-tiba menjerit kesakitan dan langsung memegangi lehernya. Aku mendongakkan wajah yang memang sedari tadi aku menunduk dan tak mau melihat wajah mereka.
Kulihat pria itu tersungkur dengan tangannya yang terus memegangi lehernya. Aku segera mencari tahu siapa yang melakukan itu. Hingga mataku mulai tertuju pada sosok pria yang tengah membawa balok kayu.
Wajahnya begitu merah. Seperti ingin menerkam habis tiga pria di depannya. Dua pria yang berdiri tadi lari pontang-panting meninggalkan temannya dalam keadaan yang lemas. Ketika pria itu mulai mendekatinya, laki-laki itu lantas bangkit meminta ampun dan lari terbirit-birit meninggalkan kami.
Mataku masih memperhatikannya. Rasanya tak percaya ada orang yang benar-benar akan menolongku. Ternyata benar, dalam keadaan apa pun kita harus mengingat Allah. Entah itu dalam hal suka ataupun duka. Karena Allah lah yang akan menolong kita di setiap peristiwa yang sedang terjadi.
Aku begitu banyak berterima kasih pada Allah. Karena bukan hanya ada orang yang menolongku, tapi Allah juga mengirimkan orang yang tepat hingga membuatku yakin dialah satu-satunya orang yang pantas mendampingi hidupku sampai nanti.
"Reine?" Dia menghampiriku dengan raut yang terlihat cemas. "Apa kamu baik-baik saja? Apa mereka melakukan suatu hal padamu?"
Aku menggeleng cepat. "Tidak Alif. Kedatangan mu sangat tepat sekali."
Dia masih tak percaya."Apa ada yang terluka?"
Terpaksa aku menggeleng. Padahal tangan dan lutut ku terasa perih. Aku hanya tak mau membuat dia cemas.
"Ponselmu mana?"
Aku menunjukannya.
"Lalu, uang-uang mu ada yang diambil tidak? Biar aku yang ganti."
"Tidak ada Alif. Memang benar mereka akan mengambil ponsel dan uangku tadi, tapi karena kamu datang jadi tak jadi. Terima kasih ya."
Perlahan rautnya tak tegang lagi dan ada setitik senyum di ujung bibirnya. "Alhamdulillah kalau seperti itu. Untuk urusan terima kasih, berterima kasih lah pada Allah. Karena Dia yang membawaku kemari."
"Maksudmu?"
"Aku tadi tiba-tiba merasa gelisah dan ingin segera menemui mu untuk memastikan kamu baik-baik saja atau tidak. Dan ketika aku menuju pulang, aku melihatmu di sini."
"Benarkah? Alhamdulilah. Terima kasih ya Allah. Engkau mendengar doaku."
"Oh ya? Jadi kamu meminta pada Allah untuk mengirimku ke sini?" Ujarnya sambil terkekeh kemudian mengajakku segera pergi dari tempat.
Kami berjalan menyusuri jalanan yang masih tampak sepi seperti tadi. Hanya saja sudah ada satu dua kendaraan yang lalu lalang memecah keheningan di antara kami berdua.
"Em tidak. Aku hanya meminta pada Allah agar ada orang yang menolongku. Entah siapapun itu. Tapi nyatanya Allah mengirim mu ke sini."
"Ohh seperti itu."
Sedikit aku melirik tangan kiri yang nampak berdarah. Aku tak tahu ketika jatuh tadi tanganku tertusuk oleh batu lancip ataukah pecahan kaca, atau benda-benda tajam lainnya. Yang aku tahu ini begitu perih dan sakit, hingga darahnya hampir menetes namun aku kepalkan tangan dan menyimpannya di belakang. Maksudnya, agar Alif tak melihatku.
"Reine?" Tanyanya kemudian.
"Ya?" Jawabku.
"Apa kamu baik-baik saja?"
"Ya aku baik-baik saja. Kamu jangan khawatir."
"Tapi aku merasa kamu seperti sedang menyembunyikan sesuatu."
Aku menghentikan langkah sejenak dan mulai gugup. Kulihat di area sekitar apa mungkin ada darah yang menetes atau tidak. Tapi aku pastikan itu tidak ada. Hingga Alif sadar kalau aku terdiam dan kembali menemui ku.
"Benarkan?" Katanya.
Aku berusaha menutupi. "Iya Alif, aku tidak apa-apa."
"Coba tunjukkan tangan kiri mu." Ujarnya tiba-tiba. Aku sangat gugup apalagi melihat rautnya yang terlihat serius.
"Duduk sini." Ajaknya menepi di sebuah pohon yang terdapat kursi taman kosong. Aku duduk sambil terus menyembunyikan tanganku.
"Mana? Tunjukkan tangan kiri mu. Aku ingin lihat."
"Tidak ada apa-apa kok." Jawabku sekenanya.
"Bohong. Coba sini tunjukkan."
"Tap-"
"Rein?" Ujarnya memotong pembicaraan ku.
Aku tak bisa apa-apa lagi. Dengan pasrah ku tunjukkan tangan kiri ku padanya. Ada beberapa darah yang menetes lalu ia segera menampungnya di kedua tangannya.
"Ya Allah Reine. Lukamu ini, kenapa kamu tak berterus terang? Kamu tak menganggap ku teman, ya?"
Sontak aku menggeleng cepat. "Tidak. Bukan itu. Aku, aku hanya tak ingin membuat mu khawatir."
"Dan kamu ingin menanggungnya sendirian? Seperti itu?"
Aku terdiam.
"Rein, ku mohon. Jangan seperti ini lagi ya. Lihat, lukamu ini cukup... ah sudahlah. Akan aku obati."
"Pelan-pelan." Ujar ku.
Dia tersenyum sambil mengangguk lalu merogoh sesuatu dari tasnya. Kulihat ada banyak sekali alat dan obat-obatan dimulai dari obat merah, kapas, plester, alkohol, kasa, minyak kayu putih dan obat-obatan lainnya.
"Eh tumben kamu bawa barang-barang seperti ini?"
"Lho kamu baru sadar? Setiap hari aku membawanya."
"Benarkah?" Sahutku sambil memperhatikannya meneteskan alkohol ke atas kapas lalu membersihkan area luka setelah tadi membasuhnya dengan air biasa. "Aw, sudah Alif." aku merintih ketika alkohol mulai menyerap ke dalam luka.
"Ah maafkan aku Rein. Sedikit lagi ya."
Aku mengangguk, "pelan-pelan."
"Siap."
Aku memperhatikan helaian rambutnya yang terhembus angin. Wajahnya yang menenangkan hati membuatku tak bisa berpaling ke pria lain. Sejak pertama kali bertemu dengannya, hatiku seketika teguh untuk terus memperjuangkannya. Dan Alhamdulilah, cintaku juga terbalaskan dengan Alif melamar ku saat itu. Sungguh, ini hal yang sangat sangat membuatku bahagia.
Aku terhenyak sesaat ketika tak sengaja melihat pelipisnya hijau lebam. Aku bahkan baru saja menyadarinya. Ketika aku coba tanyakan, dia hanya menggeleng pelan dan bilang tak usah khawatir.
"Memangnya karena apa?" Tanyaku cemas.
"Ah biasa, aku sedikit ceroboh saat itu. Tak apa, besok juga sembuh."
Aku masih penasaran, rasanya dia seperti menyembunyikan sesuatu dariku.
"Kamu tak usah ragu Rein. Semua akan berjalan dengan baik."
"Tapi hatiku bilang seperti ada suatu hal yang kamu sembunyikan dariku."
"Mungkin hatimu terlalu cemas Rein. Insya Allah, aku baik-baik saja."
"Baiklah kalau seperti itu. Dan untuk ini?" Aku menunjukkan obat, "kenapa setiap hari kamu bawa? Apa ada sesuatu lagi?"
Dia terkekeh. "Rasanya aku seperti pencuri terciduk yang sedang di berondongi banyak pertanyaan."
"Aku serius Alif. Jangan bercanda." Pintaku memelas.
"Oh oke-oke, apa tadi katamu? Obat ini?"
Aku mengangguk.
"Ya aku hanya berjaga-jaga saja barangkali nanti ada kejadian seperti ini lagi. Jadi aku tak usah bingung cari apotek atau warung. Semuanya sudah tersedia."
"Tapi yang aku heran, kamu juga bawa obat tablet dan kapsul sebanyak ini yang emang apa kamu tahu kegunaannya buat apa saja?"
"Tentu."
"Kamu itu seperti dokter berjalan saja Alif," kataku sambil tertawa. "Bahkan Hamzah saja yang seorang dokter kelihatannya tidak membawa obat-obatan seperti ini."
"Siapa?"
Tiba-tiba aku menyadari ucapan yang baru saja aku lontarkan pada Alif. Oh Reine! Mengapa kamu ucapkan nama itu di depannya?
"Dokter siapa?" Ulangnya lagi.
"Em t-tidak. Aku, aku hanya berpikir. Mungkin seorang dokter juga tidak selalu membawa obat setiap saat."
Aku melihat rautnya yang curiga.
"Sudahlah Alif lupakan. Lebih baik kita pulang, sepertinya hujan akan turun sebentar lagi." Aku berdiri dan beranjak pergi, sementara itu dia mengikuti ku dari belakang.
Alif, maafkan aku. Bukannya aku tak mau memberitahumu, tapi aku rasa itu tidak perlu. Hamzah bukan siapa-siapa, dia hanya orang lain yang tiba-tiba masuk dalam kehidupan ku. Kamu tak usah khawatir, aku yakin dia pria baik yang tak akan mengganggu hubungan kita ke depannya.
...
Setelah mengobrol cukup lama di sepanjang jalan, akhirnya aku sampai di rumah bibi lalu masuk sesaat sebelum melihatnya masuk pula ke kontrakan barunya. Sebenarnya paman sudah menawari Alif untuk tinggal di sini dan tidur di kamar atas karena memang rumah bibi ini begitu besar. Aku pun sampai terengah-engah ketika menyapu atau mengepel lantai rumah bibi yang selebar ini. Tapi Alif menolaknya dengan lembut dan beralasan untuk tinggal saja di kontrakan depan. Lagi pula kami belum menikah dan takutnya ada orang yang tak suka atau berpikiran aneh-aneh ketika melihat ada sepasang teman yang tinggal satu rumah. Walau memang ada bibi dan paman, tapi Alif benar-benar enggan dan bersikeras untuk pindah.
Paman tak bisa apa-apa dan menyerahkan semua keputusannya pada Alif. Lagi pula membujuk Alif untuk melakukan suatu hal yang bukan keputusannya itu sulit, bahkan aku saja sulit melakukannya.
Entah sampai kapan semua ini akan berakhir. Rasanya waktu berjalan begitu lambat. Ingin sekali cepat-cepat menemui hari di mana ada ikrar pernikahan yang terlantun dari mulutnya.
Azan mulai berkumandang. Aku segera beranjak menuju kamar mandi untuk ber wudu lalu salat. Rasanya nyaman sekali setelah salat lalu kembali bersujud mencium bumi di mana kita dipijak. Karena di sana kita belajar, sifat keangkuhan adalah hal yang tak akan membuat kita ter junjung lebih tinggi dibandingkan dari yang lain. Sekuat apa pun sifat sombong seseorang, tak akan mampu merubah tulisan takdir bahwa sejatinya kita akan mati dan dikubur juga di dalam tanah.
Jabatan tinggi dan harta melimpah pada akhirnya hanyalah puing-puing kehidupan yang tak akan abadi.
Sifat sombong inilah yang kelak akan menjadi bahan perbincangan. Apa yang telah kita sombongkan sehingga merasa tak perlu menunduk ke tanah? Padahal kita bertahan hidup dari hasil tanah dan akan kembali pula ke dalam tanah?
Setelah beberapa menit lamanya aku bersujud, aku merasa seperti ada seseorang yang menepuk pundak ku perlahan. Ketika aku dongak kan kepala, ternyata bibi sudah berada di depan ku sambil tersenyum.
"Sudah salatnya?" Katanya begitu lembut.
Aku mengangguk. "Sudah, bi."
"Baiklah. Sekarang cepat siap-siap dan temui dia di depan."
Aku heran. Perasaan tak akan ada orang yang kemari.
"Dia siapa bi?" Tanyaku.
"Eh, bukankah kamu meminta Hamzah kemari?"
"Oh Ya Allah! Iya bi. Aku kira dia tidak akan datang. Sebentar, Reine akan segera bersiap."
"Kamu ragu dengan Hamzah Rein? Bibi rasa dia pria yang mampu menepati janji." Katanya lagi sedikit menggoda sambil beranjak ke luar dari kamar.
Terkadang aku begitu heran dengan bibi. Aku merasa bibi terlalu memuji Hamzah agar terlihat sangat baik di depanku. Padahal bibi juga tahu, cincin tunangan sudah terpasang di jari manis tangan kiri ku. Entahlah tapi aku merasa seperti itu. Mungkin bibi hanya mengucapkan apa yang bibi lihat dan rasakan.
Tapi andai saja bibi berada di posisi ku saat mengobrol dengan Hamzah. Mungkin kesannya akan terlihat lain lagi dengan apa yang ia katakan saat ini.
Aku segera membuka pintu kamar, angin sejuk seketika menyusup ke dalam dada kemudian membuat jantungku tiba-tiba berdegup kencang.
Eh, ada apa ini? Bukankah tadi biasa biasa saja?
Segera aku menemuinya yang tengah duduk di kursi ruang tamu. Ketika melihat ku, dia langsung berdiri dengan jas putih yang ia kalungkan di tangan kirinya. Sepertinya dia habis pulang dari rumah sakit.
Awalnya aku sempat gugup, tapi akhirnya dia menetralkan kondisi dengan mencoba membuka percakapan.
"Assalamu'alaikum." Katanya.
"Wa'alaikumussalam." Jawabku sambil memberi isyaratnya untuk duduk lagi. Sementara itu bibi datang sambil membawa dua gelasĀ jus alpukat dan beberapa cemilan.
"Silakan dimakan, Hamzah. Jangan sungkan."
"Bibi tak usah repot-repot, lagi pula saya di sini hanya sebentar."
"Tidak apa-apa. Dimakan saja. Bibi tahu kamu capek dan butuh asupan." Ujar bibi lagi sambil terkekeh.
Hamzah tersenyum. "Baik bi kalau begitu, terima kasih atas jamuannya."
Bibi mengangguk lalu meninggalkan kami di sini.
Aku mulai mengambil jus alpukat dan meminumnya. Dia seperti mengamati sesuatu yang ada di tanganku.
"Ada apa?" Kataku yang sontak membuatnya tersadar.
"Kenapa dengan tanganmu?
"Ini hanya luka kecil, nanti juga sembuh."
"Apa masih terasa sakit? Biar aku bawakan obat penetralnya."
"Tak usah. Terima kasih, lukanya sudah mulai mengering kok."
"Oke baiklah. Eh tapi sepertinya aku melihat ada benda baru yang ada di jarimu." Katanya tiba-tiba.
Aku langsung mengerti. "Oh, ini?" Kataku sambil menunjukkan nya, "aku sudah bertunangan."
Dia nampak terkejut. "Benarkah?"
Aku mengangguk.
"Sejak kapan?"
"Beberapa hari yang lalu."
"Dengan siapa?"
"Kamu tak akan tahu."
"Ya mungkin saja tahu."
"Tak usahlah. Itu bukan urusanmu."
Dia terdiam.
"Lalu ada apa kamu memanggilku kemari?" Tanyanya kemudian.
"Em, sebenarnya, aku ingin tahu suatu hal darimu."
"Tentang?"
"Abah."
"Apa yang ingin kamu tahu tentang Abah?"
"Dia kakekmu kan?"
Hamzah mengangguk.
"Apa kamu tahu permasalahan Abah yang sebenarnya?"
Lagi-lagi dia terdiam untuk beberapa saat.
"Aku tahu."
"Benarkah?" Ucapannya itu seakan ada angin lembut yang masuk ke dalam telinga.
"Tapi aku tak bisa menjelaskan nya pada siapapun."
"Kenapa?"
"Itu terlalu menyakitkan bagi Abah. Sulit aku mengatakannya."
"Ayolah Hamzah. Ceritakan padaku. Aku akan menjaga apa pun yang kamu ucapkan. Kamu juga tahu kan, aku begitu dekat dengan Abah?"
"Bukankah kamu baru bertemu dengan Abah hanya saat itu saja?"
"Tidak. Saat di Bandung aku pernah bertemu dengannya juga."
"Benarkah?" Suara Hamzah agak meninggi seakan tak percaya dengan apa yang baru ia dengar kan tadi. "Abah sudah pergi ke Bandung?"
Aku mengangguk. "Lima tahun yang lalu."
"Apa dia sudah bertemu dengan cucunya saat itu?"
"Belum." Ujarku semakin penasaran melihat reaksinya. "Memangnya ada apa Hamzah? Coba ceritalah. Aku janji tak akan marah-marah lagi padamu." Pintaku.
"Aku tak tahu harus menjelaskannya dari mana Rein. Ini begitu rumit."
"Ceritakan saja intinya."
"Aku tak bisa." Timpalnya.
"Mengapa? Apa kamu takut aku akan membocorkan rahasianya?"
"T-tidak!" Sergahnya, "bukan seperti itu."
"Lalu?"
"Aku terlalu takut menceritakannya. Aku sendiri bahkan sulit melerai kesalahan pahaman ini."
"Hamzah, aku mohon beritahu aku. Kamu jangan membuatku semakin penasaran."
Matanya seperti menerawang, mengingat sesuatu.
"Aku tak bisa dan tak tahu harus berbuat apa, Rein."
"Maksudmu?"
"Kenapa kamu ingin tahu masa lalu Abah?"
"Karena aku kasihan melihatnya yang seperti sulit melupakan semua itu. Permasalahannya... Seakan terus menghantui setiap langkah Abah."
"Lalu kalau kamu sudah tahu ceritanya, kamu akan apa?"
"Sebisa mungkin aku akan menolong kalian berdua, bersama calonku nanti. Jadi setelah kamu bercerita, aku akan menceritakannya lagi pada dia. Boleh kan?"
Kepala Hamzah yang sedari tadi menunduk seketika mendongakkan kepalanya, tanpa mengatakan apa pun.
"Ada apa?"
Dia tak menjawab.
"Hamzah!"
Dia terperanjat dan wajahnya terlihat gugup. "Um, iya? Bisa diulang?"
"Aku, bolehkan menceritakan nya lagi pada calonku?"
Rautnya seperti tengah memikirkan sesuatu. Tapi sejurusnya aku melihat ada anggukan kecil di kepalanya.
"Kamu kenapa?"
Lagi-lagi dia tak menjawab.
"Hamzah! Apa yang sedang kamu pikirkan?"
Seketika dia tersadar dari lamunannya. "T-tidak, aku... Aku hanya... Lupakan saja. Sampai mana tadi?"
"Masih tentang Abah."
"Oh iya."
"Lalu bagaimana? Ceritakan saja Hamzah. Aku mohon." Pintaku sedikit memelas. Entahlah, aku rasa kali ini Hamzah menunjukkan sikap baiknya. Tak tahu kalau besok, atau hari selanjutnya, sikap dia akan berubah seperti apa.
Dia terdiam lalu selang beberapa menit menatap mataku sekilas.
"Aku kasihan lihat Abah Rein. Di usianya yang sudah tua, beliau masih dibebani masalah."
"Aku tahu tentang itu. Tapi aku tak tahu apa masalahnya."
"Abah telah di fitnah oleh keluargaku."
Aku terkejut. "Di fitnah? Kenapa bisa?"
Dia menghela napasnya berat. Sorot matanya menerawang jauh seakan tengah menjelajahi saat-saat kejadian itu berlangsung. "Dulu... dua puluh tiga tahun yang lalu, ibuku tengah mengandung kakak kembarku selama beberapa Minggu. Saat itu kehamilan ibu menjadi pusat perhatian semua keluarga dan kerabat, maklum karena sudah beberapa tahun menikah tapi belum dikaruniai anak. Jadi ketika dinyatakan positif hamil, ibu begitu di manjakan dan tak boleh melakukan suatu hal yang berat."
"Hingga beberapa bulan kemudian, ibu dan ayah pergi ke dokter kandungan untuk memeriksa jenis kelamin calon bayinya. Dan betapa terkejutnya mereka ketika didapati ada dua bayi laki-laki mungil yang berada di perut ibu, kebahagiaan dan haru menghiasi keluarga itu. Ternyata rencana Allah indah. Setelah sekian lama menanti, Allah memberi titipan dua anak langsung kepada ibu dan ayah."
"Lalu...." Hamzah menjeda ucapannya.
"Lalu apa?" Kataku.
"Saat kehamilan ibu mendekati delapan bulan, Abah datang ke rumah anaknya di Bandung. Dari dulu sampai sekarang Abah memang tinggal di Bogor. Dan berusaha banting tulang pergi ke Bandung untuk bertemu dengan anaknya yang sebentar lagi akan melahirkan. Sejak awal kedatangan Abah memang kurang diterima dengan baik oleh ibu, karena dulu ibu kecewa kepada Abah dengan alasan menjadi penyebab kematian nenek."
"Kenapa bisa seperti itu?" Timpalku.
"Aku tak tahu persis kejadiannya seperti apa. Yang aku tahu semua itu hanyalah kesalahan pahaman belaka. Lagi pula mati dan hidupnya seseorang itu sudah di takdirkan oleh Allah. Abah hanya bilang kalau dulu semasa kerja beliau jarang pulang ke rumah. Karena memang Abah kerja di Bogor dan nenek serta ibu ditinggal di Bandung. Ketika Abah memutuskan pulang, betapa terkejutnya ia melihat ibu sangat marah karena tak pernah mengurus dan mengirimi nenek uang hingga nenek sakit-sakitan lalu meninggal. Abah berusaha membenarkan, bahwa setiap bulan Abah selalu mengirimi nenek uang. Ibu tak percaya kala itu dan bersikukuh dengan pendapatnya sendiri. Dari situlah hubungan ibu dan Abah mulai merenggang. Aku tak tahu siapa dalang dibalik pemfitnahan Abah. Dan aku juga tak tahu uang yang dikirim Abah sampai ke tangan nenek atau tidak."
Aku berusaha mengikuti jalan cerita secara perlahan. Rasanya, apa yang diceritakan Hamzah saat ini memang tengah terjadi di pikiranku. Aku juga membayangkan seakan ada di antara permasalahan mereka saat itu. Dan dari sini aku mulai paham, masalah Abah terlihat begitu rumit.
"Dan pada saat itu di hari Kamis, ibu berteriak kesakitan memanggil nama ayah. Semua orang yang ada di rumah itu termasuk Abah segera menghampiri ibu yang sudah tak berdaya. Ibu terus mengerang sambil memeluk perutnya yang sakit dan mengalami pendarahan. Ibu segera dilarikan ke rumah sakit. Dan dengan terpaksa, kedua bayi itu harus dikeluarkan sebelum waktunya. Tapi alhamdulilah atas kehendak Allah, kami lahir secara selamat."
"Ohh... Berarti kesalahan pahaman itu hanya tentang kematian nenek saja?"
"Bukan Reine. Permasalahan sebenarnya baru muncul ketika dokter menyimpulkan bahwa kami akan hidup tidak seperti anak-anak normal lainnya. Bahkan salah satu dari kami ginjalnya akan bermasalah. Saat lahir pun kami tidak langsung menangis. Awalnya ayah dan ibu sudah pasrah, tapi beberapa menit kemudian akhirnya kami menangis juga. Dan karena benturan yang keras saat itu pula, kami dinyatakan akan memiliki penyakit langka yang membuat ibu terpuruk dan kembali marah kepada Abah."
"Marah? Kenapa ibumu harus marah kepada Abah?"
"Karena sesaat sebelum tragedi itu terjadi, ibu melihat Abah membawa seember air. Awalnya ibu akan bertanya untuk apa tapi kakinya terpeleset lantai yang ada genangan air. Abah bersikukuh bahwa air dalam ember yang ia bawa tidak tumpah. Abah sampai menangis karena ia sangat tak merasa apalagi berniat untuk mencelakai ibu. Ibu marah besar dan menganggap penyakit kami itu karena Abah. Abah adalah biang semua penyebab yang terjadi."
"Benarkah?" Hatiku begitu teriris mendengar cerita Hamzah. Rasanya begitu sakit jika aku berada di posisi Abah kala itu, apalagi kesalahan pahamannya belum berakhir sampai saat ini. Sampai Abah tua, dan cucu-cucunya sudah dewasa.
"Iya, Reine. Maka dari itu Abah ingin mendonorkan ginjalnya untuk cucunya."
"Cucunya yang mana?"
"Aku tak tahu."
"Tapi aku lihat sepertinya kamu baik-baik saja. Sehat seperti lelaki pada umumnya.
Dia terdiam sejenak. "Alhamdulillah."
"Lalu bagaimana dengan cucu Abah yang satu? Dia ada di sini juga?"
"Iya, dia ada di Bogor."
"Apa dia baik-baik saja? Maksudku, ucapan dokter saat itu kepada orangtuamu apakah benar atau tidak?"
Dia mengangguk.
"Benarkah? Sakit apa dia?"
"Kenapa kamu ingin tahu?"
"Karena aku penasaran."
"Tapi aku tak bisa memberitahumu. Biarkan waktu saja yang menjawabnya ya."
"Lho, tapi kenapa?"
Dia hanya tersenyum. "Nanti kamu juga akan tahu."
"Tapi-"
Dia menyela ucapanku. "Sudah mau asar, aku pamit pulang. Di mana bibi?" Hamzah beranjak dari tempat duduknya sembari memakai jas putihnya.
"Sepertinya di dapur."
Setelah meminta izin dariku, Hamzah menghampiri bibi untuk meminta pamit pulang dan tak lupa meminta pamit juga dariku. Ketika mobilnya sudah melaju agak jauh, awan yang sedari tadi mendung akhirnya memuntahkan juga isinya. Hujan begitu deras dan langit nampak gelap. Aku segera menutup pintu dan menuju ke kamar.
Jujur, pikiranku masih belum tenang mengingat permasalahan Abah. Sebenarnya masih banyak pertanyaan yang mengganjal dalam pikiran. Ingin sekali aku memberondongi Hamzah pertanyaan tapi aku merasa seperti ada sesuatu yang ia sembunyikan dariku. Aku tak tahu itu, tapi aku semakin tak sabar untuk bertemu dengan Alif dan menceritakan semua yang terjadi perihal Abah.
...